Saya akan terus bekerja untuk rakyat, khususnya masyarakat Kepulauan Riau. Usia bukanlah halangan untuk terus berkontribusi. Selama ada kekuatan, saya akan terus berjuang,” tegasnya.
Ismeth Abdullah telah menetapkan sejumlah agenda prioritas untuk memajukan Kepulauan Riau. Ia memberi perhatian besar pada penguatan sektor maritim dan pariwisata, yang menjadi kekuatan utama provinsi ini.
Selain itu, ia bertekad memperjuangkan pembangunan infrastruktur yang lebih merata, terutama di wilayah terpencil yang masih tertinggal. Ia menyatakan bahwa di DPD RI,
dirinya siap menjadi jembatan antara masyarakat dan pemangku kepentingan, serta mendorong penataan dan pengawasan agar pembangunan dirasakan secara merata.
UU Kepulauan
Ismeth Abdullah memilih bergabung ke DPD RI karena melihat masalah serius dalam hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Menurutnya, kebijakan transfer ke daerah semakin kecil jumlahnya.
Selama lebih dari sepuluh tahun, porsi transfer ke daerah dari total APBN hanya sekitar 25%. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat tampak ingin mengendalikan orang sekaligus uang, sehingga otonomi daerah seakan berjalan setengah hati.
“Masalahnya bukan hanya soal transfer dana, tetapi juga SDM dan institusinya yang dikendalikan pusat,” ujarnya.
Masalah ini berkaitan erat dengan sistem politik nasional yang belum memberikan dukungan nyata bagi provinsi-provinsi kepulauan. Hingga kini, Undang-Undang Kepulauan pun belum ada. Ia bahkan sempat memprotes Bappenas yang menilai keberhasilan provinsi hanya berdasarkan panjang jalan.
“Provinsi kepulauan seperti Kepri jelas tidak bisa dinilai dengan panjang jalan atau tol. Dengan sekitar 2.450 pulau, sebagian besar adalah pulau kecil yang membutuhkan sarana transportasi laut dengan biaya jauh lebih mahal,” tegasnya.
Ismeth mencontohkan bahwa harga satu bus berkapasitas 60 orang jauh lebih murah dibandingkan kapal feri dengan jumlah penumpang yang sama, di mana biayanya bisa lima hingga enam kali lipat lebih mahal.
Akses antarpulau pun sulit, misalnya Batam–Tanjung Pinang membutuhkan 1,5 jam, Batam–Karimun 2 jam, Batam–Anambas 30 jam, dan Batam–Natuna 38 jam perjalanan laut. Bus bisa berhenti di mana saja, tetapi kapal harus dibuatkan dermaga terlebih dahulu.
Kondisi ini berdampak pada pelayanan publik. Pernah terjadi kasus ibu melahirkan dengan posisi sungsang, namun keterbatasan fasilitas rumah sakit membuat penanganan darurat sulit dilakukan karena dokter tidak mencukupi dan akses rujukan memakan waktu sangat lama,
sehingga tidak sedikit yang kehilangan nyawa di tengah perjalanan. Begitu pula saat terjadi kebakaran di salah satu pulau, sulit dipadamkan karena tidak tersedia lapangan terbang untuk bantuan pemadam kebakaran.
Ia menegaskan pentingnya undang-undang khusus yang memungkinkan pemerintah membangun daerah kepulauan, terutama yang berada di wilayah perbatasan.
Di Kepulauan Riau, misalnya, dari 2.450 pulau yang ada, sebagian besar berbatasan langsung dengan Vietnam dan Laut Cina Selatan. Bahkan, dalam buku pelajaran di Tiongkok, Natuna masih dianggap bagian dari wilayah mereka.
“Karena itu, harus ada perlindungan melalui Undang-Undang Kepulauan,” katanya.
Krisis Listrik
Untuk merealisasikan agenda pembangunan Kepulauan Riau, Ismeth Abdullah rutin melakukan kunjungan reses ke berbagai daerah untuk mendengar secara langsung permasalahan yang terjadi serta mengetahui kebutuhan dan usulan warga.
Dari kunjungan tersebut, ia menerima banyak keluhan terkait pemadaman listrik yang masih sering terjadi di sebagian besar wilayah di Kepulauan Riau ini.
Batam, yang telah tumbuh menjadi kota metropolitan, sering mengalami pemadaman listrik bergilir tanpa pemberitahuan resmi. Situasi ini berdampak langsung pada aktivitas rumah tangga, pendidikan, layanan kesehatan, hingga sektor ekonomi seperti perdagangan, perhotelan, dan usaha kecil.
Bahkan, pernah terjadi insiden di mana seorang bayi 10 bulan mengalami sesak napas karena terjebak di lift di sebuah mal di Batam.
Ismeth Abdullah terus berupaya mencari solusi atas permasalahan listrik yang dikeluhkan warga. Menurutnya, masyarakat tidak ingin pemadaman listrik terus terjadi dan menolak kenaikan tarif baru yang semakin membebani mereka.
Sejak 1 Juli 2025, PT PLN Batam memberlakukan penyesuaian tarif listrik untuk golongan tertentu sebesar 1,43%. “Kami masih mengumpulkan pengaduan dari masyarakat,” ujarnya.
Potensi Energi Surya
Di tengah krisis ini, Kepulauan Riau sebenarnya memiliki potensi besar dalam energi terbarukan, terutama Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Dengan lebih dari 2.000 pulau, wilayah ini sangat ideal untuk pengembangan PLTS, namun potensinya belum dimanfaatkan secara optimal.
Bahkan, Singapura berencana mengimpor listrik tenaga surya dari Indonesia. Letaknya yang strategis menjadikan Kepulauan Riau kandidat utama dalam proyek energi terbarukan lintas negara.
Ismeth Abdullah menyatakan antusiasme masyarakat, terutama setelah diketahui sekitar 20% dari hasil produksi PLTS dapat disalurkan untuk kebutuhan lokal. “Ini bisa menjadi solusi nyata atas kekurangan listrik yang selama ini mereka hadapi,” katanya.
Sejumlah investor domestik dan internasional telah mulai melakukan survei di beberapa pulau di Kepulauan Riau. Selain memenuhi kebutuhan energi masyarakat, proyek ini juga berpotensi membuka lapangan pekerjaan baru dan akan sangat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Oleh karena itu, ia mendorong pemerintah pusat, khususnya kementerian terkait, untuk segera menindaklanjuti proyek ini secara serius demi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
“Ini adalah peluang besar bagi Kepulauan Riau untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya di daerahdaerah terpencil,” ujarnya.
Pembangunan Batam
Kepulauan Riau memiliki potensi besar untuk berkembang, terutama Batam yang memiliki posisi strategis sebagai pusat industri dan investasi. Menurut Ismeth Abdullah, Batam harus terus berbenah guna memperkuat daya saingnya sebagai kawasan ekonomi unggulan.
Langkah ini mencakup perbaikan infrastruktur, peningkatan investasi, serta pembenahan tata kelola kawasan agar pertumbuhan ekonomi berlangsung pesat dan berkelanjutan.
Salah satu agenda utama yang menjadi perhatian adalah Proyek Strategis Nasional (PSN) pembangunan Jembatan Batam-Bintan. Proyek ini dinilai sebagai bagian dari strategi besar untuk meningkatkan konektivitas antarwilayah di Kepulauan Riau, mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih merata, sekaligus memajukan sektor pariwisata.
Selain itu, penciptaan lapangan kerja baru dan program peningkatan pendapatan daerah menjadi prioritas untuk memastikan kesejahteraan masyarakat dapat meningkat seiring masuknya investasi dan pembangunan infrastruktur.
“Kepulauan Riau memiliki potensi yang sangat besar. Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Saya akan terus berjuang agar Kepulauan Riau tidak tertinggal dalam pembangunan nasional,” tegasnya.
Rempang Eco City
Ismeth Abdullah juga menyoroti isu pembangunan Rempang Eco City, yang masih menuai kontroversi. Sebagai PSN yang didukung investasi besar, proyek ini sempat memicu konflik antara pengembang, pemerintah, dan masyarakat lokal, terutama karena warga merasa terpinggirkan dari tanah yang telah mereka
tempati selama puluhan tahun.
Penolakan warga bukan ditujukan pada investasi atau pembangunan itu sendiri, melainkan pada cara pemerintah yang memaksakan pembangunan tanpa menghormati keberadaan dan hak kepemilikan tanah mereka.
“Padahal warga di sini tidak menolak investasi. Investor boleh membangun Eco City dan industri, tapi kami jangan sampai diusir. Inilah yang menyebabkan banyak persoalan berlarut-larut hingga sekarang,” katanya.
Ismeth menyebutkan, dari total 17.500 hektar lahan di Pulau Rempang, hanya sekitar 350 hektar (2%) yang masih dikuasai warga. Sementara itu, investor disebut menuntut agar tidak ada warga yang tinggal di kawasan tersebut.
Ia juga menyayangkan infrastruktur yang selama ini dibangun pemerintah, seperti jalan, sekolah, puskesmas, dan bendungan, terancam beralih ke tangan investor.
Buruknya penanganan konflik di Rempang kini telah menjadi sorotan internasional. Media seperti CNN dan Al Jazeera turut meliput peristiwa tersebut, menggambarkan situasi di Rempang sebagai pelanggaran terhadap hak-hak warga.
“Tidak ada cara lain selain bermusyawarah untuk mencari penyelesaian sebaik-baiknya,” ujarnya, karena warga di sana sangat mendukung masuknya investasi tersebut.
Masyarakat Hukum Adat
Warga juga ikut membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat. Ismeth Abdullah mengungkapkan bahwa DPD RI, melalui Tim Kerja Akselerasi, berkomitmen mempercepat pembahasannya dengan target pengesahan pada tahun 2025.
RUU ini merupakan kelanjutan dari RUU Perlindungan Hak Masyarakat Adat yang disusun DPD RI pada 2018. Tim Kerja Akselerasi telah menggelar diskusi intensif dengan dua organisasi penting, yaitu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Kemitraan.
Regulasi ini dinilai penting sebagai payung hukum yang melindungi 33,6 juta hektar wilayah masyarakat hukum adat di Indonesia. Dalam sepuluh tahun terakhir, tercatat lebih dari 678 konflik agraria yang berdampak pada hilangnya lebih dari 11 juta hektar wilayah adat.
Menurut Ismeth, perlu dilakukan redefinisi masyarakat adat agar regulasi ini lebih relevan dengan perkembangan investasi dan perubahan sosial budaya, sehingga bisa lebih adaptif terhadap kemajuan terkini.
“RUU ini harus memperkuat persatuan nasional tanpa membuka celah konflik baru,” tegasnya.
Jadi Gubernur Pertama Kepri Setelah Pimpin Otorita Batam
Ismeth Abdullah tercatat sebagai Gubernur pertama Provinsi Kepulauan Riau setelah provinsi ini dimekarkan dari Provinsi Riau pada tahun 2002. Pada masa Presiden Megawati, ia ditunjuk sebagai Pejabat Gubernur Kepulauan Riau untuk masa jabatan 2004–2005.
Selanjutnya, ia terpilih menjadi Gubernur Kepulauan Riau untuk periode 2005–2010 dalam pilkada. Selama masa jabatannya, Ismeth Abdullah berhasil mendorong perkembangan infrastruktur dan investasi di Kepulauan Riau.
Salah satu pencapaian utamanya adalah pengembangan Batam, Bintan, dan Karimun (BBK) sebagai kawasan ekonomi yang menarik bagi investor domestik maupun internasional.
Pada masa kepemimpinannya, pertumbuhan ekonomi Provinsi Kepulauan Riau pernah mencapai 7,1%, tertinggi di Indonesia bersama Kalimantan Timur.
Visinya berfokus pada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui industrialisasi, pembangunan infrastruktur, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Di bawah kepemimpinannya, Kepulauan Riau mulai dikenal sebagai salah satu kawasan ekonomi terpenting di Indonesia, terutama dalam sektor industri, perdagangan, dan pariwisata.
Sebelum menjadi Gubernur Kepulauan Riau, Ismeth Abdullah dikenal sebagai penggerak utama pembangunan kawasan industri Batam, yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi strategis di wilayah tersebut.
Ia ditunjuk oleh Presiden B.J. Habibie sebagai Ketua Otorita Batam pada 1998. Selama menjabat, ia berhasil menarik investasi asing sekaligus menciptakan lapangan kerja luas bagi masyarakat Batam dan sekitarnya.
Di bawah kepemimpinannya, Batam menarik lebih dari 1.000 Penanam Modal Asing (PMA) dengan total investasi mencapai USD 1,4 miliar. Jumlah perusahaan asing juga meningkat tiga kali lipat lebih banyak, dari 300 menjadi sekitar 1.000 dalam kurun waktu lima tahun, tepat ketika Indonesia tengah bangkit dari krisis ekonomi.
Kontribusinya dalam berbagai asosiasi dan Lembaga Swadaya Masyarakat mencerminkan kepeduliannya terhadap keseimbangan antara sektor publik dan swasta. Berkat pengalamannya, ia sering diundang menjadi pembicara dalam seminar dan konferensi nasional maupun internasional.
Investasi Berkurang
bIsmeth Abdullah adalah salah satu tokoh yang mendukung gerakan pemisahan Kepulauan Riau dari Provinsi Riau. Ia turut menyusun kajian ekonomi terkait pemisahan tersebut yang akhirnya disetujui DPR pada 2002, meskipun baru diresmikan pada 2004.
Saat itu, ia masih menjabat sebagai Kepala Otorita Batam dan kemudian ditunjuk oleh Presiden Megawati sebagai Pejabat Gubernur Pertama Kepulauan Riau periode 2004–2005 untuk mempersiapkan perangkat pemerintahan provinsi.
Pada Pilkada 2005, masyarakat kembali memintanya maju, dan ia terpilih sebagai Gubernur Kepulauan Riau periode 2005–2010. Sejak saat itu, ia menetap di Batam bahkan setelah tidak lagi menjabat. Ia sempat menjadi konsultan, termasuk tenaga ahli di Otorita Batam.
Menurutnya, Batam perlu terus dikembangkan dengan strategi jemput bola untuk menarik investor. Kini, Otorita Batam telah berganti nama menjadi Badan Pengusahaan Batam (BP Batam),
yang dalam 10 tahun terakhir pimpinannya dirangkap oleh Wali Kota. Ismeth menilai kondisi ini membuat perhatian terhadap Batam berkurang, sehingga upaya menarik investasi menjadi kurang optimal.
Meski begitu, ia menganggap Batam masih tergolong maju dan tetap diminati oleh investor domestik maupun internasional, terutama dengan keberadaan galangan kapal yang terus berkembang, menjadikan Batam sebagai pusat industri galangan kapal di Indonesia.
Awal Karier
Saat kuliah, Ismeth Abdullah aktif sebagai Staf Peneliti LPEM FEUI (1971–1973), juga terlibat di HMI dan KAMI angkatan 66. Setelah lulus, ia memulai karier sebagai manajer proyek di Bank PDFCI, anak perusahaan Bank Indonesia dan Bank Dunia.
Selama tiga tahun di sana, ia sempat mengikuti pendidikan di Economic Development Institute of the World Bank, AS. Sekembalinya ke Indonesia, ia bergabung dengan Bank Bukopin sebagai Direktur Pemasaran (Juli 1985–Juli 1989).
Kemudian, ia menjabat sebagai Pimpinan Harian Dewan Penunjang Ekspor (Oktober 1989–Juli 1998), lembaga kerja sama Bank Dunia dan Kementerian Perdagangan yang membantu meningkatkan kualitas produk ekspor serta mendukung UKM berorientasi ekspor.
Selama kepemimpinannya, lebih dari 1.000 UKM mendapat manfaat dari program ini. Di sinilah ia mulai mengenal BJ Habibie, yang saat itu menjadi Ketua Otorita Batam.
Ketika BJ Habibie menjadi Presiden, Ismeth ditunjuk sebagai Ketua Otorita Batam. Namun sebelum memulai tugas, ia sempat mengunjungi Batam secara inkognito selama beberapa hari untuk menyusun strategi pembangunan.
Menurutnya, pembangunan Batam tidak hanya tentang kawasan industri dan investasi asing, tetapi juga harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat, memastikan mereka tidak tinggal di tempat yang tidak layak.
“Saya membangun Batam dengan konsep pembangunan yang memperhatikan kesejahteraan masyarakat, Jadi development yang saya jalankan adalah economic development dengan socoal development oriented” tegasnya.