Triyanto Triwikromo - Sastrawan

Akar Kerusuhan dan Negara Kesejahteraan – Oleh: Triyanto Triwikromo

Share

AMUK massa itu, termasuk tindakan menjarah isi rumah Menteri Sri Mulyani, anggota DPR Uya Kuya, Eko Patrio, dan Ahmad Sahroni, tak bisa dicegah. Tak hanya itu. Sebanyak 21 gedung DPRD dirusak. Bahkan selain itu, dalam catatan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, terjadi kerusakan di 107 titik aksi di 32 provinsi. Adapun gedung DPRD yang dirusak, termasuk dibakar, terdiri atas DPRD Provinsi Sulawesi, DPRD Kota Makassar, DPRD Solo (Sekretariat), DPRD Kota Kediri, DPRD Provinsi NTB, DPRD Bandung, DPRD Provinsi Jateng, DPRD Brebes, DPRD Pekalongan, dan DPRD Tegal.

Selain itu, DPRD Cilacap, DPRD Kabupaten Kediri, DPRD Kabupaten Kebumen, DPRD Kabupaten Jepara, DPRD Kota Cirebon, DPRD Kabupaten Banyumas (eks DPRD), DPRD Kota Banjar, DPRD Provinsi Jambi, DPRD Kota Tasikmalaya, DPRD Provinsi Sumatera Selatan, dan DPRD Kota Palopo juga mengalami nasib yang sama.

Itu belum seberapa. Muncul juga perusakan-perusakan secara masif yang belum pernah terjadi dalam demonstrasi sebelumnya, terhadap pos-pos polisi. Di Kota Malang, 13 pos polisi dirusak dan tiga lainnya dibakar, sedangkan di Kota Surabaya terdapat 11 pos polisi yang dirusak.

Di Kota Kediri, Kantor Satlantas Polres dan kendaraan barang bukti dirusak, sedangkan di Kota Tegal, Mako Polres diserang massa.

Peristiwa serupa juga terjadi di Palembang (Kantor Ditlantas Polda Sumatera Selatan), Bandung (aset rumah dinas), Jepara (lampu penerangan jalan, CCTV di Tugu Kartini, pembakaran sekitar Tugu Kartini, dan gerobak pedagang), serta Kabupaten Kediri (Museum Baghawanta Bari).

Ternyata, tak hanya rumah artis dan anggota DPR yang dirusak atau dijarah. Rumah aparat (di Jepara, misalnya) juga menjadi sasaran perusakan.

Selain itu, Gedung Grahadi di Surabaya, Gedung Pemerintahan Kota Pekalongan, Gedung Pemerintahan Kabupaten Kediri, Kantor Pemerintahan Kabupaten Pati, dan Pendapa Bupati Banyumas juga turut dirusak. Halte-halte MRT & Transjakarta serta CCTV juga menjadi sasaran perusakan.

Korban Manusia
Manusia juga jadi korban dalam peristiwa mengenaskan ini. Menurut Komnas Hak Asasi Manusia, setidaknya ada 10 orang dari seluruh penjuru Indonesia yang menjadi korban, termasuk Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang ditabrak oleh pengemudi barracuda Brimob.

Data lain menurut Kemensos menunjukkan ada tujuh korban jiwa. Namun, meskipun angka tersebut mungkin benar, nyawa manusia tidak boleh dianggap remeh. Penyematan kata “hanya” pada jumlah korban menunjukkan kurangnya empati terhadap nyawa manusia.

Siapa saja yang menjadi korban? Dari kalangan mana saja? Data dari Komnas HAM menunjukkan betapa yang menjadi korban bukan hanya mahasiswa sebagaimana pada kerusuhan Mei 1998.

Akan tetapi kerusuhan akhir Agustus hingga awal September menunjukkan korban berasal dari aneka kalangan. Ada Affan Kurniawan (21 tahun), pengemudi ojek daring asal Jakarta.

Ada Muhammad Akbar Basri (Abay) dan Sarina Wati, pegawai DPRD Makassar, meninggal  alam pembakaran gedung DPRD Makassar. Selain itu ada Syaiful Akbar, meninggal setelah melompat dari lantai 4 gedung DPRD Makassar dan Sumari (60 tahun), tukang becak asal Solo, Andika Lutfi Falah (16 tahun), siswa SMK Negeri 14 Kabupaten Tangerang, dan Rheza Sendy Pratama (19 tahun), mahasiswa AMIKOM Yogyakarta dan Septinus Sesa, warga Manokwari, meninggal dalam unjuk rasa penolakan pemindahan terdakwa kasus makar. Juga ada Iko Juiant Junior (20) mahasiwa Unnes dan Rusma Diansyah dari Makassar.

Apa yang menyebabkan perbedaan karakter antara kerusuhan Mei 1998 dan kerusuhan Agustus 2025? Sebelum menjawab, penting untuk tidak menganggap peristiwa ini terjadi secara spontan atau tanpa konteks sejarah.

Segala sesuatu tidak muncul begitu saja, tiba-tiba, atau tanpa sebab. Apa penyebab kerusuhan tersebut? Di media sosial, muncul analisis sembarangan yang menyebutkan bahwa amuk massa terjadi karena Sri Mulyani memberlakukan banyak pajak pada rakyat, sementara gaji dan tunjangan perumahan anggota DPR dinaikkan.

Bahkan, Eko Patrio dan Uya Kuya (bersama anggota DPR lainnya) merayakan kenaikan tersebut dengan berjoget. Tragisnya, saat rakyat memprotes dan berdemonstrasi, Affan Kurniawan tewas dilindas barracuda Brimob.

Presiden Prabowo Subianto kemudian menanggapi situasi ini. Ia menyatakan bahwa ada aksi makar dan terorisme dalam kerusuhan tersebut. Bahkan, ia menegaskan,

“Saya akan hadapi mafia-mafia sekuat apa pun atas nama rakyat.” Dengan demikian, Prabowo berencana mengatasi masalah ini dengan pendekatan pemerintah terhadap makar, terorisme, dan mafia.

Marah dan Kecewa
Tak ada “rakyat yang marah dan kecewa” dalam analisis Prabowo.”  Tindakan kritis rakyat diabaikan dan tidak dianggap sebagai akar masalah yang perlu diselesaikan. Gagasan untuk menjadikan Indonesia sebagai “negara kesejahteraan” demi rakyat tampaknya bukan prioritas.

Hal ini terlihat seperti hanya mencari kambing hitam. Dalam teori Rene Girard, kambing hitam memang sering digunakan untuk meredakan konflik antara pihak-pihak yang bersaing.

Untuk mengatasi masalah ini, kita tidak boleh terpaku pada penyebab kerusuhan yang semu. Bahkan, menurut pengamat sosial-politik Made Supriatma, penting untuk membedakan apakah peristiwa Agustus yang tragis ini merupakan demonstrasi atau kerusuhan.

Menurut pandangan Supriatma, demonstrasi hampir pasti tidak akan berujung kepada penjarahan. Namun dalam kerusuhan hampir pasti diikuti oleh penjarahan. Dari berbagai kasus kerusuhan selalu ada pola, yakni kejadian itu tidak dilakukan oleh orang-orang biasa.

Aktor utama kerusuhan adalah sosok-sosok yang dinamakan oleh para ahli sebagai “riot specialists” atau “ahli rusuh.” Mereka tahu persis bagaimana membuat kerusuhan dengan memanfaatkan suasana kerumunan. Mereka akan ahli memprovokasi, membakar, emosi, membakar gedung, mendorong penjarahan, dan tahu kapan harus berhenti dan pergi.

Supriatma mengingatkan, “Walaupun terlihat sepele, membakar sebuah gedung membutuhkan keahlian khusus. Melempar batu untuk memancing emosi massa juga memerlukan keterampilan dalam menentukan waktu yang tepat.

Dengan kata lain, para ahli sepakat bahwa tidak ada kerusuhan yang spontan.” Dengan berbagai pertanyaan retoris, Supriatma hampir yakin bahwa pelaku kerusuhan bukanlah rakyat biasa, melainkan sosok-sosok elite.

Berbeda dengan Supriatma, Guru Besar Filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Franz Magnis Suseno atau Romo Magnis, berpendapat bahwa gelombang aksi unjuk rasa di berbagai daerah merupakan akumulasi kemarahan dan frustrasi publik.

Menurut Romo Magnis, aksi tersebut adalah ledakan dari kekecewaan publik yang telah dipendam selama bertahun-tahun. Namun, karena demonstrasi berubah menjadi kerusuhan, Romo Magnis menduga ada pihak lain yang “bermain,” memanfaatkan, atau menunggangi situasi.

Baik Romo Magnis maupun Supriatma tentu tidak sembarangan dalam menyampaikan pendapat. Tindakan membakar dan merusak fasilitas umum serta pos polisi sebaiknya dimaknai sebagai pengalihan isu.

Bahkan, hal itu bisa dijadikan alasan pemerintah untuk mengambil tindakan keras terhadap para demonstran. Semua demonstran dalam hal ini dianggap sebagai perusuh, sehingga tuntutan mereka atau “suara rakyat” diabaikan. Semakin sering tuntutan rakyat diabaikan, cita-cita menjadi negara kesejahteraan (welfare state) akan semakin jauh dari kenyataan. K

ita tahu bahwa sistem pemerintahan yang memungkinkan negara berperan aktif dalam menyediakan layanan sosial dan ekonomi demi kesejahteraan rakyat hanya dapat terwujud jika presiden mendengarkan suara dan tuntutan rakyat.

Agar tidak berantakan, kita berharap Presiden Prabowo dapat menjadi pemimpin yang mendengarkan aspirasi rakyat dan mewujudkan cita-cita negara kesejahteraan.

Artikel Terkait