Ujian dimulai dari kurikulum dasar secara bertahap, dari tingkat satu ke tingkat dua, dan di setiap tingkatan pasti ada ujian negara. Ujian tersebut dikenal sebagai National Book Consortium Health Science (NBCHS)
Begitu juga saat naik dari tingkat dua ke tingkat tiga, setelah lulus ujian lokal, ujian negara tetap harus dijalani. Ujian negara dari tingkat dua ke tingkat tiga hanya diberikan kesempatan tiga kali. Jika tidak lulus setelah tiga kali, maka akan dinyatakan drop out (DO).
Ketika berhasil lulus ke tingkat tiga dan melanjutkan ke tingkat empat, masih ada ujian negara lainnya, tapi tanpa batas waktu. Peserta boleh mengikuti ujian tersebut berkali-kali.
“Hal ini membuat masa studi menjadi panjang. Kalau di swasta, tidak ada subsidi dari pemerintah, jadi biaya full dari orang tua,” ungkapnya.
Regulasi ujian negara tersebut setelah tahun 2000, saat Robert menempuh pendidikan spesialis, terjadi perubahan. dr. Charles Mesang dan dr. Tjiptaning yang merupakan alumni FK UKI, bersama alumni lain berjuang menyampaikan aspirasi, sehingga ujian negara dihapuskan.
Ujian nasional yang dulu dikenal dengan Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI), berubah menjadi Uji Kompetensi Mahasiswa Profesi Dokter Indonesia (UKMPPD). Ujian ini sekarang berlaku untuk seluruh fakultas kedokteran di Indonesia, baik negeri maupun swasta.
Negeri Juga Mahal
Robert menjelaskan, FK UKI saat ini sudah meraih akreditasi Unggul dari Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan Indonesia (LAMPTKes.), dengan rincian Program Studi Sarjana Kedokteran FK UKI dan Program Studi Profesi Dokter.
Terkait biaya kuliah, Robert mengakui bahwa setiap fakultas kedokteran memiliki besaran biaya yang bervariasi. Pada umumnya cenderung mahal, terutama di universitas swasta. Namun, menurutnya, saat ini biaya pendidikan kedokteran di perguruan tinggi negeri juga tergolong mahal.
Khususnya untuk program studi internasional, yang bahkan bisa lebih mahal dibandingkan universitas swasta. “Saya pikir, untuk wilayah Jabodetabek, kami adalah yang paling terjangkau. Sesuai dengan tujuan para pendiri FK UKI, yaitu agar masyarakat dari daerahdaerah juga bisa menempuh pendidikan di sini,” ujarnya.
Robert juga menyebutkan bahwa total biaya UKT di FK UKI berkisar antara Rp. 280 juta hingga Rp. 320 juta untuk tahun pertama. Jika seorang mahasiswa berhasil meraih peringkat pertama dalam ujiannya, maka biaya hanya sekitar 280 juta rupiah. Jika tidak berhasil masuk peringkat tersebut, biaya sekitar 320 juta rupiah. Setiap tahunnya, FK UKI menerima sekitar 150 hingga 160 mahasiswa baru.
Pencegahan Stunting
FK UKI merupakan salah satu Fakultas Kedokteran swasta tertua di Indonesia. Robert menjelaskan FK UKI didirikan pada tahun 1962, saat itu Indonesia masih kekurangan dokter, ditambah distribusi yang tidak merata.
Pendiri awalnya dokter Sinaga dan dokter Nainggolan. Dokter Sinaga pernah menjabat sebagai Menteri Kesehatan ke-5 di Era Bung Karno. Pada awal berdirinya, FK UKI dikenal sebagai pusat penanganan trauma, namun kini fokusnya telah beralih pada pencegahan stunting.
Dalam beberapa tahun terakhir, FK UKI telah menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk Pemda Sumedang, untuk menurunkan angka stunting yang dirasa cukup tinggi di wilayah tersebut.
“Ini sangat bermakna bagi kami. Mahasiswa kami dikirim ke sana dan bekerja sama dengan masyarakat setempat,” jelas Robert.
Kegiatan mahasiswa tersebut biasanya berupa kepaniteraan klinik, yang merupakan bagian dari pendidikan mereka. Mahasiswa program Sarjana Kedokteran akan melakukan praktik di sana selama kurang lebih tiga tahun.
Setelah itu, pada tingkat 5 dan 6, mereka akan melanjutkan praktik di rumah sakit dalam program profesi dokter atau kepaniteraan klinik (koas atau dokter muda). Mereka akan disebar ke berbagai bidang spesialisasi, seperti penyakit dalam, bedah, kandungan, kebidanan, dan kesehatan masyarakat.
Akreditasi Unggul
Saat ini, jumlah alumni FK UKI telah mencapai sekitar 5.500 orang yang tersebar di berbagai bidang profesi, seperti dokter, dosen, peneliti, dan politikus.
Robert menambahkan bahwa ada empat alumni UKI yang sudah menjadi profesor dan mengajar di FK UKI. Selain itu, beberapa alumni juga menjadi dosen di universitas ternama, seperti di Universitas Diponegoro dan Universitas Airlangga.
“Ada juga yang berkiprah di bidang politik, seperti dr. Charlesdan dr. Ciptaning, serta di dunia birokrasi, seperti Pak Agung Laksono. Bahkan, Alm. Ibu Ani, istri Pak SBY, juga merupakan alumni UKI,” jelasnya.
Setelah mendapat akreditasi Unggul, FK UKI memiliki target membuka program spesialis. Akreditasi tersebut tidak hanya akan membuka peluang program baru, tetapi juga memungkinkan penambahan jumlah mahasiswa baru jika fasilitas pendukungnya terpenuhi.
Robert menekankan pentingnya pemenuhan rasio dosen dan mahasiswa, misalnya, untuk pendidikan dasar kedokteran, satu dosen pembimbing harus membimbing 10 mahasiswa, sedangkan di rumah sakit, satu dosen membimbing lima mahasiswa.
Namun untuk mencapai impian tersebut, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sumber pendanaan tidak hanya berasal dari mahasiswa dan alumni, tetapi juga dari Kementerian Kesehatan dan pihak swasta. Bantuan tersebut sering kali berupa alat-alat medis,
“Pak Agung Laksono juga pernah memberikan mikroskop. Meskipun bukan berupa dana, tapi alat tersebut sangat mahal,” katanya.
Selain soal dana, kendala lain yang dihadapi adalah kurangnya jumlah dokter muda, terutama di bidang kedokteran dasar. Robert mengungkapkan bahwa mencari dosen di bidang ini sangat sulit karena harus sesuai dengan keahlian spesifik, seperti anatomi, yang membutuhkan waktu studi panjang.
Misalnya, seorang calon dosen dokter yang mengambil spesialisasi anatomi memerlukan waktu tiga tahun untuk menyelesaikan pendidikan.
Jaminan Lapangan Kerja
Robert menjelaskan bahwa peluang kerja bagi lulusan dokter di Indonesia masih terbuka luas. Berdasarkan data WHO, rasio ideal adalah satu dokter untuk melayani 1.000 penduduk. Namun, di Indonesia, rasionya baru sekitar 0,49 dokter per 1.000 penduduk, menunjukkan masih kurangnya jumlah dokter yang tersedia.
Meski demikian, masalah utama yang dihadapi adalah terkait distribusi, fasilitas, dan pemerataan tenaga medis. “Misalnya, seorang dokter telah lulus dan menjadi spesialis, tetapi jika ditempatkan di kabupaten tanpa peralatan memadai, bagaimana mereka bisa bekerja optimal,” ujarnya.
Robert menilai pemerintah harus segera terlibat dalam mengambil kebijakan untuk membantu menyelesaikan masalah ini. Langkah positif sudah diambil dengan upaya pemerintah mendorong lebih banyak universitas, baik negeri maupun swasta, untuk membuka fakultas kedokteran.
Kebijakan ini akan berdampak positif bagi daerah-daerah tersebut, karena lulusan dokter dapat langsung mengabdi di wilayah mereka tanpa perlu mendatangkan dokter dari Pulau Jawa yang kemudian dipindahkan ke luar pulau.
“Misalnya, kalau fakultas kedokteran dibangun di Nusa Tenggara Barat atau Papua, adaptasi dan sosialisasinya akan lebih mudah,” tambahnya.
Lebih lanjut, Robert menjelaskan bahwa FK UKI telah menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah, untuk menjamin tersedianya lapangan kerja bagi lulusan dokter, terutama di daerah tertinggal dan terluar, seperti Papua, Merauke, dan Halmahera Utara.
FK UKI merupakan salah satu pelopor fakultas kedokteran swasta di Indonesia. Mencerminkan miniatur Indonesia, karena terdapat keberagaman suku, agama, dan ras, yang mencakup dosen dan mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia, mulai dari Sabang hingga Merauke.
Dr. dr. Robert Hotman Sirait, Sp.An merupakan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (UKI). Menyelesaikan pendidikan S1 Dokter umum di Universitas Kristen Indonesia (UKI) pada tahun 1989. Melanjutkan Magister Pendidikan Anastesiologi di Fakultas Kedokteran Unpad Bandung. Mengambil S3 di Fakultas Kedokteran Unhas Makassar.
Mengawali karier sebagai dokter umum di Puskesmas Samboja, Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur kurang lebih tiga setengah tahun. Tahun 2002 kembali ke UKI menjadi dosen, dan tahun 2018 dipercaya menjadi Dekan Fakultas Kedokteran sampai saat ini.