Prof. Dr. dr. Zainal Muttaqin, Ph.D., Sp.BS(K), lahir di Purwokerto pada 27 April 1968, adalah dokter spesialis bedah saraf dan akademisi. Ia menyelesaikan pendidikan kedokteran umum di Universitas Diponegoro, serta meraih gelar Ph.D. di bidang neurosains dari Jepang. Dikenal vokal dalam isu kebijakan kesehatan, ia kini aktif sebagai pendidik, penulis, dan konsultan medis independen setelah diberhentikan dari RSUP dr. Kariadi karena kritiknya terhadap pemerintah.
Zainal menempuh pendidikan kedokteran di Universitas Diponegoro sebelum melanjutkan studi doktoralnya di bidang neurosains di Jepang. Kariernya panjang, dari ruang operasi di RSUP dr. Kariadi Semarang hingga ruang kuliah tempat ia mendidik generasi muda dokter dengan pandangan yang jauh melampaui dinding rumah sakit.
Keberanian berpikir kritis kadang datang dengan harga yang mahal. Dalam berbagai tulisan ilmiah dan opini publiknya, Zainal tak segan mengkritik pemerintah— terutama dalam hal tata kelola layanan kesehatan, kebijakan sistem rujukan, serta minimnya dukungan terhadap riset dan pelayanan berbasis bukti.
Dalam tulisannya, negara tidak tampil sebagai pelindung, melainkan justru sebagai tembok penghalang akses rakyat terhadap layanan bermutu. Kritik-kritiknya, meski berdasar ilmu dan data, dianggap “mengganggu harmoni”, hingga akhirnya ia harus menerima surat pemberhentian dari RSUP dr. Kariadi—institusi yang selama puluhan tahun menjadi ladang pengabdiannya.
Bagi sebagian orang, itu bisa menjadi akhir. Bagi Zainal, itu justru awal dari babak baru. Ia tetap berpraktik, menulis, mengajar, dan bersuara. Di mata para mahasiswa dan koleganya, bukan sekadar dokter atau dosen. Ia adalah representasi dari intelektual klinis yang enggan menjilat, meski tahu risiko. Ia tidak sedang memburu popularitas, melainkan mengembalikan esensi profesi dokter, berpihak pada yang lemah.
Diberhentikan dari RS
Tahun 2023, dr. Zainal diberhentikan dari Rumah Sakit dr. Kariadi. Cerita itu bermula dari momen penting dalam sejarah kesehatan Indonesia—pengesahan Undang-Undang Kesehatan. Sebagai akademisi dan praktisi yang sudah puluhan tahun berkecimpung dalam dunia medis, ia tak tinggal diam. Dari awal penyusunan undang-undang itu, ia sudah mencium adanya kejanggalan.
“Banyak hal yang tidak sesuai dengan yang seharusnya,” kenangnya.
Keprihatinan itu tak hanya ia simpan dalam hati. Ia mulai menulis. Banyak menulis. Lewat berbagai media, ia menyampaikan kritik tajam, tapi tetap konstruktif. Ia mengangkat persoalan-persoalan yang ia nilai bisa berdampak serius terhadap masa depan pendidikan kedokteran dan praktik layanan kesehatan di Tanah Air. Yang paling ia soroti adalah soal tumpang tindih kewenangan.
“Banyak hal yang sebelumnya menjadi ranah Kementerian Pendidikan, ternyata diambil alih oleh Kementerian Kesehatan,” jelasnya.
Padahal, menurutnya, pendidikan tetap harus dijalankan dengan prinsip akademik, bukan birokrasi layanan kesehatan semata. Kritiknya menyasar langsung ke jantung kebijakan, dan tentu saja, itu tak selalu disambut baik. Tulisan-tulisannya mulai dianggap menyinggung kepentingan Menteri Kesehatan. Ia tahu risikonya, tapi tetap memilih bersuara.
“Kalau saya diam, itu artinya saya ikut membiarkan,” ucapnnya mantap.
Terkait tulisan-tulisan yang dibuatnya, sebenarnya dia bukan orang yang suka berpolitik. Dia lebih nyaman menulis karya ilmiah yang berdasarkan data dan fakta. Jadi, apa yang dia tulis bukan soal politik. Namun, sejak pandemi, ada banyak polemik yang muncul, terutama soal vaksin dan program vaksin Nusantara yang kontroversial.
“Saya melihat ada praktik ilmu yang sebenarnya belum mendapat pengakuan secara internasional dan belum didukung oleh bukti medis yang kuat, tapi sudah dipraktikkan,” katanya.
Karena itu, dia merasa bertanggung jawab untuk menulis dan memberikan edukasi yang benar kepada masyarakat agar tidak salah paham atau terjebak pada hal-hal yang belum jelas secara ilmiah.
Dia menulis demi menjernihkan informasi dan memberikan pandangan yang berdasarkan ilmu pengetahuan. Salah satu tulisan yang cukup ramai diperbincangkan adalah ketika dia menulis tentang vaksin nusantara.
Waktu itu, dia mendengar kabar bahwa ada uji klinis fase satu dilakukan di RSUP Kariadi. Sebagai seseorang yang sehari-hari berada di rumah sakit tersebut, dia merasa perlu memastikan sendiri kebenarannya. Dengan berkomunikasi langsung kepada kolega-koleganya sesama dokter di RS dr. Kariadi, dia memastikan bahwa uji klinis itu ternyata bersifat semu.
Akhirnya, karena tak memenuhi standar kelayakan, uji klinis tersebut dihentikan oleh BPOM dan tidak bisa dilanjutkan ke fase dua. Fase satunya pun dianggap tidak jelas. Fakta-fakta inilah yang kemudian dia tuliskan dan publikasikan sebagai bentuk tanggung jawab akademiknya.
Kritik UU Kesehatan
Kritik berikutnya yang dia sampaikan menyasar Undang-Undang Kesehatan. Saat itu, Menteri Kesehatannya memang sudah berganti, tetapi menurutnya substansi undang-undang tersebut masih banyak yang tidak sesuai dengan kaidah keilmuan. Salah satu yang paling dia soroti adalah proses penyusunannya yang menurutnya tidak melibatkan partisipasi bermakna dari kelompok yang paling terdampak: kalangan dokter.
“Katanya ada partisipasi, tapi itu dilakukan melalui jalur rumah sakit. Fokus discussion group memang diadakan, termasuk di Kariadi. Tapi waktu saya datang dan lihat langsung, itu bukan diskusi dua arah. Itu sosialisasi,” tegasnya.
Dari tulisan-tulisan yang dia buat, situasi mulai memanas. Suatu hari, tepatnya pada 27 Maret 2023, dia dipanggil oleh Direktur RSUP dr. Kariadi. Saat itu, dia diminta untuk berhenti sementara menulis.
“Istilahnya waktu itu saya diminta untuk cooling down, ” katanya.
Namun permintaan itu tak lantas membuatnya berhenti. Zinal tetap menulis. Sehari setelah pemanggilan itu, tanggal 28 Maret 2023, tulisannya muncul di media Kumparan. Tak lama berselang, tanggal 2 April, satu lagi tulisannya terbit. Tak heran jika akhirnya, pada 4 April, dia kembali dipanggil.
“Saya diberitahu bahwa hari itu saya mendapat undangan untuk menghadiri sidang etik,” katanya.
Yang mengejutkan baginya, sidang etik tersebut bukan membahas soal praktik klinis atau dugaan pelanggaran etika profesi dalam penanganan pasien, sebagaimana seharusnya tugas Komite Etik Rumah Sakit.
“Bayangkan, sidang etik itu membahas tulisan saya,” katanya.
Padahal, yang dia tulis adalah hal yang menurutnya penting untuk diketahui publik. Salah satu tulisannya menyoroti apa yang ia sebut sebagai akumulasi kekuasaan dalam tata kelola profesi dokter.
“Mulai dari pendidikan, izin praktik, hingga peningkatan kompetensi melalui SKP (Satuan Kredit Profesi), semua berada di bawah kendali Menteri Kesehatan,” tegasnya.
Diberhentikan sebagai Mitra
Setelah melalui sidang etik, hasilnya mengejutkan—atau justru tidak mengejutkan bagi dia. Komite Etik Rumah Sakit dr. Kariadi tak menemukan satu pun pelanggaran etik dalam tulisan-tulisannya.
“Karena tulisan saya itu tidak menuduh. Saya hanya mengatakan berpotensi untuk terulang,” tambahnya.
Namun, tidak selesai di situ, muncul tawaran yang menurutnya aneh: agar ke depannya, tulisan-tulisannya disensor terlebih dahulu oleh Komite Etik sebelum dipublikasikan.
“Saya tanya waktu itu, ini negara kita itu Korea Utara apa Kuba? Ini negara demokrasi, yang bisa membatasi tulisan saya hanya satu Undang-Undang ITE. Saya bilang begitu. Kalau mau, gunakan saja Undang-Undang ITE untuk menuntut saya,” katanya.
Karena jalur etik tak berhasil, dia merasa ada instrumen lain yang 5 April 2023, ia kembali dipanggil oleh direktur rumah sakit. Kali ini, ia menerima surat pemberhentian kemitraan.
Padahal, posisinya di RSUP dr. Kariadi jauh dari sekadar mitra. Secara formal, kemitraannya memang hanya berlaku untuk kerja di Rumah Sakit Telogorejo—rumah sakit swasta tempat dia menerima imbalan jasa medis. Tapi di RSUP dr. Kariadi, ia seorang pendidik.
“Saya bukan sekadar melayani pasien. Pasien yang saya tangani itu bagian dari proses pendidikan bagi para calon dokter spesialis. Mereka belajar dari saya, di ruang operasi, di poli, di ruang periksa,” katanya.
Satu-satunya Bedah Epilepsi
Pemberhentian itu praktis memutus satu rantai penting dalam pendidikan spesialis bedah saraf di Indonesia.
“Saya sudah mengabdi sejak tahun 1995. Jadi selama 28 tahun saya mendidik calon dokter spesialis di Kariadi, lalu tiba-tiba diputus begitu saja.”
Tapi menurutnya, bukan dirinya yang paling dirugikan. Pasien yang justru jadi korban. Pasien yang mampu secara finansial mungkin masih bisa mencari dirinya ke rumah sakit swasta. Tapi bagaimana dengan mereka yang tidak mampu? Mereka yang hanya bisa berharap pada layanan rumah sakit pemerintah?
“Yang kasihan itu pasien miskin. Mereka datang ke Kariadi karena ingin bertemu dengan saya, bukan sekadar ingin berobat di Kariadi,” katanya.
Dampaknya pun kini mulai terasa. Ia menyebutkan, selama periode 2007 hingga 2022, jumlah pasien epilepsi yang ia tangani melalui operasi mencapai 50 hingga 80 orang per tahun. Sebagian besar pasien itu datang dari seluruh penjuru Indonesia karena RSUP dr. Kariadi adalah satu-satunya rumah sakit pemerintah yang sejak awal 2000-an memiliki program bedah epilepsi yang lengkap dan terintegrasi.
Sementara rumah sakit besar lain seperti RSCM (Jakarta) baru memulai program serupa pada 2022–2023. Rumah Sakit dr. Sutomo di Surabaya bahkan baru akan memulainya tahun ini.
“Kariadi sudah memulainya sejak tahun 1999–2000,” ungkapnya.
Tapi kini, setelah dia tidak lagi praktik di sana, angka operasinya merosot tajam. Selama tahun 2023 dan 2024, jumlah pasien epilepsi yang dioperasi hanya 6 sampai 7 orang per tahun.
Pemberhantian sepihak dari RSUP dr. Kariadi, tak membuat dr. Zainal surut, justru membuka ruang baru baginya untuk bersuara lebih lantang. Ia tak lagi dibatasi oleh sekat birokrasi atau regulasi institusi, dan justru menemukan panggung yang lebih luas di ruang publik. Dari berbagai forum ilmiah, media sosial, hingga tulisan-tulisannya yang tajam dan lugas, ia terus menyuarakan kegelisahan atas sistem kesehatan yang dianggap belum berpihak sepenuhnya pada rakyat.
Dampaknya tidak kecil. Kritiknya yang konsisten terhadap regulasi kesehatan berbasis akreditasi rumah sakit, pembiayaan BPJS, hingga isu krisis dokter di daerah, menjadikannya salah satu figur intelektual medis yang berani berbeda. Tak semua sepakat dengannya, tentu saja, tapi bahkan mereka yang mengkritik pun harus mengakui bahwa suara dr. Zainal telah menggugah perdebatan yang lebih sehat tentang arah kebijakan kesehatan Indonesia.
Di tengah riuhnya dunia medis yang kerap tenggelam dalam rutinitas prosedural, dr. Zainal tampil sebagai pengingat bahwa ilmu kedokteran bukan sekadar keahlian teknis, tetapi juga keberpihakan moral. Ia mungkin tak lagi berada di balik meja operasi rumah sakit besar, tapi gagasan-gagasannya tetap hidup dan berdenyut dalam percakapan kita hari ini—tentang hak pasien, etika profesi, dan pentingnya keberanian menyuarakan kebenaran, bahkan jika itu berisiko kehilangan segalanya.