Pada 1995, Andreas bergabung dengan Bank Niaga sebagai Direktur. Perjalanan kariernya berlanjut di Bank Mandiri sebagai Senior Vice President (SVP) pada
2000–2006, dan turut berperan dalam proses merger Bank Mandiri saat krisis keuangan nasional.
Andreas juga pernah menduduki berbagai posisi strategis di perusahaan multinasional, seperti IBM dan Bank of Macau. Ia pernah menjadi anggota Komite Pemantau Risiko di Bank Central Asia (BCA) pada 2008–2014 serta menjadi Advisor di Bank of China pada 2010–2012.
Setelah berkarier selama 30 tahun di dunia keuangan dan perbankan, pada 2014 Andreas mendapat tawaran untuk bergabung dengan PDIPerjuangan.
Setelah bertahuntahun melanglang buana di dunia profesional, ia merasa sudah waktunya menyumbangkan pemikiran dan pengalaman bagi negara.
Dalam perjalanan hidupnya, Andreas memegang prinsip bahwa hingga usia 25 tahun, fokus utamanya adalah membangun diri sendiri. Memasuki usia 25 hingga 50 tahun, lebih banyak mengalokasikan waktu untuk keluarga.
Setelah melewati usia 50 tahun, merasa harus dapat mengabdikan diri kepada masyarakat dan negara. Menjelang usia 54 tahun, ia mengambil langkah untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dan berhasil terpilih.
Hulu ke Hilir
Selama di DPR RI, Andreas berada di Komisi XI yang membidangi Keuangan. Ia menyatakan di PDI-Perjuangan, penempatan tersebut merupakan bagian dari penugasan.
Partai, menurutnya, melihat latar belakangnya di dunia perbankan, yang erat kaitannya dengan masalah ekonomi. Karena itu, penempatannya di komisi ini dirasa sangat tepat, bahkan sesuai dengan passion-nya.
Komisi XI memiliki cakupan kerja yang luas, mulai dari perencanaan pembangunan hingga pengawasan. Dalam perencanaan, bermitra dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Untuk kebijakan fiskal, bekerja sama dengan Kementerian Keuangan. Sementara itu, kebijakan moneter dan makroprudensial menjadi bagian dari koordinasi dengan Bank Indonesia.
Dalam urusan kebijakan mikro, bermitra dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta dalam pengawasan pembangunan berkoordinasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Sebetulnya, dari segi perencanaan hingga pengawasan, hulu ke hilir itu ada di Komisi XI,” katanya.
Andreas menyatakan, menjalankan fungsi di Komisi XI membutuhkan wawasan global yang kuat, mengingat dunia saat ini memiliki tingkat interdependensi
(saling bergantung) yang tinggi.
Namun, kebijakan tetap harus dapat diterapkan secara lokal, dan tidak mungkin membuat kebijakan yang hanya mengandalkan perspektif internal.
“Seperti saat ini, kebijakan Trump menunjukkan bagaimana kebijakan ekonomi dipengaruhi oleh faktor global, termasuk geopolitik dan geoekonomi yang sangat berperan,” katanya.
Pengawasan APBN
Saat ini, Andreas memimpin Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN), salah satu alat kelengkapan dewan termuda di DPR RI yang kembali dibentuk pada tahun 2018.
BAKN memiliki sejumlah tugas utama, antara lain menelaah temuan hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan kepada DPR RI, menyampaikan hasil telaah kepada komisi-komisi terkait, serta menindaklanjuti pembahasan komisi terhadap temuan tersebut.
BAKN memberikan masukan kepada BPK mengenai rencana kerja pemeriksaan tahunan, hambatan yang dihadapi, serta penyajian dan kualitas laporan.
Lembaga ini juga dapat mengusulkan kepada komisi agar BPK melakukan pemeriksaan lanjutan, meminta penjelasan dari berbagai pihak pengelola keuangan negara, serta menyampaikan hasil kerjanya kepada pimpinan DPR dalam rapat paripurna secara berkala.
Andreas menjelaskan, BAKN berperan penting dalam memastikan tindak lanjut atas hasil pemeriksaan BPK. Setelah BPK menyerahkan laporan kepada DPR,
tugas lembaga pemeriksa tersebut dianggap selesai.
BAKN tidak hanya menelaah secara permukaan, tetapi juga melakukan kajian mendalam, bahkan dengan bantuan akuntan atau ahli jika diperlukan. Tujuannya adalah mengidentifikasi kemungkinan kebijakan yang kurang tepat dan menjadi dasar perbaikan dalam pembahasan APBN berikutnya.
Dengan demikian, BAKN menjadi bagian dari satu siklus pengawasan anggaran negara. Tugas BAKN tidak sebatas menghitung total kerugian, melainkan mendorong upaya perbaikan transparansi dan tata kelola APBN.
“Yang paling penting adalah melihat perbaikan, terutama dari segi transparansi dan tata kelola APBN,” ujarnya.
Kelembagaan Diperkuat
BAKN juga memberikan masukan kepada BPK mengenai isu-isu penting, seperti swasembada pangan dan ketahanan energi. Dalam menjalankan tugasnya, BPK tidak hanya memeriksa laporan keuangan, tetapi juga melakukan audit kinerja, dan jika diperlukan, melakukan audit investigatif.
Seiring waktu, kelembagaan BAKN juga mengalami perubahan. Dulu, anggota BAKN beserta pimpinan berjumlah 9 orang, dengan masing-masing fraksi diwakili oleh satu anggota.
Sekarang, jumlahnya bertambah menjadi 19 orang, dengan beberapa fraksi memiliki dua atau tiga anggota, sehingga jika ada anggota yang tidak dapat hadir, ada cadangan yang bisa menggantikan.
Saat ini, BAKN fokus pada tata kelola subsidi, baik untuk pangan maupun energi. Salah satu yang sedang ditelaah adalah tata kelola subsidi pupuk, yang menjadi keluhan utama di banyak daerah.
Meskipun subsidi pupuk terus meningkat, dengan anggaran hampir 47 triliun untuk tahun 2025, permasalahan terkait distribusi dan akses pupuk masih sering dikeluhkan oleh masyarakat di daerah.
“Subsidinya semakin meningkat, tetapi mengapa permasalahannya tetap ada. Ini menjadi keluhan utama saat kita turun ke daerah,” ujarnya.
Kebijakan Pupuk
Masalah subsidi pupuk, menurut Andreas, bisa disederhanakan menjadi beberapa bagian utama. Perencanaan alokasi pupuk bersubsidi dilakukan oleh Kementerian Pertanian untuk menetapkan volume dan jenis pupuk, sementara anggaran disusun oleh Kementerian Keuangan.
Pengadaan dan distribusi pupuk langsung dilakukan oleh PT Pupuk Indonesia Holding. Untuk tahun 2025, alur perencanaan subsidi pupuk telah disederhanakan.
Kementerian Pertanian kini langsung menetapkan jenis komoditas dan volume pupuk yang dibutuhkan, kemudian mengirimkan informasi tersebut kepada Dinas Pertanian Provinsi, yang selanjutnya disampaikan kepada Dinas Pertanian Kabupaten/Kota.
Sebelumnya, proses ini melibatkan berbagai tahapan, seperti SK Gubernur dan SK Bupati, namun kini sudah dipangkas. Distribusi pupuk juga mengalami perubahan. Saat ini, PT Pupuk Indonesia langsung mengirimkan pupuk ke Gapoktan, tanpa melalui distributor atau pengecer.
Meskipun demikian, di lapangan, hal ini masih perlu dievaluasi lebih lanjut, karena masalah utama terjadi pada perencanaan, terutama terkait siapa yang berhak menerima pupuk dan berapa banyak.
Sistem elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK) digunakan untuk menentukan penerima subsidi, namun temuan di lapangan menunjukkan banyak klaim yang belum divalidasi.
Sebagai contoh, di Jawa Barat dan Jawa Timur pada tahun 2024, terdapat 27% jatah pupuk bersubsidi yang tidak diambil. Meskipun subsidi yang tersedia mencapai 15,5 juta ton, hanya 9,7 juta ton yang digunakan, hampir setengahnya tidak dimanfaatkan.
Andreas menyatakan, alasan yang diberikan petani untuk tidak mengambil pupuk, seperti pindah lokasi, meninggal, atau beralih profesi, menurut kajian, tidak
logis dan sulit diterima, karena tanah pertaniannya tetap ada dan seharusnya masih bisa digunakan.
“Jadi, semuanya berdasarkan klaim, belum ada validasi yang tepat. Ini yang perlu kita perbaiki,” ujarnya.
Pengadaan Pupuk
Terkait Pengadaan pupuk di PT Pupuk Indonesia sendiri juga menjadi isu kritikal terkait efisiensi. Sudah banyak pabrik yang usianya sudah sangat tua, sehingga memerlukan energi yang besar.
Padahal, 70% dari biaya energi, seperti gas, merupakan komponen terbesar dalam harga pokok produksi (HPP). Pemerintah membayar subsidi berdasarkan HPP plus margin, yang menyebabkan kebijakan ini mengarah pada kurangnya dorongan untuk efisiensi, karena subsidi akan tetap diberikan berapapun HPP-nya.
Holdingisasi yang seharusnya meningkatkan efisiensi juga belum dilakukan secara optimal, terutama dalam hal pengadaan dan impor bahan baku. Masalah harga juga sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga gas dan bahan baku impor.
PT Pupuk Indonesia terus berproduksi dan mengirimkan barang, tetapi harga gas yang berfluktuasi sangat mempengaruhi biaya. Oleh karena itu, disarankan untuk membuat kontrak jangka panjang, terutama antara BUMN, seperti PT Pupuk Indonesia dan PT Gas, agar lebih stabil.
Krisis geopolitik yang terjadi, seperti yang terjadi di Kroasia, juga mempengaruhi harga bahan baku. Di sisi distribusi, rencana untuk mengirimkan pupuk langsung kepada petani memang baik, dengan tujuan untuk mendekatkan pupuk ke petani.
Namun, yang menarik adalah, dari seluruh Gapoktan yang seharusnya siap dan memiliki badan usaha, hanya kurang dari 3% yang memenuhi kriteria.
“Ini memerlukan pendalaman lebih lanjut, apakah koperasi merah putih akan menjadi solusi dalam distribusi ini, atau apakah ada cara lain yang perlu dieksplorasi,” tambahnya.