Saya mengenal Pak Budi Santosa, sejak awal saya mulai magang sebagai wartawan di Suara Merdeka, 1978. Saya mahasiswa Fakultas Hukum Undip, yang menjadi redaktur pelaksana Koran Kampus Manunggal.
Di koran kampus ini, saya belajar menulis, menyunting, menata lay out, sampai mencari iklan. Pak Budi menjadi pimpinan perusahaan di Suara Merdeka, masih berkantor di Jalan Merak Semarang.
Saya berhasil membujukknya untuk memasang iklan di tabloid Manunggal. Saya tidak tahu, saya yang pintar menjual, atau pak Budi yang kasihan pada saya. Atau memang almarhum baik hati.
Mungkin juga hanya sekali itu Suara Merdeka memasang iklan, membayar penuh di halaman paling belakang, dengan harga termahal. Desain diserahkan sepenuhnya pada saya. Ketika saya ditugaskan menjadi Wakil Pemimpin Redaksi, tahun 1989, tak pernah diberi tahu sebelumnya.
Langsung diumumkan dalam rapat rutin yang dipimpin Pemimin Redaksi saat itu, Drs. Sutrisna. Ketika saya menghadap, saya menyampaikan “kerikuhan” saya harus melewati dan memimpin para senior.
Saya usul apakah tidak mungkinpara senior saya dipromosikan di tempat lain. “Ya, itu tugasmu, termasuk mengelola para senior,” kata Pak Budi.
Menjaga Suara Merdeka
Ketika saya dimasukkan sebagai pengurus Partai Golkar Jawa Tengah, saya dipanggil. Pak Budi menyampaikan, saya masuk pengurus menggantikannya sebagai perwakilan Suara Merdeka.
“mBang, kamu gantikan saya. Capek saya jadi pengurus, hanya dimarahin terus kalau ada yang salah di Suara Merdeka,” katanya.
Masa itu memang mengendalikan surat kabar harus selalu melihat arah angin. Memasang foto terbalik saja, atau berita Pak Harto di halaman belakang, bisa jadi masalah.
Sampai ketika Pak Harmoko menjadi ketua umum Golkar, saya sering mewakili kepentingan Suara Merdeka. Antara lain dengan membawa dalang Enthus Susmono pentas di rumah keluarga Pak Harmoko di Pacitan. Mewawancarai Menteri Penerangan tersebut di rumah dinasnya di Jakarta, untuk dijadikan Man of The Year Harian Suara Merdeka.
Menjadi Ketua PWI
Posisi pak Budi sangat unik ketika pemilihan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Tengah, 1992. Saya harus berhadapan dengan Pak Sutjipto, SH pemimpin redaksi Harian Wawasan saat itu, yang juga keluaga besar dan senior di Suara Merdeka Group.
Pak Soewarno SH, senior lain yang harus memimpin acara pemilihan tersebut secra langsung, juga terkesan tidak nyaman. Saya yang mendapat suara lebih banyak, karena ternyata pak Budi sudah menitipkan pesan, karena saat pemilihan, almarhum tidak berada di kantor.
Kepada sekretarisnya berpesan, kalau ada yang tanya, beritahu saya dukung Bambang Sadono. Demikian cerita beberapa orang pada saya, tentang dukungan Pak Budi tersebut.
Kenangan indah walaupun membuat saya deg-degan, saat akan mengurus surat-surat kelengkapan pencalonan Pak Budi sebagai anggota MPR RI, dan saya sebagai calon anggota DPR-RI, tahun 1997. Kami harus datang sendiri ke balikota Semarang, untuk menendatangani beberapa surat.
“Saya ikut kamu saja,” katanya. Saya akhirnya menyopiri beliau, di mobil dinas saya, Suzuki Katana yang kecil.
Keluar dari SM
Saya pernah dilarang untuk menjadi anggota DPRD Jawa Tengah. “Masih lebih gagah jadi wartawan Suara Merdeka. Besok saja kalau jadi anggota DPR RI” katanya.
Walaupun sudah diketahui proses pencalonan saya, saat saya harus menjadi anggota DPR RI di Jakarta, tetap ada sedikit “drama”.
“Saya sampai sakit perut mengurus kamu. Saya tidak keberatan kamu jadi anggota DPR, tetapi banyak temanmu yang keberatan, kalau kamu nanti kembali ke Suara Merdeka dan tetap jadi pimpinan,” katanya.
Akhirnya saya mengambil inisiatif, untuk mundur saja. Ketika tahun 2004, pertama kali ada insitusi DPD RI, saya menghadap beliau di rumah. Saya mengusulkan agar Pak Budi sebagai tokoh Jawa Tengah mengambil peran tersebut.
Ternyata almarhum tidak pernah mempersiapkan diri, karenanya tidak mendaftar. Waktu pengambilan formulir pendaftaran sudah lewat. Belum lagi soal mengumpulkan tanda tangan dukungan.
Saya cari Zaenal Abidin Petir, yang sudah mengambil formulir dan mengumpulkan dukungan untuk menjadi calon. Saya minta formular sekaligus pernyataan dukungannya, dan dipindahkan untuk pak Budi. Akhirnya pak Budi terpilih sebagai anggota DPD RI, dan Zaenal Petir jadi karyawan Suara Merdeka.
Belajar Manajemen
Sangat banyak yang saya, mungkin juga teman teman lain belajar dari Pak Budi. Almarhum pernah memimpin Lembaga Manajemen, yang sering memberi training di lingkungan Suara Merdeka. Saya sering ikut, mulai dari manajemen Sumber Daya Manusia (SDM), sampai ke manajemen pemasaran.
Saya banyak beruntung, karena diizinkan dan diayasi untuk training manajemen baik di LLPM Jakarta, maupun di Lembaga Manajemen Universitas Indonesia (UI).
Ketika saya harus mengikuti Kursus Reguler Lemhannas, tahun 1995, sekitar delapan setengah bulan, jika diberi kebebasan, tetap dibayar sebagai karyawan, dan dibiayai transportasi pulang pergi seminggu sekali, dan biaya hidup selama di Jakarta, tinggal di kantor perwakilan.
Bahkan ketika saya mengikuti kuliah S2 Ilmu Hukum, tahun 1986, awal awal ada program S2 di Undip, dibiayai penuh oleh Suara Merdeka.
Secara pribadi banyak pelajaran, terutama kiat bergaul dna menempatkan diri di masyarakat, diberikan.
Termasuk ketika menghadapi orang atau fihak yang kurang mendukung keberadaan kita. Pilihan kompetisi datau kolaborasi.
“If You Can’t Beat Them, Join Them,” katanya. Kalau tidak bisa mengalahkan, ya bergabung saja.***