Suhardi pun menekuni politik secara serius dan pernah menjabat sebagai Ketua Komisi D DPRD, Wakil Ketua DPRD, hingga menjadi Ketua DPRD Kabupaten Mamuju.
Karier politiknya berlanjut ketika diusung oleh beberapa partai politik sebagai calon bupati dalam pemilihan kepala daerah secara langsung untuk pertama kalinya. Ia terpilih menjadi Bupati Mamuju selama dua periode, dari tahun 2005 hingga 2015. Pada tahun 2017, mencalonkan diri sebagai Gubernur Sulawesi Barat, tapi belum berhasil.
“Memang begitulah hidup, tidak selamanya terus sukses. Tapi itu menjadi pelajaran berharga bagi saya,” ujarnya.
Kemudian mencalonkan diri sebagai anggota legislatif tingkat pusat dan terpilih sebagai Anggota DPR RI periode 2019-2024. Dalam Pemilu berikutnya, kembali meraih kursi DPR RI. Namun, atas arahan pimpinan partai politik di Jakarta, ia diminta untuk kembali mengabdi di daerah, ikut dalam pemilihan Gubernur Sulawesi Barat dan terpilih sebagai Gubernur Sulawesi Barat untuk periode 2025–2030.
Zona Tantangan
Pengalaman Suhardi selama 10 tahun memimpin Kabupaten Mamuju telah meninggalkan kesan mendalam di hati masyarakat. Saat itu, Mamuju termasuk daerah sangat tertinggal, dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) rendah dan tingkat kemiskinan mencapai 16,9%. Bahkan, daerah ini sempat dianggap sebagai tempat pembuangan. Di bawah kepemimpinannya, angka kemiskinan berhasil ditekan hingga sekitar 6,5% pada tahun 2015.
Berhasil pula mengeluarkan Mamuju dari status daerah endemi malaria dan dari kategori daerah tertinggal. Keberhasilan tersebut menjadi bagian dari warisan yang dikenang masyarakat. Tak heran, setiap momentum politik, Suhardi selalu memperoleh dukungan luas.
Melihat kondisi Sulawesi Barat yang masih tertinggal dari sisi indikator makroekonomi, Suhardi merasa terpanggil untuk kembali mengambil risiko memimpin. Baginya, ini bukan zona nyaman, melainkan zona tantangan untuk membawa Sulawesi Barat naik kelas menjadi daerah maju dan sejahtera.
“Kami tidak ingin Sulawesi Barat terus menjadi beban bagi Indonesia. Minimal, bisa mencapai posisi menengah dan tidak lagi berada di posisi paling bawah,” katanya.
Suhardi menggandeng Mayor Jenderal TNI (Purn.) Salim S. Mengga sebagai wakil gubernur, seorang tokoh berpengaruh di Sulawesi Barat. Komitmen dijaga agar hubungan antara gubernur dan wakil gubernur tetap harmonis. Meski pernah berhadapan dalam pemilihan gubernur sebelumnya, sikap saling menghargai terus diutamakan, termasuk dalam pembagian tugas untuk memastikan roda pemerintahan berjalan efektif.
“Politik itu berbeda saat kompetisi. Setelahnya, kembali akur, tidak ada masalah,” ujarnya.
Panca Daya Pembangunan
Suhardi menilai, saat ini, berdasarkan indikator ekonomi makro, Sulawesi Barat masih tergolong jauh tertinggal. Angka kemiskinan berada di atas rata-rata nasional, sekitar 11%. Prevalensi stunting pun menduduki posisi kedua tertinggi secara nasional. Pertumbuhan ekonomi berada pada angka 4,76%, lebih rendah dibanding rata-rata nasional, dan ketimpangan antarwilayah masih terasa kuat. Dari enam kabupaten yang ada, sebagian wilayah kecamatan dan desa belum sepenuhnya terjangkau oleh infrastruktur dasar.
Tantangan inilah yang ingin dijawab dengan sebuah visi besar, Sulawesi Barat Maju dan Sejahtera. Maju dalam arti pembangunan menyentuh seluruh sektor, termasuk infrastruktur tanpa lagi blank spot. Sejahtera dalam arti masyarakat mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, menyekolahkan anak, mengakses layanan kesehatan, serta merasakan hasil pembangunan secara nyata.
Untuk mewujudkan visi tersebut, ditetapkan lima program prioritas yang dirangkum dalam konsep Panca Daya. Pertama, meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Hal ini penting mengingat 46% PDRB daerah masih bergantung pada sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan. Diperlukan keseimbangan dengan sektor industri, perdagangan, dan manufaktur agar pembangunan lebih merata.
Kedua, menurunkan angka kemiskinan. Ketiga, meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang berkarakter. Keempat, membangun infrastruktur yang merata di seluruh kabupaten agar tidak ada lagi ketimpangan antardaerah. Dan kelima, menciptakan birokrasi yang melayani, melalui digitalisasi layanan publik serta pemberantasan korupsi.
“Itulah Panca Daya yang kami akan laksanakan lima tahun ke depan,” tegasnya.
PAD Masih Kecil
Suhardi telah melakukan pemetaan secara terperinci terhadap seluruh potensi yang dimiliki Sulawesi Barat. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebenarnya memiliki peluang untuk dikembangkan. Namun, saat ini banyak kepala daerah, termasuk dirinya, sangat berhati-hati dalam memberikan penyertaan modal. Sebab, apabila BUMD mengalami kerugian, kepala daerah berisiko diperiksa oleh aparat penegak hukum. Oleh karena itu, potensi risiko hukum dihindari sebisa mungkin.
Penyertaan modal hanya dipertimbangkan jika diberikan kepada Bank Pembangunan Daerah (BPD), karena dinilai lebih aman dan memiliki peran strategis dalam mendukung perekonomian masyarakat. Meskipun nilai penyertaannya tidak besar, BPD terbukti mampu membantu masyarakat, termasuk dalam penyaluran kredit usaha dan kredit pegawai.
Ke depan, BPD didorong untuk lebih aktif menyasar pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat akan berperan sebagai penjamin (avalis) terhadap kredit-kredit yang disalurkan kepada UMKM dalam rangka mendorong pertumbuhan sektor usaha di daerah.
Suhardi menyatakan, saat ini hampir seluruh daerah masih bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat. Di Sulawesi Barat, Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya menopang sekitar 30 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Nilainya pun masih tergolong kecil, yaitu sekitar Rp500 miliar.
“Upaya peningkatan PAD akan terus kami lakukan melalui optimalisasi berbagai potensi daerah, termasuk dengan mendorong hilirisasi dan peningkatan investasi,” ujarnya.
Hilirisasi Pertanian
Sektor perkebunan dan pertanian saat ini memegang peranan penting dalam perekonomian Sulawesi Barat. Tiga komoditas unggulan yang menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi daerah adalah kelapa sawit, kakao, dan kopi. Selain itu, Sulawesi Barat juga mengalami surplus di sektor pangan, terutama beras dan jagung. Surplus tersebut ditopang oleh dua kabupaten utama, yakni Polewali Mandar dan Mamuju. Bahkan, produksi jagung dari wilayah ini tidak hanya mencukupi kebutuhan lokal, tetapi juga memasok provinsi lain seperti Sulawesi Selatan untuk keperluan pakan ternak dan kebutuhan industri lainnya.
Namun, sebagian besar hasil pertanian dan perkebunan tersebut masih dijual dalam bentuk bahan mentah. Padahal, jika pengusaha berinvestasi untuk membangun pabrik di wilayah ini, seperti pabrik pakan ternak, nilai tambah yang diperoleh akan jauh lebih besar.
“Memang harga komoditas kami selalu rendah, salah satunya karena rantai transportasinya terlalu panjang. Ini juga menjadi persoalan tersendiri,” ujarnya.
Meskipun Sulawesi Barat merupakan daerah penghasil sawit, minyak goreng yang dikonsumsi masyarakat justru berasal dari Jakarta. Hal ini menunjukkan belum adanya hilirisasi. Seharusnya, sudah ada pabrik minyak goreng di Sulawesi Barat untuk memenuhi kebutuhan lokal dan menjadi penyangga bagi wilayah sekitar seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, atau Sulawesi Selatan. Tidak semuanya harus bergantung pada Pulau Jawa.
Hal yang sama juga berlaku untuk komoditas kakao. Biji kakao sebaiknya tidak diekspor dalam bentuk mentah, melainkan sudah dalam bentuk olahan seperti minyak atau tepung kakao. Idealnya, pabrik-pabrik pengolahan tersebut dibangun di wilayah penghasil, bukan di luar pulau.
“Dengan demikian, nilai tambah yang lebih besar akan diperoleh. Hilirisasi sektor pertanian dan perkebunan sangat penting untuk masa depan ekonomi daerah,” katanya.
Ekonomi Biru
Sektor perikanan di Sulawesi Barat memiliki potensi yang cukup besar, mengingat wilayah ini memiliki garis pantai hampir mencapai 700 km. Namun, sektor ekonomi biru ini masih menghadapi kendala. Investasi di sektor perikanan belum banyak masuk, dan infrastruktur pendukung sektor ini belum tersedia dengan baik.
Di sektor perikanan tangkap, potensi juga cukup besar, seperti tuna, kerapu, lobster, dan berbagai jenis ikan lainnya. Sayangnya, hasil tangkapan ini sering kali langsung dibawa ke Makassar karena belum memiliki fasilitas penyimpanan (cool storage) yang memadai.
“Jika ada investasi yang masuk untuk mengelola hasil perikanan ini, dan produk-produk tersebut diproses serta diekspor dalam berbagai bentuk, nilai tambah yang dihasilkan akan sangat besar,” katanya.
Untuk perikanan budidaya, seperti udang vaname, potensinya cukup bagus dan sudah diekspor. Produksi udang ini berasal dari dua kabupaten, yaitu Kabupaten Pasangkayu dan Kabupaten Mamuju Tengah. Namun, karena sektor ini padat modal, sebagian besar usaha budidaya masih dimiliki oleh pengusaha dari luar daerah.
Revitalisasi tambak-tambak tradisional yang produktivitasnya rendah dilakukan dengan memperbaiki tambak, memberikan bibit unggul, dan langkah-langkah lainnya. Hasilnya diharapkan meningkat, meskipun produktivitasnya belum setinggi tambak modern yang dikelola oleh pengusaha besar.
Pacu Invesitasi dan Hilirisasi Banyak Potensi Termasuk LTJ
Sulawesi Barat saat ini berperan sebagai salah satu daerah penyuplai material untuk mendukung pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), khususnya pasir dari galian C.
Meski begitu, sektor pertambangan masih menghadapi sejumlah hambatan, seperti persoalan lingkungan dan resistensi dari masyarakat. Hal ini perlu dibenahi agar potensi strategis ini bisa dimanfaatkan secara optimal, terutama jika pemindahan ibu kota benar-benar terealisasi.
Sektor hortikultura juga menyimpan peluang besar. Sulawesi Barat masih memiliki lahan yang luas yang dapat dimanfaatkan untuk menanam cabai, bawang, buah-buahan, dan komoditas lainnya. Ke depan, hasil produksi ini bisa mendukung kebutuhan IKN bahkan dikirim ke Jawa. Saat ini, pengelolaannya masih dilakukan dalam skala kecil oleh para petani lokal.
Untuk tambang mineral, sejauh ini baru batubara yang mulai beroperasi. Batubara dari Sulawesi Barat memiliki kualitas tinggi dengan kalori sekitar 7.000, yang dikenal sebagai King Coal. Sayangnya, masih terdapat kendala perizinan penjualan, sehingga hasil tambang tersebut menumpuk di lokasi dan belum bisa keluar.
Sulawesi Barat juga memiliki potensi strategis yang langka dan tidak dimiliki daerah lain di Indonesia, yaitu logam tanah jarang (LTJ) dan uranium. Potensi ini sangat besar dan menjanjikan untuk masa depan. Suhardi berharap pengelolaannya tidak diserahkan kepada swasta atau investor asing. Idealnya, Danantara yang mengambil peran dalam pengelolaan sumber daya strategis ini.
“Jika Danantara masuk dan mengelola LTJ dan uranium ini, maka bisa menjadi proyek strategis nasional bagi provinsi kami,” ujarnya.
Karpet Merah Investasi
Masalah utama dalam merealisasikan program pembangunan di Sulawesi Barat adalah kebutuhan akan investasi. Suhardi ingin menarik investasi agar tidak terpusat hanya di Jawa. Untuk itu, karpet merah disiapkan bagi investor, dengan menghilangkan hambatan administratif dan kendala lainnya agar investor dapat masuk dan berkontribusi dalam pembangunan.
Keterbatasan infrastruktur menjadi tantangan besar dalam menarik investor. Selain itu, ketersediaan energi listrik masih terbatas, padahal wilayah ini memiliki potensi besar dalam pengembangan energi. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sudah mulai berjalan, dengan potensi energi yang diperkirakan mencapai 500 Megawatt.
Hambatan lainnya, sebagian besar wilayah yang memiliki potensi besar masih berstatus sebagai kawasan hutan. Status ini menjadi halangan dalam pengembangan infrastruktur maupun investasi. Tanpa adanya penyesuaian status lahan, investor sulit melakukan pembangunan.
“Kalau wilayah-wilayah yang memiliki potensi besar itu dilepaskan dari status kawasan hutan, saya kira tidak akan jadi masalah. Tapi kalau negara terus mengikat, ini bisa menjadi kendala,” katanya.
Atasi Kemiskinan
Angka kemiskinan di Sulawesi Barat yang mencapai sekitar 11%, dengan 1,4% di antaranya termasuk kemiskinan ekstrem. Suhardi berkomitmen untuk mengatasi masalah kemiskinan ini melalui berbagai program. Salah satunya adalah pemberian subsidi rumah tangga miskin sebesar 2 juta dalam bentuk tunai, yang disalurkan dua kali setahun, masing-masing 1 juta, untuk memastikan tercukupinya gizi dan kebutuhan makan.
Program pemberdayaan juga dilakukan dengan memberikan kambing kepada warga yang memiliki potensi untuk beternak. Bagi yang tidak memiliki lahan, kerja sama dengan transmigrasi dilaksanakan untuk memberikan akses terhadap lahan, sehingga dapat bekerja di sektor pertanian atau sektor lainnya.
Suhardi juga memberikan pelatihan keterampilan kerja serta modal stimulan bagi yang ingin membuka usaha, seperti bengkel atau UMKM. Program KUR dari bank juga dioptimalkan untuk mendukung usaha-usaha kecil ini, dengan menyediakan pasar untuk memasarkan produk.
“Langkah-langkah ini kami lakukan saat ini dan akan terus dilanjutkan ke depan,” pungkasnya.