Dokter Spesialis
Dokter Spesialis (illustrasi)

Lulusan PPDS Masih Kurang, Kuliahnya Berat dan Mahal

Share

Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan dokter spesialis. Jumlah lulusan dari Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di berbagai Fakultas Kedokteran, belum mampu mengimbangi kebutuhan layanan kesehatan, terutama di daerah terpencil.

Kondisi ini diperparah dengan proses pendidikan dokter spesialis yang terkenal berat dan membutuhkan biaya tinggi. Tak sedikit calon dokter merasa terhambat oleh berbagai tantangan tersebut, sehingga berdampak pada kesenjangan ketersediaan tenaga medis di berbagai wilayah.

Selain beban akademis yang menuntut, tingginya biaya pendidikan sering menjadi faktor penghalang. Padahal, keberadaan dokter spesialis sangat krusial dalam meningkatkan kualitas layanan kesehatan masyarakat. Berbagai permasalahan mendasar menjadi tantangan yang harus diatasi untuk memperbaiki kondisi ini. Berikut berbagai pernyataan para Dekan Fakultas Kedokteran (FK) yang kami ambl dari wawancara Bambang Sadono di di kanal youtube Inspirasi untuk Bangsa.

Dekan FK Universitas Pandjadjaran (Unpad), Prof. Dr. Yudi Mulyana Hidayat, dr. Sp.OG, Subsp. Onk, D.MAS mengatakan Pendidikan kedokteran sering kali dihadapkan tantangan berupa lama masa studi dan biaya yang mahal. Padahal, biaya pendidikan spesialis seharusnya tidak menjadi beban berat bagi mahasiswa. Pemerintah perlu memberikan dukungan lebih dalam hal pembiayaan.

“Kompensasi kepada dokter yang menjalani Pendidikan spesialis, dan imbalan jasa dari pelayanan yang diberikan selama masa pendidikan akan sangat membantu meringankan biaya yang ditanggung mahasiswa,” katanya.

Yudi menyebut bahwa ada yang pernah meneliti, biaya pendidikan spesialis per orang sampai selesai berkisar Rp 2 miliar hingga Rp 3 miliar, termasuk biaya-biaya hidup, riset, dan lainnya. Karena itu, lanjutnya, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan agar merumuskan kebijakan yang berpihak pada peserta PPDS agar mereka dapat menyelesaikan pendidikan tanpa merasa tertekan secara finansial.

Banyak Praktikum
Dekan Fakultas FK Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Prof. Dr. dr. Reviono, Sp.P(K), turut mengakui bahwa biaya pendidikan kedokteran relatif mahal. Sebab, mahasiswa kedokteran banyak menjalani praktikum yang membutuhkan fasilitas gedung, peralatan, dan juga bahan habis pakai.

Ia mencontohkan, untuk praktikum anatomi misalnya, gedungnya harus berstruktur untuk laboratorium anatomi, juga harus menyiapkan mayatnya. Preparat basah seperti itu tidak mudah untuk menyediakannya. Juga untuk yang molekuler, praktikum biokimia, praktikum biomolekuler. Itu membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Meskipun demikian, menurut Reviono, kedokteran tetap menjadi salah satu program studi favorit, sebuah kenyataan yang sulit disangkal. Banyak orang tua memilih jurusan Kedokteran untuk putra-putrinya, salah satunya karena prospek kerja yang lebih cepat.

Persoalan Klasik
Prof. Yudi Mulyana Hidayat, menilai bahwa salah satu tantangan utama di sektor kesehatan Indonesia adalah ketidakmerataan penempatan tenaga dokter, terutama di luar Pulau Jawa. Karena itu, sinergi antara pemangku kepentingan, institusi pendidikan, dan pemerintah daerah sangat menentukan dalam memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan.

Karena itu, ia sangat mendukung kebijakan Kementerian Kesehatan untuk meningkatkan jumlah dokter dan spesialis. Hanya saja, menurut dia, perlu dilakukan peninjauan terhadap distribusinya.

Yudi mencontohkan data dari Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) menunjukkan adanya surplus dokter kandungan di Jakarta, dibandingkan jumlah penduduk. Namun, banyak wilayah masih mengalami kekurangan pelayanan kesehatan akibat distribusi yang tidak optimal, terutama di daerah terpencil.

“Jika distribusi dokter dan spesialis tidak dikelola dengan baik, peningkatan jumlah dokter hanya akan memperburuk masalah, bukan menyelesaikannya,” katanya.

Senada dengan itu, Dekan FK Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Dr. dr. Mukhlis Rudi Prihatno, M.Kes., M.Si.Med., Sp.An-KNA., mengungkapkan bahwa masalah kekurangan dokter spesialis sudah menjadi isu klasik. Sebenarnya produksi cukup banyak tapi distribusi tidak merata. Banyak dokter numpuk di satu daerah. Biasanya menjadi persaingan yang tidak sehat.

“Untuk dokter spesialis, menurut saya sudah sangat bagus program pemerintah seperti yang dibiayai oleh Kemenkes. Dengan catatan dia harus kembali ke daerah asal,” katanya.

Apalagi saat ini Surat Tanda Registrasi (STR) dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan yang punya kewenangan untuk mengatur penempatan dokter. FK Unsoed sendiri juga menerima program pendidikan dokter spesialis dari pemerintah daerah hanya belum maksimal. Belum ada program dari Kemenkes. Pernah bekerja sama dengan pemerintah daerah di Nusa Tenggara Barat.

‘’Pernah ada kasus, dikirim dari Maluku ujung-ujungnya praktiknya tidak di Maluku tapi di Jawa Tengah,’’ katanya.

Skema Afirmasi
Dekan FK Universitas Airlangga (Unair), Prof. Dr. dr. Budi Santoso, Sp.O.G., Subps.F.E.R, tak henti-hentinya menyuarakan soal distribusi. Baginya masalah-masalah kesehatan di Indonesia bisa dipecahkan bersama. Fakultas kedokteran, misalnya mempunyai program afirmasi. FK Unair mempunyai program dengan dua kabupaten di Jawa Timur yang rumah sakitnya tidak pernah ditempati dokter spesialis.

Akhirnya terjalin kerja sama, pemerintah daerah mengirim dokter untuk kuliah di PPDS Unair dan Universitas Brawijaya (UB). Saat mereka lulus, ijazahnya diserahkan ke Pemkab. Setelah mengabdi delapan tahun, mereka baru boleh pindah.

Kalau semua kabupaten bekerja sama seperti ini, masalah kekurangan dokter spesialis akan bisa diatasi. Apalagai kalau pemerintah pusat juga ambil bagian. Bisa lewat hospital base atau university base baru.

Budi mengajak semua pihak berjalan bersama-sama, saling mendukung, pemerintah saling hadir, agar masyarakat diuntungkan. Hal itu juga pernah diadopsi TNI/ Polri. FK Unair pernah berpengalaman dengan menerima untuk satu semester awal, dididik awal kemudian dikembalikan ke RS awalnya.

“Itu sudah berjalan. Jadi itu cara-cara kami untuk bisa membuat lulusan dari spesialis ini akan terus bertambah,” katanya.

Academic Health System (AHS)
Menurut Dekan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. dr. Yodi Mahendradhata, M.Sc., Ph.D., FRSPH, salah satu penyebab utama ketidakmerataan distribusi dokter adalah tingginya biaya pendidikan dan lamanya masa studi. Kondisi ini membuat banyak calon dokter enggan bertugas di daerah terpencil atau perbatasan yang sering kali memiliki fasilitas terbatas dan menawarkan remunerasi yang kurang menarik.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi masalah ini, salah satunya melalui pengembangan Academic Health System (AHS), model kolaborasi antara perguruan tinggi, rumah sakit, dan pemerintah daerah. Dalam kerja sama AHS, Indonesia dibagi menjadi enam wilayah dan diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan kedokteran, penelitian, dan pelayanan kesehatan.

“UGM sebagai koordinator AHS wilayah 4, mendukung pembukaan program studi kedokteran di daerah yang kekurangan dokter, termasuk Universitas Borneo Tarakan di perbatasan Kalimantan,” katanya.

Sementara itu, FK Unair sebagai koordinator AHS Wilayah 5, meliputi Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT, berupaya mendorong pembangunan program studi spesialis di fakultas kedokteran wilayahnya. Harapannya, jumlah dokter spesialis dapat terus meningkat.

Di sisi lain, FK Universitas Udayana (Unud), yang juga berada di bawah koordinasi Universitas Airlangga, berperan aktif dalam mendampingi pendirian fakultas kedokteran baru serta membantu proses pelayanan kesehatan. Dekan FK Unud, Prof. Dr. dr. Komang Januartha Putra Pinatih, M.Kes., menjelaskan bahwa pihaknya turut mendukung pendidikan spesialisasi dengan mengirim residen peserta didik spesialis yang sudah mandiri dan berpengalaman untuk memberikan pelayanan kesehatan di daerah-daerah terpencil yang membutuhkan dokter spesialis.

“Kami kami kirim ke Papua, Ambon, Sulawesi, dan paling banyak ke Nusa Tenggara Timur,” katanya.

Residen yang dikirim itu secara teori mereka sebenarnya sudah spesialis tinggal menunggu proses wisuda. Jadi mereka sudah bisa bekerja secara mandiri untuk membantu memberikan pelayanan kesehatan di daerah-daerah yang saat ini masih belum ada atau kekurangan tenaga spesialis. Itu salah satu bentuk sumbangsih dari FK Unud. (*) Salahudin

 

Perlu Subsidi Silang, Siasati Biaya Tinggi
Untuk mensiasati biaya tinggi pendidikan kedokteran, khususnya pada jenjang spesialis, berbagai Fakultas Kedokteran di Indonesia mengambil langkah strategis guna memastikan akses pendidikan yang setara bagi seluruh lapisan masyarakat.

FK-KMK UGM, misalnya, menerapkan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) progresif. Sistem ini memungkinkan biaya kuliah disesuaikan dengan kemampuan ekonomi mahasiswa, sehingga lebih terjangkau, terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu.

Melalui skema subsidi silang, mahasiswa dengan kemampuan ekonomi lebih baik turut membantu pembiayaan pendidikan bagi rekan-rekan mereka yang membutuhkan. Penentuan besaran UKT dilakukan berdasarkan pengelompokan tertentu, dengan memperhatikan kondisi ekonomi masing-masing mahasiswa secara adil.

FK Unud juga memberikan perhatian khusus pada beban biaya pendidikan kedokteran dengan menyediakan program beasiswa. Selain itu, dukungan dari donatur menjadi bagian penting untuk membantu mahasiswa berprestasi maupun mereka yang memerlukan bantuan finansial. Beasiswa ini memberikan kesempatan lebih luas bagi mahasiswa untuk menyelesaikan pendidikan tanpa terkendala biaya.

FK UNS menerapkan sistem subsidi silang serupa. Dalam skema ini, mahasiswa dari keluarga dengan keterbatasan ekonomi mendapat kemudahan melalui pembayaran UKT yang lebih rendah, sesuai dengan kondisi finansial mereka.

Dengan ini, diharapkan semakin banyak calon dokter dan spesialis yang dapat menempuh pendidikan tanpa terbebani biaya tinggi, sehingga mampu berkontribusi lebih luas bagi masyarakat.

Agen Perubahan
Menurut Dekan FK Unpad, Yudi Mulyana, dalam upaya melahirkan dokter yang tidak hanya kompeten secara akademis, FK Unpad menekankan pentingnya lulusan sebagai agen perubahan di daerah-daerah. Melalui transformasi kurikulum, mahasiswa didorong untuk mengenal dan memahami kondisi kesehatan masyarakat, sehingga lebih siap mengabdi di wilayah yang membutuhkan.

Yudi Mulyana mengisahkan pengalamannya di masa lalu di mana banyak lulusan ragu-ragu jika harus bertugas di daerah terpencil. Namun, dengan pengenalan yang baik terhadap masyarakat dan tantangan yang ada, sekarang banyak alumni Unpad justru memilih berkontribusi di daerah terpencil, meskipun sebagian kecil masih memilih tinggal di kota besar.

“Melalui pengalaman langsung di lapangan, pemahaman mereka mengenai kondisi kesehatan masyarakat di daerah akan semakin mendalam,” ujarnya.

Hal serupa dirasakan Dekan FK UI, Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, SpPD., KGEH., MMB., FINASIM., FACP., yang merasa beruntung sempat mengabdi di daerah terpencil sebelum menjadi dokter spesialis. Pengalaman tersebut menjadi nilai tambah dan melengkapi kematangannya sebagai dokter, terutama dalam menghadapi situasi serba terbatas di daerah pengabdian. Ia juga mendapat kesempatan berkomunikasi dengan berbagai pihak, seperti camat, kapolsek, dan kepala Kantor Urusan Agama (KUA).

Sistem Berubah
Saat ini sistemnya berubah. Setelah menyelesaikan pendidikan sarjana kedokteran, untuk mendapatkan gelar dokter, mereka harus melalui program profesi. Setelah lima setengah tahun, para dokter muda baru bisa mengikuti program magang atau internship selama setahun.

Program magang itu cara untuk memantapkan pengalaman mereka menjadi seorang dokter. Di mana mereka selama delapan bulan di rumah sakit dan empat bulan di puskesmas, belajar dari dokter pembimbingnya. Setelah lulus dari internship, mereka tidak bisa langsung mendaftar ke program spesialis penyakit dalam, namun harus setahun bekerja dulu di rumah sakit.

Sementara itu, Dekan FK Universitas Diponegoro (Undip), Dr. dr. Yan Wisnu Prajoko, M.Kes., Sp.B., Subsp.Onk(K), menyatakan bahwa FK Undip menerapkan pendekatan komprehensif untuk memenuhi kebutuhan layanan kesehatan dan mencapai tujuan pendidikan dokter serta spesialis yang ideal. Pendekatan ini mencakup pengembangan kurikulum berbasis kompetensi, yang meliputi dasar ilmu, etika, dan perilaku profesional, serta pendidikan berkelanjutan.

“Tenaga medis yang dihasilkan harus adaptif terhadap perkembangan dunia medis yang terus berubah agar dapat memberikan pelayanan kesehatan yang efektif dan relevan,” katanya. (*) Salahudin Surya Amin

Artikel Terkait

Scroll to Top