Salah satu yang saya ingat antara lain saat mendalang, Ki Narto juga memainkan suling. Waktu kecil, saya juga suka mendalang dengan wayang dari kertas kardus buatan sendiri dan gamelan mulut bersama teman-teman.
Hal lain yang saya kenang dari Ki Narto adalah kekuatan dramatisasi dan perbantahan sejak adegan pertama, serta metafora yang tajam, seperti raksasa memakai sumping pring sedhapur atau linggis untuk tusuk gigi.
Gaya pedhalangan Pak Narto banyak ditiru oleh dalang lokal. Ada seorang dalang populer di Blora bernama Suwono, yang belakangan saya sadari meniru Nartosabdho.
Maklum, waktu itu belum ada media sosial untuk mengikuti pentas seorang dalang dengan cepat. Ketika saya SMP, Ki Nartosabdho pernah pentas di Blora yang diselenggarakan oleh Kodim 0721. Sebagai anak-anak, saya hanya bisa menonton dari jauh dan sama sekali tidak bisa menikmati pentasnya.
Ketemu Langsung
Pada tahun 1978, saya pindah ke Semarang untuk kuliah dan mulai merintis karier sebagai wartawan di Suara Merdeka. Saya banyak menulis untuk edisi mingguan “Minggu Ini,” yang memiliki rubrik tokoh tahunan, “Man of The Year.”
Jika tidak salah, saya ditugaskan untuk menulis tentang Ki Narto Sabdho sebagai “Man of The Year” Suara Merdeka tahun 1979. Saat itu, Ki Narto baru saja mendapatkan gelar Dalang Kesayangan dari sebuah program radio di Jakarta.
Saya mewawancarainya di rumahnya di Jalan Anggrek, dekat Simpang Lima, Semarang. Rumahnya besar, lengkap dengan seperangkat gamelan dan wayang.
Setelah itu, saya sering bertemu dengannya dan menonton pentasnya, termasuk pentas besar yang pernah disiarkan langsung oleh TVRI di GOR Simpang Lima Semarang pada akhir 1970-an.
Saya juga pernah menyertainya ketika ia berkunjung ke gedung Ngesthi Pandhowo di kompleks GRIS, Jalan Pemuda, Semarang. Grup wayang orang legendaris ini pernah dibesarkan oleh Ki Narto, yang saat itu sudah menjadi sesepuh di Ngesti, benar-benar seperti kepala keluarga.
Pada awal 1980-an, ketika Ngesti Pandhowo mulai surut, saya pernah menyaksikan Ki Narto melerai pertengkaran anggota Ngesti dengan memberikan nasihat, menunjukkan perannya sebagai orang tua.
Sebagai tokoh seni dan budaya Jawa, Ki Narto dikenal ringan tangan. Saya pernah menemaninya ke Rembang bersama Ki Setiaji Pancawijaya, yang sedang mengadakan kursus Pranatacara dan Pamedharsaba.
Saat itu, sebagai redaktur Budaya di Suara Merdeka, saya membuat rubrik “Wayang Mbeling,” wayang modern yang disesuaikan dengan selera anak muda dan penuh humor. “Wayang arep mbok kapakke? (Wayang akan kamu apakan?” katanya mengomentari rubrik wayang mbeling tersebut.
Materi Podcast
Ketika membangun media digital dengan memanfaatkan aplikasi Zoom sekitar tahun 2021, saya mewawancarai banyak pihak tentang Ki Nartosabdho. Salah satu pengagumnya, Jaya Suprana, yang mengaku sebagai muridnya, bahkan saya wawancarai beberapa kali.
Dari berbagai wawancara tersebut, saya menyimpulkan bahwa Ki Nartosabdho adalah dalang luar biasa dengan kemampuan membangun drama pewayangan, baik dari segi struktur cerita maupun adegan dialog.
Perdebatan serius yang diselingi humor selalu hadir dari awal hingga akhir pentas. Sebagai dalang suara melalui media radio saat itu, ia memiliki kekayaan ekspresi yang luar biasa, didukung oleh kemampuannya menciptakan gending dan lagu selingan yang sangat kreatif.
Selain itu, Ki Narto dikenal sebagai sosok komunikatif, egaliter, dan ramah kepada semua orang.
Sayangnya, karya-karyanya belum terdokumentasi dengan baik. Pemerintah Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah, dapat menjadikannya ikon pariwisata. Sebagai maestro dalang dunia, Ki Nartosabdho layak dipertimbangkan sebagai pahlawan nasional.
Tahun ini Ki Nartosabdho genap berusia 100 tahun. Ulang tahunnya dirayakan dengan berbagai acara, termasuk pentas khusus dan penerbitan buku.
Di Semarang, terdapat patung dan gedung yang menggunakan namanya. Ki Narto adalah aset berharga bagi Kota Semarang, dunia pewayangan, dan pendalangan Indonesia, serta ikon budaya yang mendunia.
***






