Beberapa pihak mengusulkan kembali ke UUD 1945 asli, sementara yang lain mendorong rekonstruksi menuju masa depan yang lebih demokratis dan adil menuju Indonesia Emas 2045.
Mana yang terbaik? Hampir tiga dekade sejak Reformasi 1998, bangsa Indonesia telah melalui perjalanan penuh tantangan dalam membongkar struktur politik warisan Orde Baru.
Dekonstruksi sistem ketatanegaraan terjadi melalui amandemen UUD 1945, pembatasan masa jabatan presiden, pemilu langsung, hingga supremasi sipil atas militer. Namun kini, muncul godaan untuk menyederhanakan demokrasi dengan kembali ke titik nol, ke UUD 1945 sebelum amandemen.
Apa yang sebenarnya ingin diselesaikan dengan langkah ini? Apakah masalah Indonesia saat ini karena terlalu banyak demokrasi atau karena gagal merealisasikan nilai-nilai dasarnya? Kembali ke titik nol bukan solusi, melainkan romantisasi masa lalu yang belum tentu relevan untuk masa depan.
UUD 1945 versi asli adalah produk sejarah yang dibentuk dalam konteks krisis pascakolonial. Meski mengandung nilai-nilai luhur seperti kedaulatan rakyat, keadilan sosial, dan musyawarah, ia juga membuka celah konsentrasi kekuasaan eksekutif tanpa kontrol yang efektif.
Dekonstruksi Sistem
Reformasi 1998 telah membongkar kekurangan tersebut, meskipun belum sempurna, demi menciptakan checks and balances, keterbukaan informasi, partisipasi warga, dan desentralisasi kekuasaan.
Pilihan terbaik bukan kembali ke masa lalu, tetapi merekonstruksi masa depan dengan menyuntikkan semangat etis 1945 tanpa terpaku pada teks formalnya. Kita perlu demokrasi yang lebih substantif, bukan prosedural belaka.
Kita butuh elite yang visioner, bukan sekadar manajer elektoral. Kita harus kembali ke semangat mengutamakan rakyat, bukan struktur lama yang terbukti membuka jalan otoritarianisme.
Menuju Indonesia Emas 2045 berarti bergerak maju, dengan kesadaran kritis terhadap sejarah, bukan terperangkap nostalgia kekuasaan yang sentralistik.
Konsep Dekonstruksi (deconstruction), dipopulerkan oleh filsuf Jacques Derrida, merupakan pendekatan kritis yang menantang struktur, makna tetap, dan oposisi biner dalam teks, wacana, atau sistem pemikiran.
Oposisi biner adalah konsep yang mengacu pada sepasang istilah atau konsep yang berlawanan maknanya, yang sering digunakan untuk memahami dunia dan membangun pemikiran. Dekonstruksi sebagai upaya membongkar kebenaran yang dianggap tetap.
Dekonstruksi bukanlah sekadar metode analisis teks, melainkan suatu cara berpikir yang menggugat keutuhan makna dan stabilitas struktur yang selama ini diterima begitu saja. Dalam dunia yang penuh narasi dominan dan oposisi biner, dekonstruksi hadir sebagai alat pembebasan intelektual.
Melampaui Oposisi Biner dekonstruksi menantang kecenderungan berpikir dalam dikotomi, seperti benar/ salah, rasional/irasional, atau pusat/pinggiran. Oposisi semacam ini seringkali menyembunyikan relasi kuasa, karena satu sisi biasanya lebih disahkan daripada yang lain.
Kritisi Struktur
Dengan mendekonstruksi oposisi, kita membuka ruang untuk memahami bahwa makna tidak sesederhana itu dan bisa muncul dari pinggiran atau yang dianggap lain.
Dalam sejarah, Barat sering diasosiasikan dengan kemajuan, sementara Timur dianggap tradisional atau terbelakang. Dekonstruksi membongkar narasi ini dan menunjukkan bahwa kategori tersebut adalah konstruksi sosial yang tidak netral.
Pendekatan dekonstruktif juga mengungkap ketidakstabilan makna. Makna dalam teks atau sistem simbolik tidak pernah benar-benar tetap atau tunggal. Selalu ada peluang untuk pembacaan dan interpretasi lain, bahkan kontradiksi dalam teks itu sendiri.
Dalam kritik sosial dan budaya, dekonstruksi berfungsi untuk mengkritisi struktur ideologis dan bahasa yang membentuk realitas. Ini membuka peluang baru untuk memahami identitas, kekuasaan, dan relasi sosial secara lebih kritis.
Dalam studi gender, pendekatan ini membantu meruntuhkan pandangan esensialis tentang maskulinitas dan feminitas, menciptakan ruang bagi identitas yang lebih cair.
Dekonstruksi bukanlah metode untuk menghancurkan makna, melainkan membongkarnya agar kita menyadari bahwa apa yang dianggap kebenaran sering kali dibentuk oleh struktur kekuasaan dan bahasa yang tak terlihat. Dengan demikian, dekonstruksi adalah ajakan untuk berpikir lebih mendalam, terbuka, dan kritis terhadap otoritas makna.
Mellaui Rekonstruksi
Namun, apakah dekonstruksi hanya membongkar tanpa membangun kembali? Apakah itu hanya destruktif tanpa memperbaiki? Jawabannya tidak sepenuhnya demikian.
Justru inilah kekuatan dan tantangan pendekatan dekonstruksi, khususnya dalam konteks politik. Dekonstruksi bukan destruksi, melainkan pembongkaran kepalsuan yang disamarkan sebagai kebenaran. Dalam politik, banyak tatanan mapan dibangun di atas asumsi yang tidak selalu benar.
Misalnya, kekuasaan terpusat dianggap lebih stabil, nasionalisme dianggap satu-satunya bentuk cinta tanah air, atau rakyat dipandang sebagai satu blok homogen.
Dekonstruksi membongkar struktur ini agar kita tidak terjebak dalam dogma. Yang dihancurkan bukanlah tatanan demi tatanan, melainkan klaim totalitas dan monopoli kebenaran dalam narasi dominan.
Rekonstruksi bukan tujuan utama dekonstruksi, tetapi bukan berarti nihil. Dekonstruksi tidak langsung menawarkan resep atau cetak biru baru. Namun, dengan membuka ruang ketidakpastian dan keraguan, ia menciptakan kondisi untuk rekonstruksi yang lebih adil, terbuka, dan reflektif.
Ketika konsep kebangsaan didekonstruksi, semangat kebangsaan bukan dihapus, melainkan ditanyakan ulang: bangsa siapa? Untuk siapa? Berdasarkan apa?
Rekonstruksi tanpa dekonstruksi hanya memperpanjang ketimpangan. Seringkali, rekonstruksi hanyalah tambal sulam sistem lama karena akar ketimpangannya belum dibongkar.
Dekonstruksi memastikan bahwa saat kita membangun ulang, kita memahami apa yang sedang dibangun dan mengapa. Ibarat rumah tua, dekonstruksi bukan berarti merobohkan karena benci, tetapi karena fondasinya rapuh, penuh rayap, dan berbahaya.
Renovasi tanpa dekonstruksi hanya membuat rumah terlihat bagus di luar, tapi bisa runtuh kapan saja. Dekonstruksi tanpa rekonstruksi memang mengguncang tatanan, tetapi di situlah fungsinya, mengungkap ketimpangan yang dinaturalisasi.
Rekonstruksi yang sehat lahir dari keberanian membongkar yang lama dengan jujur. Jadi, dekonstruksi bukan sekadar menghancurkan, tetapi memurnikan fondasi untuk membangun dengan lebih adil dan sadar.