Prof. Dr. dr. Zainal Muttaqin, Ph.D. Sp. BS - Guru Besar Fakultas Kedokteran Undip (tengah bawah, nomor 2 dari kiri.)

Prof. Dr. dr. Zainal Muttaqin, Ph.D. Sp. BS (Bagian 2) – Pro Kontra Kolegium Pertaruhan Independensi

Share

Selama ini, sistem pendidikan kedokteran di Indonesia berjalan dalam skema yang melibatkan perguruan tinggi, mahasiswa, dan rumah sakit pendidikan. Ia menjelaskan bahwa sebelum isu-isu yang ramai belakangan ini muncul, sistem itu sudah berlangsung cukup lama dan memiliki struktur yang relatif mapan.

Pendidikan itu diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Mahasiswa mendaftar ke kampus, lalu belajar di rumah sakit pendidikan.

“Koki yang masak itu orang Undip, tapi dapurnya ya rumah sakit. Nah, resep kurikulumnya dan penentu rasa—apakah enak, pahit, atau asin—itu dikontrol oleh badan mandiri, bukan milik kampus atau rumah sakit.”

Dalam praktiknya, sistem ini bersifat tripartit: ada perguruan tinggi, rumah sakit, dan lembaga independen yang mengatur standar. Salah satu lembaga yang berperan penting dalam hal ini adalah kolegium—wadah yang telah eksis cukup lama dan berfungsi menentukan standar kualitas pendidikan profesi.

Asal Mula

Dokter Zainal kemudian menuturkan sejarah singkatnya. Sebelum Indonesia merdeka, pendidikan dokter telah berlangsung, antara lain di Stovia (sekarang bagian dari UI dan RSCM) serta di sekolah dokter Jawa di Surabaya yang kini menjadi Unair.

“Dulu itu standarnya ditentukan oleh masing-masing guru. Kalau saya sebagai dokter spesialis bedah senior, saya pilih sendiri murid saya. Dia magang ikut saya, saya yang mengajar, menguji, dan menentukan dia lulus atau tidak,” jelasnya.

Sistem tersebut berlangsung cukup lama hingga akhirnya muncul kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan best practice internasional. Saat itu, sejumlah dokter spesialis lulusan luar negeri, termasuk sepuluh orang pertama di bidang bedah saraf, mulai menyatukan diri dalam wadah profesional.

“Kami yang dulu menempuh pendidikan bedah saraf di luar negeri, sepuluh orang awal itu, lalu membentuk perhimpunan bedah saraf. Organisasi-organisasi profesional lain juga terbentuk dengan cara serupa,” tambahnya.

Menurutnya, cikal bakal pembentukan kolegium dimulai sekitar tahun 1978, ketika para dokter spesialis dari generasi awal menyadari pentingnya memiliki suatu badan yang mengatur standar pendidikan profesi kedokteran. Mereka pun berkumpul dan mulai membentuk lembaga yang disebut kolegium.

Para perintis kolegium ini memilih individu-individu yang paling memahami persoalan pendidikan, terutama para profesor dan pemilik institusi program studi—yakni mereka yang mengelola pendidikan dokter spesialis di rumah sakit pendidikan seperti RSUP dr. Kariadi di Semarang, bukan rumah sakit biasa di daerah.

“Yang dipilih adalah mereka yang paling paham tentang pendidikan. Guru besar dan pemilik program studi,” jelasnya.

Tugas mereka menyusun standar pendidikan, standar ilmu yang diajarkan, standar pasien yang boleh dijadikan bahan ajar, standar kelulusan, hingga standar praktik profesi.

Independen

Kolegium ini, lanjutnya, sejak awal dirancang sebagai lembaga yang independen, tidak berada di bawah Kementerian Pendidikan maupun Kementerian Kesehatan. Walaupun lahir dari inisiatif para anggota organisasi profesi, kolegium berdiri sebagai lembaga mandiri, karena saat itu pemerintah belum terlibat langsung dalam urusan standarisasi pendidikan dokter spesialis.

Negara waktu itu belum campur tangan. Yang melihat perlunya standarisasi itu ya para dokter sendiri.

“Agar lulusan dari RSCM, Unair, dan Semarang punya kualitas yang setara.”

Kolegium pertama mulai dibentuk tahun 1978, dan salah satu tonggak penting berikutnya adalah pendirian Kolegium Saraf pada tahun 1996. Hingga kini, setidaknya telah terbentuk sekitar 38 kolegium, dan dari sinilah telah lahir lebih dari 170.000 dokter spesialis di Indonesia.

“ekarang ini, setiap tahun ada sekitar 2.700 spesialis baru yang diluluskan dari lebih dari 150 institusi pendidikan spesialis. Jumlah peserta didik yang sedang menjalani pendidikan mencapai 16.000 orang.

Semua proses ini, menurut Prof. Zainal, dijalankan dan dijaga oleh kolegium, bukan oleh kementerian pemerintah.

Namun dalam perjalanannya, muncul perubahan signifikan. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, mulai mengambil alih peran kolegium—sebuah langkah yang menurut Prof. Zainal berisiko melemahkan independensi dan objektivitas pendidikan profesi.

Kalau kolegium diambil alih Kementerian Kesehatan, itu artinya yang punya sekolah juga yang menilai sekolahnya sendiri.

“Kolegium itu harus mandiri. Kalau tidak, kita kembali ke titik awal: kehilangan standar yang seragam dan kredibel.”

Pendidikan Dokter Spesialis Sejatinya Hospital Base

Sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia memang kerap membingungkan bagi orang luar. Banyak yang menyangka bahwa semua proses pendidikan berlangsung sepenuhnya di universitas. Padahal kenyataannya tidak demikian.

Disebut university base itu karena urusan administrasi dan penjaminan mutu dikelola oleh universitas,” jelasnya.

Artinya, pengaturan soal kurikulum, akreditasi, hingga tata kelola akademik berada di tangan universitas, tapi proses pembelajaran utamanya justru berlangsung di rumah sakit. Dan ini bukan sekadar kebiasaan atau pilihan internal.

“Bukan kemauan dosennya, bukan kemauan mahasiswa, bukan juga soal kesepakatan bersama. Tapi itu semua diatur oleh undang-undang,” tegasnya.

Ia merujuk pada Undang- Undang Praktik Kedokteran tahun 2004 dan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran tahun 2013, yang menyatakan bahwa meski tanggung jawab pengelolaan berada di universitas, proses pendidikannya tetap berbasis rumah sakit. Maka dari itu, semua pendidikan dokter spesialis secara substansi sejatinya adalah hospital base.

Penegasan ini penting, terutama ketika ia dan timnya di Semarang berjuang untuk merintis dan memperkuat pendidikan spesialis bedah saraf. Mereka harus memastikan semua standar dan ketentuan hukum dipenuhi, sembari tetap menjaga mutu klinis dan akademik agar lulusan yang dihasilkan benar-benar siap terjun di medan praktik nyata.

Universitas

Penjamin Mutu

Masalah Undang-Undang Kesehatan rupanya belum selesai. Bahkan, bisa dibilang justru sedang berkembang ke arah yang mengkhawatirkan. Sejak awal, dia sudah mencium adanya akumulasi yang cukup signifikan di tangan Menteri Kesehatan, terutama dalam urusan pendidikan dokter. Apa yang sebelumnya berada di ranah akademik, kini perlahan digeser ke dalam kontrol birokrasi.

“Yang saya lihat, seolah-olah ada keinginan agar pendidikan dokter, khususnya dokter spesialis dan subspesialis, diambil alih oleh Kementerian Kesehatan,” ungkapnya.

Padahal, secara struktur, pendidikan tersebut berada di bawah universitas. Memang benar bahwa praktik klinisnya berbasis rumah sakit (hospital-based), tetapi penjaminan mutu dan administrasi tetap menjadi tanggung jawab perguruan tinggi.

Namun, melalui serangkaian aturan turunan dari Undang- Undang, yakni Peraturan Pemerintah (PP) dan kemudian Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), kewenangan itu perlahan dialihkan ke kementerian. Inilah yang ia anggap sebagai bentuk pergeseran kekuasaan yang berdampak serius pada kualitas pendidikan kedokteran itu sendiri. “Kalau kita melihatnya dari kacamata akademisi, ini cacat dari sisi kualitas,” katanya tanpa ragu.

Keresahan itu tidak hanya dirasakannya sendiri. Gelombang protes dan kekhawatiran datang dari berbagai penjuru perguruan tinggi. Pernyataan publik yang disampaikan oleh 152 guru besar Universitas Indonesia menjadi bukti bahwa ini bukan isu personal. Bahkan sebelumnya, guru besar dari Universitas Gadjah Mada telah lebih dahulu menyuarakan keberatan lewat Pernyataan Bulaksumur. Intinya satu: pendidikan dokter, terlebih untuk level spesialis dan subspesialis, harus tetap berada di bawah kendali perguruan tinggi.

Bagi dr. Zainal, ini bukan sekadar urusan administrasi. Ini soal jaminan mutu, soal masa depan profesi dokter di Indonesia. Ketika pendidikan kedokteran dipisahkan dari universitas dan dibawa ke ranah birokrasi kementerian, maka independensi keilmuan dan kualitas pembelajaran bisa jadi dikorbankan. Dan itu, menurutnya, bukan hanya berbahaya bagi dunia akademik, tapi juga bagi masyarakat sebagai penerima akhir layanan kesehatan.

Tonton Video Selengkapnya

Artikel Terkait

Scroll to Top