Prof. Dr. dr. Zainal Muttaqin, Ph.D. Sp. BS

Prof. Dr. dr. Zainal Muttaqin, Ph.D. Sp. BS (Bagian Akhir) – Gigih Mencari Jalan Belajar ke Luar Negeri

Share

Dokter Zainal masuk Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) pada tahun 1977. Setelah menempuh pendidikan selama enam tahun, dia akhirnya lulus pada tahun 1983.

Ketika SMA, dia sempat mengikuti program beasiswa pertukaran pelajar selama setahun di Amerika Serikat, sehingga kemampuan bahasa Inggrisnya cukup mumpuni. Hal itu membentuk cita-citanya untuk terus mendalami ilmu kedokteran secara lebih mendalam setelah menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1).

Setelah lulus pada 1983, dia belum langsung memutuskan akan bekerja di bidang apa, tetapi yang pasti keinginannya kuat untuk melanjutkan sekolah. Dia bercerita, “Saya berkeliling ke berbagai kedutaan besar di Jakarta yang berbahasa Inggris, seperti Australia, Amerika, dan Inggris, untuk mencari program pendidikan dokter yang menawarkan beasiswa.” Karena orang tuanya sudah tidak mampu lagi membiayai pendidikan lanjutan, dia terus berupaya mencari kesempatan yang bisa membantunya.

Di saat yang sama, dia juga mendaftar sebagai calon dosen di Undip ketika ada lowongan, sambil terus aktif mencari info beasiswa. Pada tahun 1985, dia mencoba mengikuti tes penyetaraan pendidikan spesialis dokter yang diselenggarakan Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta, tes yang diadakan setahun sekali. Dia menjelaskan, “Tes itu memang untuk menyetarakan pendidikan dokter, dan passing grade-nya 75. Biayanya saat itu sekitar 300 dolar.”

Dia sudah mencoba dua kali pada tahun 1985 dan 1986, namun belum berhasil lulus. Nilainya masing-masing 72 dan 73, hampir mencapai passing grade tapi masih kurang. “Saya sebenarnya sudah berencana ikut tes tahun berikutnya,” kata dia, “tapi kemudian ada tawaran beasiswa dari pemerintah Jepang lewat Undip.”

Belajar Ke Jepang

Pada tahun 1986, dia mengikuti seleksi beasiswa pendidikan lanjutan S2 dan S3 yang diadakan Kedutaan Jepang di Jakarta. Dari 14 peserta dari Undip, dia adalah satu-satunya yang lolos. Setelah melewati proses seleksi yang panjang, akhirnya dia berangkat ke Jepang pada Oktober 1987 untuk melanjutkan pendidikan di bidang yang memang menjadi cita-citanya sejak awal, yaitu ilmu bedah saraf. Dia menambahkan, “Saya memilih bidang yang sudah saya cita-citakan sejak awal, ilmu bedah saraf, dan menempuh pendidikan S2 dan S3 dalam satu paket.”

Menjelang masa-masa akhir kuliahnya, tepatnya tiga tahun sebelum lulus, dia mulai rajin menjalin komunikasi dengan salah satu tokoh penting di dunia medis Semarang saat itu, dr. Amanullah, seorang spesialis bedah saraf yang kebetulan juga merupakan pionir di Jawa Tengah. Dari perbincangan-perbincangan itu, ia banyak mendapatkan pencerahan tentang prospek dunia kedokteran.

“Waktu itu dr. Amanullah bilang, ke depan ada tiga bidang kedokteran yang peluang pengembangannya masih sangat besar,” ujarnya. “Yaitu anestesi atau bius, kardiologi, dan bedah saraf.”

Dari ketiga bidang itu, dr. Amanullah memintanya untuk mempertimbangkan dengan matang mana yang paling sesuai. Tapi kemudian, enam bulan menjelang kelulusan, arah itu menjadi lebih jelas. “Beliau menyarankan saya ambil bedah saraf saja. Dan memang saya juga senang dengan bidang itu,” kata saya.

Akhirnya, pilihan pun ditetapkan: bedah saraf. Ia kemudian menempuh pendidikan lanjutan di Jepang selama enam tahun, dari tahun 1987 hingga 1993. Di sana, ia menyelesaikan program S2 dan S3 sekaligus, sambil mendalami ilmu bedah saraf hingga tuntas. Gelar doktor dan spesialis pun berhasil diraih.

Namun, setibanya di Indonesia, ia harus mengikuti prosedur yang ditetapkan pemerintah, yakni program adaptasi bagi lulusan spesialis dari luar negeri. Untuk itu, ia mendaftar di Universitas Padjadjaran dan menjalani proses adaptasi selama setahun penuh di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung.

“Saya kembali ke Semarang bukan tahun 1993, tapi 1995 pertengahan. Karena 1994 saya masih di Bandung untuk adaptasi,” ungkapnya.

Kepulangannya ke Semarang sekaligus menandai kembalinya ia sebagai dosen di Fakultas Kedokteran Undip, tempat yang memang sudah sejak awal mencatatkan namanya sebagai staf pengajar.

Merintis Bedah Epilepsi, RS Kariadi Jadi Rujukan

Setelah kembali ke Semarang, dia melanjutkan kiprahnya di Fakultas Kedokteran dengan fokus pada pengajaran di bidang yang benar-benar ia kuasai. Ia mengajar ilmu bedah saraf, memperdalam bidang epilepsi, serta membekali mahasiswa dengan kemampuan membaca dan memahami pencitraan otak atau neuroimaging.

Ketika teknologi pemindaian otak berkembang pesat, ia menjadi saksi langsung kemunculan dan perkembangan awal MRI di Jepang pada awal 1990-an.

“Saya ada di Jepang ketika MRI mulai digunakan,” kenangnya.

Bersama rekan sejawat di sana, ia aktif mempelajari setiap pola gambaran otak melalui MRI untuk berbagai jenis penyakit. Itu menjadi keunggulan tersendiri. Ketika kembali ke Tanah Air, pengetahuan tersebut ia tularkan kepada rekan-rekan dokter saraf dan radiologi di Semarang. Ia menyampaikan hal-hal baru tentang interpretasi MRI otak yang belum banyak diketahui saat itu.

Tak hanya berhenti di situ. Karena adanya program pendidikan dokter spesialis, ia pun terlibat dalam pengajaran bagi calon dokter spesialis bedah, saraf, dan radiologi. Perannya menjadi penting dalam ketiga bidang tersebut, menjadikannya jembatan ilmu baru antara perkembangan teknologi dan dunia akademik di Indonesia.

Namun perjuangannya tak berhenti di ruang kelas. Saat itu, Departemen Bedah Saraf Undip baru mulai dirintis. Belum ada pendidikan resmi untuk spesialis bedah saraf di Semarang. Ia pun mengambil bagian besar dalam meletakkan pondasi awal.

“Awalnya kami belum bisa mendidik PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis) bedah saraf sendiri, jadi kami bekerja sama dengan Unair sebagai bapak angkat,” jelasnya.

Ia rutin ke Surabaya setiap ada seleksi calon peserta PPDS, di mana setiap gelombang seleksi menghasilkan tiga peserta—dua untuk Unair dan satu untuk Undip.

Proses ini berlangsung hampir empat tahun. Selama masa itu, sudah ada tujuh angkatan PPDS Undip yang ‘dititipkan’ di Surabaya. Idealnya, pada 2013 mereka semua sudah bisa ditarik ke Semarang dan memulai pendidikan mandiri di kampus sendiri. Namun, harapan itu kandas oleh aturan baru: PPDS tidak boleh pindah institusi karena jika ada pernyataan mundur dari Unair untuk pindah ke Undip, akreditasi Unair bisa terpengaruh.

“Jadi anak didik saya itu tidak boleh pindah. Kita terpaksa mandiri mulai 2013. Artinya ya mulai sendiri dari nol,” kenangnya.

Yang seharusnya menjadi kelanjutan dari angkatan ke-7 malah menjadi lembar baru yang benar-benar dimulai dari awal— semester pertama, bukan semester tujuh.

Bedah Epilepsi

Dari sudut pandang perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran, dia melihat bahwa riset di berbagai bidang mengalami kemajuan pesat, tak terkecuali dalam dunia bedah saraf. Di Jepang, tempat ia menimba ilmu selama enam tahun, ia menyaksikan langsung berbagai inovasi medis yang belum banyak dikenal di Indonesia kala itu. Salah satu hal yang paling menarik perhatiannya adalah teknik bedah epilepsi, yakni tindakan pembedahan untuk menangani pasien dengan penyakit ayan atau epilepsi yang tak mempan terhadap pengobatan biasa.

“Saya lihat, tindakan ini sudah lumrah dilakukan di Jepang, tapi belum ada yang mengembangkan di Indonesia. Itu yang membuat saya tertarik,” katanya.

Sekembalinya ke Tanah Air, dia mulai kembali berinteraksi dengan dunia kedokteran, khususnya komunitas bedah saraf. Ia mempelajari ekosistem medis di Indonesia dan mulai memetakan kemungkinan memperkenalkan pendekatan baru tersebut. Meski belum merasa benar-benar menguasai bidang itu secara penuh, semangat belajarnya tak surut.

“Pengetahuan saya tentang bedah epilepsi waktu itu juga masih sangat terbatas. Jadi saya memutuskan untuk beberapa kali kembali ke Jepang,” ungkapnya.

Dalam kunjungan-kunjungan ulang itu, dia belajar secara langsung di sejumlah institusi yang secara khusus menangani pasien epilepsi. Pengalamannya semakin dalam, terutama setelah menjalin interaksi dengan para dokter saraf di Indonesia—bukan hanya bedah saraf, tetapi juga spesialis saraf yang selama ini menjadi pihak utama dalam penanganan pasien epilepsi.

“Di Indonesia waktu itu semua pasien epilepsi ditangani oleh dokter saraf. Tapi ternyata tidak semua kasus bisa diatasi dengan obat saja. Ada sekitar 30 persen pasien yang disebut kebal terhadap obat. Di sinilah saya dan teman-teman melihat ada peluang untuk menghadirkan solusi lain,” jelasnya.

epilepsi di Indonesia pun mulai dirintis. Ia dan rekan-rekannya bekerja sama membangun pemahaman baru dalam pendekatan pengobatan epilepsi, membuka ruang bagi pasien yang membutuhkan tindakan pembedahan sebagai jalan keluar.

Selama bertahun-tahun, pasien epilepsi di Indonesia pada umumnya hanya menerima terapi berupa obat-obatan antikejang. Obat ini memang dirancang untuk mencegah kambuhnya kejang, tetapi tidak memperhitungkan dari bagian otak mana kejang itu berasal.

“Obatnya ya sama semua,nggak ada yang khusus untuk otak depan, otak belakang, atau kanan maupun kiri,” katanya.

Memanfaatkan HP

Sejak ia memutuskan menempuh pendekatan bedah— membuka kepala dan mengangkat bagian otak yang menjadi pusat kejang—ia menyadari bahwa identifikasi lokasi pusat kejang menjadi sangat krusial.

“Saya harus tahu dengan pasti, pusat kejangnya itu ada di mana,” ujarnya.

Dari situlah ia mulai menelusuri pendekatan baru. Ia menemukan bahwa lokasi pusat kejang bisa diduga dengan mempelajari bentuk kejang yang dialami pasien. Ini menjadi hal yang sangat menarik baginya, sebab selama ini kejang seringkali dipandang sekadar gejala—tanpa usaha untuk memahaminya lebih dalam.

“Padahal dari bentuk kejangnya saja kita bisa tahu, kira-kira pusatnya itu di otak sebelah mana,” jelasnya.

Misalnya, jika saat kambuh yang pertama kali kaku adalah tangan kanan, besar kemungkinan pusat kejangnya ada di otak kiri. Hal itu karena otak manusia diciptakan dengan sistem silang: otak kiri mengendalikan tubuh kanan, dan sebaliknya. Bahkan gerakan wajah, ekspresi mulut saat kejang, hingga arah lirikan mata pun bisa memberi petunjuk penting.

Berdasarkan pemahaman tersebut, ia pun mulai menyusun edukasi untuk pasien dan keluarganya. Salah satu pendekatan yang ia gunakan adalah lewat media digital seperti video dan podcast.

“Saya minta kalau pasien epilepsi yang sulit diobati itu kambuh, tolong keluarganya rekam pakai HP. Rekaman itulah yang nanti kita analisis untuk memahami pusat kejangnya,” katanya.

Dalam dunia medis, kondisi seperti strok umumnya lebih mudah dikenali sumbernya. Bila seorang pasien mengalami kelemahan tubuh di sisi kanan, biasanya hal itu menandakan adanya gangguan di otak kiri—baik berupa pembuluh darah yang tersumbat maupun pecah. Namun, pada kasus epilepsi, penentuan lokasi gangguan jauh lebih detail dan kompleks.

“Pada epilepsi itu lebih rinci lagi,” jelasnya.

Ia menekankan bahwa ada perbedaan mencolok dalam karakteristik kejang, tergantung dari bagian otak mana yang menjadi titik awalnya—apakah dari bagian depan, samping, atau lainnya. Perbedaan-perbedaan ini dapat dipelajari dari analisis gerakan tubuh saat kejang, yang paling efektif dilakukan melalui rekaman video.

Itulah sebabnya ia mulai membangun sistem edukasi yang praktis dan berbasis teknologi, khususnya bagi pasien dari luar Jawa yang ingin berkonsultasi ke Semarang. “

Saya bilang, jangan dulu datang ke Semarang ketemu saya sebelum bisa membawa rekaman video saat pasien itu kejang,” katanya.

Alasannya sederhana namun logis: tanpa rekaman, tak ada cara akurat untuk menggambarkan bentuk kejang yang dialami. Pendekatan berbasis video itu ternyata menjadi sebuah terobosan. Ia mengakui, saat itu metode ini belum banyak—atau bahkan belum sama sekali—dipraktikkan oleh dokter lain di Indonesia.

Tonton Video Selengkapnya

Artikel Terkait

Scroll to Top