Ia percaya bahwa dengan bergaul dengan banyak orang, akan terjadi perubahan dalam peradaban, perilaku, dan jaringan. Sebagai seorang wartawan, kesempatan untuk berinteraksi dengan berbagai kalangan membuka wawasan yang luas, sehingga pola pikir dan pengalaman menjadi lebih holistik.
Ia memang memiliki hobi bergaul, senang berkumpul, cangkruk, dan ngopi bersama. Oleh karena itu, mencalonkan diri sebagai anggota legislatif terasa tidak terlalu sulit baginya.
Berkat banyaknya teman dan dukungan, ia berhasil terpilih menjadi anggota DPRD Jawa Timur periode 2009-2014 dari Partai Demokrat, Daerah Pemilihan Jatim 7 yang meliputi Ponorogo, Pacitan, Trenggalek, Magetan, dan Ngawi.
Untuk menyerap aspirasi masyarakat, ia sering turun ke lapangan untuk mendengarkan keluhan, menghadiri acara pernikahan, atau memberikan belasungkawa saat ada kesulitan. Ketika terjadi bencana, ia selalu berada di garda depan, melakukan semuanya dengan tulus, bukan semata-mata demi kepentingan politik.
Tanpa itu, perjalanan jauh dari Surabaya ke Pacitan, yang dahulu memakan waktu hingga tujuh jam tanpa adanya jalan tol, akan terasa sangat melelahkan. Ikatan emosional yang kuat dengan masyarakat pun terjalin kuat, itulah yang menjadi modal utama untuk terpilih kembali.
“Pada periode kedua saya di DPRD Jawa Timur, saya kembali terpilih dengan perolehan suara yang cukup signifikan, hampir 117.000 suara,” katanya.
Gagal Jadi Bupati
Pada tahun 2015, Sugiri memutuskan untuk mundur dari DPRD dan mencalonkan diri Bupati Ponorogo. Namun, ia belum berhasil terpilih dan harus merelakan diri untuk tidak terlibat dalam dunia politik untuk sementara waktu.iri tidak merasa kecewa atau menyerah, melainkan terus berjuang.
“Selama lima tahun tidak terlibat dalam, saya pada pertanian, bisnis, dan kegiatan untuk mempersiapkan diri maju kembali dalam pemilihan berikutnya,” ujarnya.
Bagi Sugiri, kekalahan dalam dunia politik bukan alasan untuk menyalahkan orang lain. Ia selalu melakukan introsksi dan menyadari bahwa kesalahan ada pada dirinya sendiri. Sugiri belajar dan memperiki diri agar lebih siap menghadapi berikutnya.
Meskipun kalah, kommenn untuk hadir di tengah masyarakat tetap tidak pudar. Ia selalu hadir dalam berbagai kesempatan, baik saat lebaran maupun di ruang-ruang publik, tanpa menyalahkan pemerintahan yang telah mengalahkannya.
“Dengan itu, saya merasa dapatangun kepercayaan rakyat. Inilah yang menjadi modal penting bagi saya untuk kembali berjibaku,” katanya.
Melawan Petahana
Pada pencalonan pertama sebagai Bupati Ponogo, Sugiri didukung oleh Partai Demokrat. Namun, pada pencalonan keduanya di tahun 2020, ia tidak mendapatkan rekomendasi dari partainya dan memilih bergabung dengan PDI-Perjuangan PPP, Hanura, dan PAN.
Sugiri memahami betul situasi tersebut, mengingat pengalamannya saat meskipun sebelumnya merupakan anggota DPRD. Setelah tidak aktif dalam dunia politik, ia merasa sudah bukan siapa-siapa, apalagi harusaing dengan petahana yang sudah mapan.
Meski menghadapi tantangan besar, Sugiri akhirnya berhasil memenangkan hati rakyat dan terpilih pertama kalinya sebagai Bupati Ponorogo untuk periode 2021–2024.
Dalam Pilkada 2024 untuk periode keduanya, Sugiri kembali maju dengan dukungan hampir semua partai. Ia memperoleh kepercayaan yang lebih besar dari rakyat, dan dukungan partai-partai yang mengusungnya semakin memperkuat posisinya dalam memimpin Ponorogo
Dalam melaksanakan tugasnya sebagai Bupati, pengalaman di dunia media menjadi sangat berharga. Ia senantiasa berpegang pada prinsip jurnalistik yang mengutamakana penggunaan 5W 1H dalam setiap pengambilan keputusan.
Sebagai contoh, dalam merencanakan anggaran, kebijakan yang diambil harus memiliki tujuan yang jelas, memberikan manfaat, dan memberikan dampak nyata bagi masyarakat.
“Sehingga semua program yang kami jalankan terukur dan dapat dilaksanakan bersama-sama,” katanya
Patahkan Mitos
Sugiri menyatakan bahwa di Ponorogo berkembang mitos kuat bahwa seorang Bupati akan pernah terpilih dua kali. Saat dilakukan survei dengan pendekatan ilmiah, hasilnya menunjukkan bahwa 28% masyarakat benar-benar mempercayai mitos tersebut.
“Waktu itu memang terbukti, siapa pun yang maju di periode kedua pasti tumbang, termasuk petahana yang saya lawan dulu,” katanya.
Ia kemudian memikirkan cara untuk memberikan pendekatan agar mitos tersebut tidak menjadi kenyataan. Masyarakat tidak boleh begitu saja mempercayai sesuatu yang tentu benar.
Oleh karena itu, mitos tersebut harus dibuktikan tetap menjadi mitos dan tidak dapat dijadikan kebenaran. Sugiri lalu merumuskan strategi untuk menjaga kepuasan publik terhadap kepemimpinannya tetap tinggi.
Jika 28% masyarakat percaya pada mitos, tingkat kepu publik harus melebihi angka tersebut. Idealnya, tingkat persetujuan harus mencapai minimal 80% agar tetap dapat menang.
Kesadaran ini mendorong Sugiri untuk selalu hadir di tengah masyarakat. Ia turun langsung setiap hari, berinteraksi, dan bekerja bersama rakyat agar kepercayaan tetap terjaga dan mitos tidak menjadi kenyataan.
Menurutnya, mitos yang tidak terbantahkan dapat terus berlanjut dan menjadi hambatan di masa depan. Masyarakat tidak boleh terpengaruh oleh sesuatu yang tidak benar. Oleh karena itu, mata rantai mitos harus diputus.
“Di periode kedua ini kami bisa membuktikannya. Bahkan lawan yang sama seperti sebelumnya yang dulu adalah petahana. Jadi, ini seperti El Clasico,” ujarnya
Titik Ledak Pembangunan
Ponorogo memiliki Reog, khas yang menjadi kebanggaan masyarakat. Pada masa kepemimpinan Sugiri, Reog diusulkan sebagai warisan budaya tak benda (Intangible Cultural Heritage) ke UNESCO, sebuah mimpi besar masyarakat Ponogo sejak lama.
Sebelumnya, beberapa bupati telah mengusulkan hal serupa, namun selalu gagal di tengah jalan karena berbagai kendala. Akhirnya, Sugiri menemukan formula untuk memenuhi standar UNESCO.
Kuncinya adalah gotong royong dan percepatan dengan cara mengorkestrasi seluruh elemen, baik kebijakan publik maupun nonpublik. Pemerintah, masyarakat, para pelaku seni, dan semua pihak yang terkait dengan Reog disatukan dalam satu irama gerakan bersama.
Usulan akhirnya diajukan dan diterima oleh UNESCO. Pada 3 Desember 2024, Reog resmi ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda dunia. “Ini penting, kemudian dari Reog ini, Ponorogo bisa punya titik ledak untuk pembangunan,” katanya.
Ponorogo berada jauh dari akses tol, tidak memiliki bandara, stasiun besar, atau pelabuhan laut. Maka, ketika mendeklarasikan diri sebagai kabupaten industri, alasan geografis tidak cukup kuat mendukungnya. “Kami tidak dimewahkan secara geografi, tapi kami dimewahkan secara budaya,” katanya
Potensi Budaya dan Ekonomi Tingkatan Pendapatan Daerah
Bupati Ponorogo, H. Sugiri Sancoko, S.E., M.M. menyatakan, dampak antara kekuatan budaya dan kekuatan ekonomi dapat mendorong Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan mengkapitalisasi budaya menjadi ekosistem.
Untuk itu, ia mendirikan Monumen Reog Ponorogo di Sampung, sebuah kecamatan terpencil di ujung barat laut Ponorogo. Dari para pelaku Reog saja, jika dihitung, jumlahnya sangat signifikan. Banyak pelaku yang terlibat, mulai dari pemain, pengrajin, sanggar-sanggar, hingga para guru tari Reog.
Totalnya hampir mencapai 21.000 orang. Angka ini sangat besar, mengingat jumlah penduduk Ponorogo kurang dari 1 juta jiwa. Belum lagi, ada pedagang jajanan yang meraih keuntungan saat Reog tampil, serta transportasi yang mengangkut para penari dan perlengkapannya.
“Efek dominonya luar biasa, banyak orang menggantungkan hidup dari budaya ini. Artinya, Reog ini bisa menjadi imam ekonomi,” katanya.
Sugiri menjelaskan, pada akhir tahun 2021, PAD Ponorogo masih sekitar 235 hingga 250 miliar. Namun, pada tahun 2024, angka tersebut mencapai Rp 347 miliar, menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan.
Ke depan, PAD Ponorogo ditargetkan mencapai Rp 1 triliun, yang bersumber dari ekosistem wisata, terutama setelah selesainya pembangunan Museum Reog Ponorogo.
Saat ada acara atau kegiatan, masyarakat akan datang berbondong-bondong, berbelanja, menginap di hotel, menikmati kuliner, yang semuanya akan meningkatkan pajak 10% untuk makanan dan minuman serta mendorong kelancaran transportasi.
Ini adalah efek domino yang harus terus didorong. Penting untuk terus berinasi, berkreasi, dan memiliki kemandirian dalam mengelola keuangan daerah.
“Maka, harus diciptakan kincir ekonomi, dimulai dari pariwisata dan budaya. kami tidak bisa memiliki pabrik, maka pabrik kami adalah pabrik kreatif dan pabrik budaya,” ujarnya
Pertanian Organik
Ponorogo memiliki pot besar di sektor pertanian, dengan 34.000 hektar sawah baku yang menghasilkan padi. Setiap tahunnya, surplus panen hampir mencapai 500.000 ton, sementara kebutuhan pangan masyarakat hanya sekitar 100.000 ton per tahun. Namun, hasil tersebut belum cukup untuk mendorongkatan Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF) daerah.
Peningkatan sektor pertanian ini menjadi sangat penting, mengingat ketergantungan Indonesia terhadap beras sebagai makanan pokok.eskipun margin keuntungannya relatif kecil, sektor ini tetap perlu dikelola secara optimal.
Salah satu upayanya adalah beralih dari penggunaan pupuk kimia yang ke pupuk organik, yang bahan bakunya melimpah di sekitar, seperti kotoran hewan.
“Banyak orang yang belum menyadari potensi pupuk organik ini, sehingga perlu ada upaya untuk mengingatkan kembali penting hal tersebut,” ujarnya.
Menurut Sugiri, masyarakat Ponorogo dikenal sebagai individu yang tangguh, tidak hanya bertarung di dalam negeri tetapi juga di luar negeri sebagai migran. Mereka adalah pekerja keras yang harus dikelola dengan baik dan menjadi prototipe pendamping ekonomi selain sektor pertanian.
Ekonomi Lokal
Sejak menjabat sebagai bupati, Sugiri telah mengambil langkah strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal di Ponorogo. Salah satu kebijakan yang ia terapkan adalah pembatasan ekspansi minimarket waralaba nasional di wilayahnya, memberikan kesempatan lebih besar bagi produk lokal untuk bersaing.
Bahkan, di kantornya, semua minuman yang disajikan menggunakan produk lokal. menegaskan bahwa tanpa dukungan terhadap produk lokal, sangat sulit bagi mereka untuk bersaing dengan pabrikan besar yang memiliki daya saing tinggi.
“Rakyat ini membutuhkan perputaran ekonomi dan pasar. Jika semuanya diambil alih oleh waralaba nasional, bagaimana nasib pedagang lokal?” tegasnya.
Hingga kini, Ponorogo hanya memiliki sekitar 70 gerai waralaba, jumlah yang relatif sedikit. Ke depan, tidak akan ada penambahan izin baru untuk memastikan pasar tradisional memiliki peluang tumbuh.
Pemerintah daerah berkomitmen menghidupkan kekuatan lokal dengan memberikan ruang bagi pelaku usaha agar dapat berkembang terlebih dahulu. Dengan kebijakan ini, diharapkan ekonomi lokal dapat terus bertumbuh tanpa tergeser oleh dominasi waralaba besar.
“Saya tidak bermusuhan, tetapi saya memohon dengan hormat untuk memahami bahwa rakyat butuh makan dan hidup. Jika semuanya ditarik ke sana, itu bisa sangat berbahaya,” ucapnya.
Koperasi Merah Putih
Pemerintah pusat akan meluncurkan program Koperasi Desa Merah Putih. Sugiri menyambut baik inisiatif ini, karena koperasi merupakan sokoguru perekonomian yang harus diwujudkan nyata, bukan sekadar slogan.
Ia bahkan telah bergerak lebih awal. Dari 307 desa dan kelurahan di Ponorogo, hampir seluruhnya telah dipersiapkan untuk membentuk Koperasi Merah Putih. Menurutnya, koperasi ini dapat menjadi bagian integral dari ekosistem penyedia kebutuhan
Masyarakat, termasuk mendukung Program Makan Bergizi Gratis yang dicanangkan Presiden. “Jika program itu berjalan penuh, koperasi akan memiliki pasar yang kuat dan berkelanjutan,” katanya.
Di sektor pertanian, koperasi dinilai sangat potensial untuk menggerakkan roda produksi, perdagangan hasil pertanian, dan proses hilirisasi. Namun, harus ada diferensiasi antar desa.
Setiap koperasi desa harus memiliki fokus usaha yang berbeda agar tidak berebut pasar dan justru saling melengkapi. Misalnya, ada yang mengelola beras, pupuk, gabah, atau mekanisasi.
Ia juga melihat sinergi antara Bumdes dan Koperasi Merah Putih sebagai besar. Keduanya tidak boleh bersaing, melainkan saling mendukung. Banyak Bumdes masih bing arah bisnisnya,
sebagian terpengaruh dinamika politik desa. Dengan kehadiran koperasi yang berbasis ekonomi, bukan politik, diharapkan suasana menjadi lebih kondusif dan produktif.
Kampus Unggul
Pertumbuhan ekonomi Ponorogo, dibanding dengan wilayah Mataraman, tergolong lebih baik. Hanya Kota Madiun yang sedikit lebih unggul, pun karena statusnya sebagai kota.
Ponogo dinilai lebih lengkap terutama dalam hal pendidikan tinggi. Di daerah ini terdapat perguruan tinggi, dua di antaranya telah terakreditasi Unggul, yaitu Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor dan IAIN Ponorogo, yang termasuk dalam jajaran perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Ponorogo juga dikenal sebagai kota santri karena banyaknya pondok pesantren.
Sugiri menargetkan penurunan angka kemiskinan secara signifikan pada tahun 2030. Saat ini, angka kemiskinan berada di kisaran 9,11%. Ia menargetkan bisa turun menjadi 5% dalam waktu sekitar empat setengah tahun ke depan.
Menurutnya, penurunan sebesar 1% per tahun merupakan target yang cukup realistis. Untuk mencapai itu, membentuk berbagai gugus tugas sebagai upaya kerja yang terintegrasi,
di antaranya Gugus Pengentasan Kemiskinan dan Gugus Pertumbuhan Ekonomi. Gugus Percepatan Pembangunan Manusia, Gugus Penghijauan dan Penanganan Bencana Banjir, serta Gugus Pengembangan Pariwisata.
Langkah ini penting untuk melebur batas-batas sektoral antar dinas. Selama ini, tumpang tindih kewenangan dan ego sektoral sering kali menghambat kerja kolaboratif. Dengan pendekatan gugus, setiap program dijalankan lintas dinas dalam satu barisan yang solid.
Sebagai contoh, dalam pengembangan pariwisata, Dinas Pariwisata akan menjadi koordinator, tetapi juga melibatkan Dinas Pekerjaan Umum, Lingkungan Hidup, Pertanian, dan dinas-dinas lainnya yang relevan.
Semua bergerak bersama sesuai fungsi dan perannya dalam mendukung tujuan bersama. “Saya pikir dengan cara itu akan ada percepatan, dan akan menggunakan pendekatan ini untuk lima tahun ke depan,” ujarnya.
Membunuh Gengsi
Sugiri kembali terpilih sebagai Bupati Ponorogo bersama wakilnya pada periode sebelumnya, Hj. Lisdyarita, S.H. Keduanya terus menjaga harmonisasi dan sinergi, sesuatu yang di banyak daerah kerap sulit dipertahankan.
Menurutnya, dalam praktiknya hubungan antaraupati dan wakil bupati sering kali tidak harmonis karena tuntutan akan kesetaraan peran dan posisi. Sering kali justru muncul percekcokan. Tapi baginya, kepemimpinan ini harus dijalani secara kolaboratif, dengan membuka ruang selebar-lebarnya untuk kerja bersama.
Sejak awal, pasangan ini sudah memiliki visi dan mimpi yang sama, yaitu membangun Ponorogo bukan untuk kepentingan pribadi. Capaian pembangunan harus benar-benar dirasakan manfaatnya oleh rakyat, bukan sekadar angka di atas kertas.
“Di periode kedua ini, saya masih bersama Bu Lisdyarita. Masing-masing dari kami harus mampu membunuh gengsi. Itu kunci utamanya,” tegasnya.
Pasangan ini sepakat untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan rumah yang masih tertunda, terutama infrastruktur jalan yang selama bertahun-tahun menjadi keluhan warga.
Perbaikan jalan diharapkan menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi. Sugiri juga menegaskan kembali impian menjadikan Ponorogo sebagai kota santri yang sejati. ada sejengkal tanah pun yang tidak digunakan untuk mengaji.
Mengaji dalam arti simbol kesalehan sosial dan keteladanan. Setiap orang diajak menjadi teladan bagi lingkungannya. Salah satu wujud nyata dari mimpinya itu adalah pembangunan Bukit Khotmil Qur’an di Kecamatan Selahung.
Ia membayangkan tempat ini menjadi ruang spiritual yang menyenangkan bagi anakanak muda, tempat mereka bisa membaca dan menghafal Al-Qur’an sambil berjalan, menikmati alam, dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
“Sambil senang, nanti mereka bisa berdoa di puncaknya, di atas ketinggian, dekat dengan bintang gemintang. Ini akan menjadi tempat yang luar biasa, sekaligus menjadi episentrum spiritual baru di Ponorogo,” tambahnya.