Demo dan Penjarahan Massal, Ada Apa dengan DPR RI?

Share

Pada penghujung Agustus 2025, Gedung DPR RI, beberapa kantor DPRD, kantor-kantor kepolisian di berbagai tingkatan, bahkan rumah beberapa anggota DPR RI dan Menteri, menjadi sasaran aksi demonstrasi penjarahan besar-besaran. Ribuan orang dari berbagai elemen masyarakat turun ke jalan, menyoroti kebijakan dan gaya hidup wakil rakyat yang dinilai tidak selaras dengan kondisi ekonomi publik.

Selain tunjangan perumahan untuk DPR RI, demonstran juga mendorong reformasi tata kelola lembaga legislatif. Mereka menuntut DPR menerapkan sistem Key Performance Indicators (KPI) bagi anggotanya dan melakukan audit anggaran secara menyeluruh.

Isu hukum turut mencuat, termasuk desakan agar RUU Perampasan Aset segera disahkan sehingga kekayaanabat korup bisa disita negara. Penolakan terhadap RUU KUHAP yang dianggap merugikan rakyat kecil juga menjadi agenda, bersama tuntutanombakan internal Polri agar lebih akuntabel dan berhenti bersikap represif terhadap masyarakat.

Dimensi sosial-ekonomi tak luput dari perhatian. Kelompok buruh menyuarakan tuntutan seperti penghapusan sistem outsourcing, penyesuaian upah layak, pembentukan Satgas Anti-PHK, serta reformasi perpajakan buruh meliputi penghapusan PPh atas pesangon, THR, dan JHT (Jaminan Hari Tua).

Demonstran juga mengusulkan reformasi sistem Pemilu dan keanggotaan DPR, termasuk standar kompetensi calon legislator yang lebih jelas, minimal pendidikan S1, indikator kinerja terukur, serta larangan bagi mantan narapidana korupsi untuk kembali duduk sebagai wakil rakyat.

Penjarahan
Gelombang kemarahan massa yang bermula di jalan-jalan pusat Ibu Kota tidak berhenti di gedung DPR dan kantor resmi lainnya. Pada akhir Agustus 2025, amukan meluas hingga kediaman pribadi para pejabat dan anggota DPR RI.

Rumah-rumah yang selama ini tampak aman di balik pagar tinggi, malam itu menjadi sasaran empuk. pelampiasan frustasi kolektif.

Dalam waktu singkat, batas antara ruang publik dan privat luluh, digantikan oleh hiruk-pikuk penjarahan massal. Salah satu yang paling disorot adalah rumah

Ahmad Sahroni, anggota DPR dari Fraksi NasDem, di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Pada 30 Agustus 2025, sejak sore hingga malam, pagar besi rumah itu dirusak, dan massa menyapu bersih isinya.

Barang mewah seperti mobil Tesla dan Lexus RX, patung Iron Man, brankas berisi uang dolar, parfum, ijazah, serta sertifikat tanah semuanya raib.

Rumah Eko Hendro Purnomo, dikenal sebagai Eko Patrio, anggota DPR dari PAN sekaligus artis, di Kuningan, Jakarta Selatan, juga menjadi sasaran. Malam itu, massa menerobos barikade keamanan, termasuk truk TNI yang diparkir di depan rumahnya.

Mereka menjarah perabotan rumah tangga, pakaian, barang elektronik, bahkan kucing peliharaan. Adegan tak terbayangkan ini cepat menyebar di media sosial, memperburuk citra demonstrasi yang berubah menjadi kerusuhan.

Rumah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Bintaro, Tangerang Selatan, juga menjadi target. Pada dini hari 31 Agustus, sekitar pukul 01.00 WIB, gerombolan massa menyerbu dan kembali datang dua jam kemudian. \

Mereka mengambil perhiasan, peralatan dapur, barang elektronik, hingga ring basket di halaman. Di Jakarta Timur, rumah Surya Utama atau Uya Kuya, anggota DPR dari PAN, di Pondok Bambu, juga dijarah pada malam yang sama.

Berbagai barang pribadi hilang, termasuk kucing peliharaan. Beruntung, polisi bertindak cepat dalam kasus ini dan menangkap tujuh pelaku, meskipun kerugian yang dialami tetap besar.

Ketegangan juga merambat ke pusat kota, tepatnya kawasan Menteng, Jakarta Pusat,Pusat. Rumah Ketua DPR RI, Puan Maharani, didatangi massa dalam
gelombang yang sama. Namun kali ini situasinya berbeda, petugas keamanan berhasil menggagalkan upaya penjarahan.

Penjarahan yang terjadi di kediaman para pejabat publik tersebut menandai pergeseran eskalasi aksi dari unjuk rasa politik ke tindak kriminal. Jika di gedung
parlemen tuntutan massa masih bernuansa politis,

maka di rumah pribadi yang dijarah, motifnya bercampur antara dendam sosial dan kesempatan ekonomi. Batas tipis antara aksi protes yang berlandaskan aspirasi dan tindakan massa yang kehilangan kendali.

Langkah Tegas Presiden
Di tengah gelombang demonstrasi besar, Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah cepat untuk meredakan ketegangan publik. Dalam konferensi pers bersama para ketua umum partai politik di Istana Merdeka,

ia mengumumkan pencabutan tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan dan penundaan perjalanan dinas luar negeri anggota dewan. Presiden juga menegaskan pentingnya disiplin internal partai politik, dengan menyatakan bahwa kader DPR yang melukai perasaan rakyat akan dicabut keanggotaannya mulai 1 September 2025.

Keputusan ini diambil berdasarkan kesepakatan para ketua umum parpol untuk menjaga legitimasi di mata publik. Dalam aspek keamanan, Prabowo menginstruksikan Polri dan TNI untuk bertindak tegas terhadap aksi kekerasan, pengrusakan, dan penjarahan yang terjadi selama demonstrasi.

a bahkan menyebut beberapa tindakan massa sudah mengarah pada potensi “pengkhianatan” dan “terorisme,” menunjukkan kekhawatiran pemerintah terhadap eskalasi kerusuhan.

Walaupun tegas terhadap tindakan anarkis, Prabowo tetap membuka ruang dialog dan penyaluran aspirasi secara konstruktif. Ia meminta pimpinan DPR segera berdialog dengan tokoh masyarakat dan mahasiswa,

serta menjamin investigasi transparan, termasuk kasus meninggalnya pengemudi ojol Affan Kurniawan yang memicu simpati luas publik.

Menonaktifkan Kader
Beberapa partai politik mengambil langkah tegas dengan menonaktifkan kadernya di DPR RI. Partai NasDem memulai langkah ini dengan menonaktifkan Ahmad Sahroni (Wakil Ketua Komisi III) dan Nafa Urbach (Bendahara Fraksi NasDem), efektif mulai 1 September 2025. Surat keputusan tersebut ditandatangani langsung oleh Ketua Umum Surya Paloh dan Sekjen Hermawi Taslim.

PAN mengikuti langkah serupa dengan menonaktifkan dua anggotanya di DPR yaitu Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio) dan Surya Utama (Uya Kuya), yang juga berlaku efektif mulai 1 September 2025.

Wakil Ketua Umum PAN, Viva Yoga Mauladi, mengumumkan langkah ini sebagai bentuk tanggung jawab partai atas keresahan masyarakat dan menjaga ketenangan publik.

Partai Golkar juga menonaktifkan Adies Kadir, Wakil Ketua DPR dari fraksinya. Sekjen Golkar, Sarmuji, menyebut keputusan ini sebagai bentuk pendisiplinan dan refleksi atas harapan publik yang kecewa dengan komentar Adies soal tunjangan DPR yang dianggap tidak sensitif.

Jejak Historis
Sejarah menunjukkan bahwa sejak berdirinya DPR pada awal Republik, lembaga ini dipandang sebagai simbol kekuasaan politik sekaligus representasi suara rakyat.

Namun, kenyataannya, DPR sering kali dipersepsikan sebagai arena kompromi elite politik daripada wadah aspirasi rakyat. Pada masa Orde Lama, peran DPR tereduksi oleh dominasi eksekutif, sementara di era Orde Baru, DPR dianggap hanya sebagai “stempel” kebijakan pemerintah.

Pasca Reformasi, meskipun demokrasi dan keterbukaan politik meningkat, citra DPR belum sepenuhnya pulih. Korupsi, transaksi politik, dan kontroversi legislasi terus membuat publik curiga. Demonstrasi yang berulang terhadap DPR mencerminkan kekecewaan historis yang berakar panjang.

Paradoks Demokrasi
Paradoks demokrasi di Indonesia terlihat jelas dalam praktik perwakilan politik. Secara teori, rakyat memberi mandat kepada wakilnya di DPR untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan bersama.

Namun kenyataannya, banyak keputusan DPR justru bertentangan dengan suara publik. Contoh nyatanya adalah lahirnya berbagai regulasi kontroversial seperti UU Omnibus Law Cipta Kerja, revisi UU KPK, hingga RUU KUHP, yang menunjukkan makin lebarnya jarak antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakili.

Ketidaksinkronan ini menciptakan paradoks, di mana rakyat memilih DPR sebagai saluran resmi aspirasi, tetapi ketika saluran itu tidak lagi dipercaya, masyarakat mencari alternatif lain. Dalam tradisi demokrasi, alternatif itu sering berupa demonstrasi di jalanan.

Demonstrasi bukan sekadar ekspresi politik, tetapi juga peringatan serius bahwa mekanisme representasi sedang bermasalah. Paradoks ini pun juga menciptakan lingkaran ketidakpercayaan.

DPR merasa memiliki legitimasi formal melalui pemilu, sementara rakyat merasa aspirasi substansialnya diabaikan. Kesenjangan ini berbahaya bagi kesehatan demokrasi karena memperlemah kohesi sosial dan membuka ruang lahirnya politik jalanan sebagai kanal utama.

Krisis Kepercayaan
Krisis kepercayaan publik terhadap DPR adalah masalah serius yang tidak bisa dianggap enteng. Survei dari lembaga kredibel seperti Indikator, LSI, dan CSIS menunjukkan tren serupa: DPR berada di posisi bawah dalam daftar lembaga yang dipercaya masyarakat, tertinggal jauh dari TNI, Polri, bahkan Presiden.

Penyebab situasi ini sudah jelas, mulai dari kasus korupsi yang melibatkan anggota dewan, gaya hidup mewah elit politik yang mencolok di tengah kesulitan ekonomi rakyat, hingga praktik “politik dagang sapi” dalam pembahasan anggaran dan regulasi.

Akibatnya, setiap kebijakan kontroversial berpotensi memicu resistensi besar dari rakyat. Keputusan DPR tidak lagi dinilai dari substansi, tetapi dicurigai sebagai hasil transaksi politik.

Rakyat yang merasa aspirasinya tidak tersalurkan bisa melampiaskan kekecewaan melalui demonstrasi atau memilih menarik diri dari partisipasi politik formal.

Demo Ekspresi
Sejak runtuhnya Orde Baru pada 1998, demonstrasi telah menjadi bagian dari kultur politik yang sah. Reformasi membuka ruang kebebasan berpendapat, menjadikan jalan raya sebagai “parlemen rakyat terbuka”.

Gedung DPR di Senayan, yang berdiri megah di pusat lalu lintas politik dan publik, menjadi simbol protes. Kebijakan yang dianggap melukai rakyat sering memancing massa untuk bergerak ke sana.

Menurut teori repertoires of contention dari Charles Tilly, setiap masyarakat memiliki pola khas dalam mengekspresikan perlawanan. Di Indonesia, pola itu berulang, seperti long march, orasi di depan DPR, aksi teatrikal, pembakaran ban, hingga spanduk raksasa.

Fenomena ini menunjukkan bahwa demonstrasi di Indonesia lebih dari sekadar “reaksi sesaat”, melainkan bagian dari tata cara rakyat bernegosiasi dengan negara.

Ada yang melihatnya sebagai kekuatan demokrasi, ada pula yang menilainya sebagai bentuk kelemahan institusi formal karena kanal partisipasi lain dianggap kurang efektif.

Proses Pembahasan RUU yang Tidak Partisipatif

Salah satu akar persoalan yang kerap memicu demonstrasi berulang adalah soal legislasi yang tidak partisipatif. Proses penyusunan undang-undang di DPR masih sering berlangsung di ruang-ruang rapat yang tertutup, jauh dari keterlibatan nyata masyarakat.

Kalaupun ada mekanisme public hearing atau uji publik, sering kali hanya menjadi formalitas, sekadar mencatat kehadiran kelompok tertentu tanpa benar-benar mendengarkan masukan mereka. Kondisi ini membuat masyarakat merasa diabaikan dalam proses pengambilan keputusan.

Aspirasi yang seharusnya menjadi dasar lahirnya undang-undang malah absen, digantikan oleh kepentingan politik atau tekanan dari kelompok elit. Akibatnya, ketika palu diketok dan UU diberlakukan, masyarakat baru menyadari dampaknya yang langsung memengaruhi kehidupan mereka.

Reaksi spontan pun muncul, turun ke jalan sebagai bentuk protes. Pola ini terus berulang, di mana rakyat hanya berperan sebagai “penonton” dalam proses legislasi, padahal hakikat demokrasi menuntut adanya partisipasi aktif.

Tanpa perbaikan mekanisme partisipasi publik yang lebih substansial, DPR berisiko kehilangan legitimasi politik di mata rakyat.

Peran Mahasiswa
Peran Mahasiswa Sejarah politik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kontribusi mahasiswa dan masyarakat sipil dalam menjaga demokrasi. Hampir setiap periode krisis, mahasiswa selalu tampil sebagai aktor utama di jalanan.

Tahun 1966, mahasiswa menuntut pembubaran PKI dan lahirnya Orde Baru. Tahun 1974, mahasiswa memprotes ketergantungan ekonomi pada asing. Tahun 1978, suara mahasiswa kembali menggema menolak otoritarianisme Soeharto.

Hingga puncaknya pada tahun 1998, ribuan mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR dan berhasil menjatuhkan rezim Orde Baru. Pola ini ternyata terus berulang hingga dua dekade setelah reformasi, pada 2019 dan 2020, mahasiswa kembali turun ke jalan dalam jumlah besar.

Saat ini, isu yang dibahas tidak lagi hanya tentang rezim, tetapi juga substansi legislasi seperti RUU KUHP, revisi UU KPK, dan Omnibus Law Cipta Kerja. Mahasiswa kembali berperan sebagai “penjaga terakhir” suara publik ketika kanal aspirasi formal dianggap tidak efektif.

Fenomena ini menunjukkan pola intergenerasional, di mana setiap generasi mahasiswa selalu menemukan alasan baru untuk “menegur DPR”. Civil society, termasuk LSM, organisasi keagamaan, dan serikat pekerja, turut memberikan dukungan moral maupun logistik, memperkuat tekanan aksi di jalanan.

Peran mahasiswa dan civil society bukan hanya faktor insidental, tetapi bagian dari kultur politik Indonesia. Ketika parlemen tidak lagi dipercaya, jalanan menjadi forum alternatif demokrasi.

Politik Uang
Dalam imajinasi publik, DPR sering kali tidak lagi dipandang sebagai rumah rakyat, tetapi sebagai “pintu masuk” bagi kepentingan oligarki. Banyak undang-undang dari Senayan dinilai lebih memihak korporasi besar daripada masyarakat kecil.

Dari sektor pertambangan, perkebunan, energi, hingga infrastruktur, publik melihat kecenderungan legislasi yang lebih melindungi pemilik modal daripada buruh, petani, atau nelayan.

Hal ini membuat DPR menjadi simbol kooptasi oligarki terhadap demokrasi. Politik uang memperkuat persepsi ini. Pemilu legislatif membutuhkan biaya besar, sehingga banyak caleg bergantung pada sponsor politik, donasi pengusaha, atau praktik jual beli suara.

Saat duduk di parlemen, logika “balas budi” kepada penyandang dana membuat independensi legislator diragukan. Setiap kali ada undang-undang yang dinilai bermasalah, seperti pro-korporasi atau anti-lingkungan, publik cenderung menyalahkan DPR sebagai aktor politik yang dianggap “menjual kedaulatan”.

Teori Sosial
Dalam memahami dinamika politik dan gelombang protes terhadap DPR, Teori Deprivasi Relatif dari Ted Gurr menjadi pendekatan yang relevan. Teori ini menyatakan bahwa kemarahan publik muncul ketika ada kesenjangan besar antara harapan dan kenyataan.

Rakyat berharap wakil mereka di parlemen memperjuangkan kepentingan umum, tetapi kenyataannya sering kali keputusan yang diambil lebih menguntungkan elite atau kelompok kecil tertentu. Jurang ini memicu frustrasi kolektif yang kemudian dapat memunculkan aksi-aksi protes besar.

Namun, kekecewaan saja tidak cukup untuk membentuk gerakan. Di sinilah peran Teori Mobilisasi Sumber Daya (McCarthy & Zald) menjadi penting.

Demonstrasi yang terus berulang menunjukkan adanya jaringan sosial yang kuat—mulai dari mahasiswa, LSM, hingga kelompok kepentingan tertentu—yang mampu mengorganisasi energi kemarahan rakyat.

Jaringan ini menyediakan logistik, kanal komunikasi, hingga strategi aksi, sehingga protes terhadap DPR tidak hanya menjadi keluh kesah di ruang privat, tetapi berubah menjadi mobilisasi massa di jalanan.

Kekuatan gerakan juga dipengaruhi oleh bagaimana isu dikemas. Teori Framing (Snow & Benford) menjelaskan bahwa narasi publik terbentuk dari bingkai yang terus diproduksi. Narasi “DPR anti-rakyat” menjadi kerangka yang kuat dan mudah diterima masyarakat.

Setiap kali DPR mengeluarkan kebijakan kontroversial, bingkai ini otomatis aktif dan memperkuat persepsi negatif. Akibatnya, bahkan kebijakan yang mungkin memiliki niat baik sekalipun dapat ditolak jika publik telah menempatkan DPR dalam bingkai citra buruk tersebut.

Hikmah dan Mudarat
Demonstrasi mahasiswa dan masyarakat terhadap DPR selalu menghadirkan dua sisi yang berlawanan: manfaat (hikmah) dan kerugian (mudarat). Keduanya hadir bersamaan, seperti dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan.

Dari sisi positif, demonstrasi menunjukkan bahwa demokrasi masih hidup. DPR tidak dapat berjalan sendiri, melainkan harus terus mendengarkan suara rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi. Demo membuat DPR lebih berhati-hati dalam membahas, menyusun, dan mengesahkan undang-undang.

Ia menjadi seperti “alarm politik” yang mengingatkan bahwa rakyat tidak tidur dan siap turun ke jalan jika merasa diabaikan. Demonstrasi juga menjadi ruang koreksi publik,

di mana banyak regulasi akhirnya direvisi atau ditunda karena tekanan massa, baik dari mahasiswa, serikat buruh, petani, maupun kelompok masyarakat sipil lainnya.

Hal ini menunjukkan bahwa kanal demokrasi tetap terbuka. Tanpa aksi-aksi korektif tersebut, DPR berpotensi terperangkap dalam arus oligarki atau kepentingan jangka pendek.

Oleh karena itu, demonstrasi justru menjadi vitamin bagi demokrasi: pahit, kadang ribut, tetapi mampu mencegah sistem dari stagnasi.

Namun, demonstrasi juga sering menimbulkan dampak negatif. Ketika tensi massa meningkat dan aparat bersikap represif, demonstrasi bisa berubah menjadi anarkis,

seperti pembakaran fasilitas publik, perusakan kendaraan, atau bentrokan fisik yang memakan korban. Alih-alih memperkuat demokrasi, situasi ini justru memperlebar jarak antara rakyat dan DPR.

Mengapa terus berulang?
Fenomena demonstrasi terhadap DPR RI bukanlah kejadian sesaat, melainkan pola yang terus terulang dari periode ke periode. Sejak awal reformasi hingga kini, gedung parlemen tidak pernah sepi dari aksi mahasiswa, buruh, aktivis, dan berbagai elemen masyarakat. Beberapa penyebabnya adalah:

Pertama, krisis kepercayaan yang kronis. Publik merasa DPR lebih mengutamakan kepentingan elite dibanding aspirasi rakyat. Indeks kepercayaan terhadap lembaga legislatif dalam banyak survei pun cenderung rendah, sering berada di posisi paling bawah dibanding lembaga negara lainnya.

Kedua, proses legislasi yang tertutup. Meski era digital membuka peluang transparansi, pembahasan RUU sering berlangsung di ruang tertutup, jauh dari sorotan publik. Rakyat sering baru mengetahui ketika rancangan hampir menjadi undang-undang, biasanya tersentak setelah menemukan pasal-pasal kontroversial.

Ketiga, kedekatan DPR dengan oligarki. Persepsi ini sangat kuat, terutama saat publik melihat legislasi sering berpihak pada kepentingan bisnis besar atau elite politik tertentu. Hal ini memperkuat keyakinan bahwa rakyat hanya dianggap sebagai objek, bukan subjek dalam proses politik.

Keempat, kultur politik demonstratif pasca-reformasi. Reformasi 1998 telah mewariskan tradisi turun ke jalan sebagai kanal utama penyampaian aspirasi. Bagi mahasiswa maupun masyarakat sipil, aksi massa dipandang lebih efektif untuk mengguncang perhatian ketimbang sekadar mengirim surat, petisi, atau audiensi resmi.

Jalan Keluar
Solusi tidak bisa hanya dengan mengerahkan aparat untuk meredam massa atau sekadar memberikan janji manis setiap kali kritik muncul. Hal yang lebih penting adalah mengubah pola hubungan kekuasaan menjadi lebih terbuka, akuntabel, dan berpihak pada rakyat.

Pertama, DPR harus lebih transparan dalam proses legislasi. Penyusunan undang-undang tidak boleh lagi menjadi “kamar gelap” yang hanya diketahui segelintir elite dan lobi politik. Publik, terutama mahasiswa, harus memiliki akses nyata untuk memberi masukan sejak awal, bukan setelah rancangan selesai.

Kedua, membangun kepercayaan publik melalui tindakan nyata. DPR harus serius memberantas korupsi di internalnya, menolak intervensi oligarki, dan menunjukkan komitmen pada isu-isu rakyat kecil, bukan hanya kepentingan elite.

Ketiga, pemerintah, DPR, dan kampus perlu menciptakan ruang dialog yang lebih sehat. Mahasiswa harus dilihat sebagai mitra kritis yang menjaga arah demokrasi tetap pada jalurnya, bukan sekadar pengganggu stabilitas. Dengan memperkuat kanal komunikasi formal, energi demonstrasi bisa dialihkan ke forum musyawarah yang lebih produktif.

Keempat, masyarakat sipil perlu memperkuat kontrol sosial dan literasi politik. Kritik tidak boleh berhenti di jalanan, tetapi harus dilanjutkan dengan kajian, advokasi hukum, dan kampanye publik yang berkesinambungan. Dengan cara ini, demonstrasi menjadi bagian dari ekosistem demokrasi yang sehat.

Artikel Terkait