Berkarir sejak 26 tahun lalu di IDI, pernah menjadi Wakil Ketua IDI Kota Depok, Wakil Ketua IDI Wilayah Jawa Barat, Ketua IDI Wilayah DKI Jakarta, hingga Sekjen PB IDI sebelum akhirnya menjadi Ketua Umum.
Pernah menjadi direktur utama rumah sakit Islam Pondok Kopi Jakarta dan saat ini masih menjadi Direktur Utama PT Larsi Mentari Medika, juga menjadi wakil ketua MPKU, pengurus pusat Muhammadiyah dan ketua Asosiasi Rumah Sakit Asyiyah Muhammadiyah.
Dr. dr. Slamet Budiarto, SH, MH.Kes, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) 2025-2028 menegaskan, bahwa organisasi profesi dokter harus tetap berperan dalam menjaga kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, termasuk perubahan regulasi dan keterbatasan anggaran, IDI akan terus berjuang demi kesejahteraan dokter dan kesehatan masyarakat. Baginya, menjadi dokter bukan sekadar profesi, tetapi juga panggilan untuk mengabdi dan memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi bangsa.
Ke depan, menurutnya IDI berharap ada perbaikan dalam sistem pendidikan dokter, distribusi tenaga medis, dan kebijakan BPJS Kesehatan agar pelayanan kesehatan di Indonesia bisa lebih merata dan berkualitas.
Dengan kolaborasi yang baik antara pemerintah dan organisasi profesi, diharapkan sistem kesehatan nasional dapat terus berkembang demi kesejahteraan masyarakat.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) didirikan pada tahun 1950, atas perintah Presiden Soekarno untuk menjaga ketahanan nasional di bidang kesehatan. Salah satu pendiri IDI adalah Mayjen Soeharto, dokter kepresidenan Bung Karno yang kemudian menjadi pahlawan nasional.
Kini, IDI telah berusia 75 tahun dengan tiga tujuan utama, yaitu mengabdi kepada masyarakat, mengelola anggotanya, dan membantu negara dalam menjaga kesehatan nasional.
Dalam perjalanannya, IDI telah menunjukkan kontribusi nyata, seperti dalam penanganan pandemi COVID-19. Organisasi ini all out mendukung pemerintah dalam memerangi pandemi, menunjukkan dedikasi mereka terhadap kesehatan masyarakat.
Uji Materi UU 17/2023
Slamet Budiarto mengtaakan saat ini IDI mengajukan uji materi Undang-Undang Kesehatan No. 17/2023 ke Mahkamah Konstitusi teerkait dengan. Alasan utama IDI melakukan uji materi adalah adanya keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2015 yang menyatakan bahwa aturan kedokteran tidak boleh digabung dengan profesi lain.
Namun, dalam UU 17/2023, dokter disamakan dengan tenaga medis lainnya, termasuk tenaga kesehatan tradisional. Hal ini dianggap bertentangan dengan standar internasional, di mana organisasi kedokteran selalu berdiri sendiri.
Selain itu, UU Kesehatan juga menghilangkan kewenangan IDI dalam mengatur etika profesi dan disiplin dokter. Sebelumnya, IDI memiliki peran memberikan rekomendasi izin praktik. Kini, hal tersebut dihapuskan, yang berpotensi menurunkan standar etika dan kompetensi dokter.
Dampak dari pengaturan UU Kesehatan yang baru, masyarakat bisa terkena dampak pada praktikpraktik dokter yang tanda kutip dicurigai melanggar etik, tidak kompeten. Karena dulu sebelum mengurus izin praktik itu ada rekomendasi izin praktek yang dikeluarkan oleh IDI.
IDI masih bisa memberikan rekomendasi, tetapi tanpa sanksi yang mengikat, dokter yang melanggar etika tetap bisa berpraktik tanpa konsekuensi. Hal ini berpotensi membahayakan masyarakat, terutama dengan maraknya praktik medis yang tidak sesuai standar, termasuk iklan medis yang tidak berbasis bukti ilmiah.
Organisasi Tunggal
Slamet menyoroti bahwa organisasi profesi seharusnya bersifat tunggal, sebagaimana yang diterapkan dalam World’s Medical Association, karena memiliki peran dalam menjaga kompetensi dokter.
Di seluruh dunia, organisasi profesi medis bertanggung jawab terhadap atas standar kompetensi anggotanya. Ada 38 perhimpunan spesialis di bawah IDI, kemudian ada sekitar 50 kolegium dan juga ada sekretariat bersama profesi lain dengan perawat, bidan, apoteker, dokter gigi, yang bisa terpinggirkan.
‘’Pada saat Muktamar IDI kan kita mengundang Pak Yusril, beliau menyatakan bahwa Ormas silakan memiliki 5-10 wadah yang sama, tapi namanya organisasi profesi harus satu, karena itu menyangkut disiplin dan etik untuk masyarakat,’’ tambahnya.
Hal yang diminta uji materi di MK menurut Dr. Slamet, targetnya hanya menyangkut pasal-pasal yang berkaitan dengan dokter saja karena di UU Kesehatan itu juga banyak mengatur profesi kesehatan yang lain, seperti perawat, bidan dll. Organisasinya juga harus dipisahkan karena di dunia mana pun organisasi juga sendiri-sendiri.
Anggaran Minimal
Slamet juga mengatakan dalam UU 17/2023, mandatory spending untuk kesehtan dihilangkan. Di undang-undang kesehatan sebelumnya tahun 2009, pemerintah pusat minimal 5% harus menganggarkan untuk kesehatan, pemerintah daerah minimal 10%.
WHO bahkan menyatakan minimal anggaran kesehatan itu 15% dari APBN, “Saat ini hilang, padahal itu perintah TAP MPR. Pada saat itu kok kompak semua seluruh fraksi di DPR setuju”,katanya.
Karenanya di era kepemimpinan dr. Slamet, IDI akan lebih aktif dalam advokasi kebijakan kesehatan, termasuk memperjuangkan anggaran kesehatan minimal 10-15% dari APBN.
Karena telah dihilangkan fungsi pengawasan terhadap profesi dan etik pada UU Kesehatan yang baru, maka yang bisa dilakukan IDI sekarang hanya sampai pada tataran advokasi, baik advokasi kesejahteraan, terhadap masyarakat atau pengabdian sosial dan lain-lain.
IDI akan membuka link kepada masyarakat terkait informasi kesehatan. Misalnya akan ada wabah penyakit apa, IDI akan merilis dulu sebagai warning kepada masyarakat. Untuk perlindungan anggota dan masyarakat IDI akan membentuk lembaga batuan hukum (LBH) IDI.
‘’Juga di bidang pendidikan, kita advokasi juga Kemendikti. Mengingatkan sekarang pendirian Fakultas Kedokteran luar biasa banyak dan itu penjaminan mutunya nanti bisa dipertanyakan,’’ jelasnya.
Tantangan SDM Kesehatan
Berbicara mengenai kebutuhan dokter, IDI menyoroti perbedaan perhitungan antara Kementerian Kesehatan dan IDI sendiri. Kementerian Kesehatan menghitung rasio kebutuhan dokter berdasarkan angka 1 dokter untuk 1.000 penduduk.
Namun, IDI menilai angka tersebut tidak sesuai dengan kondisi geografis Indonesia. Di daerah terpencil, kebutuhan dokter lebih besar dibandingkan di perkotaan. IDI sudah menghitung bahwa kurang lebih satu dokter melayani 3.000 sampai 5.000.
Kementerian Kesehatan menghitung kalau satu dokter banding 1.000, angka kesakitan 1.000 penduduk 10%. Jadi setiap komunitas 1.000 orang 10% tiap bulan sakit, artinya 100, ditangani oleh satu dokter, jadi satu dokter sehari cuma 4 orang.
“Padahal perhitungan IDI, sesuai 8 jam kerja, seorang dokter melayani 30 orang. Di Eropa rata-rata dokter melayani antara 20 sampai 30 pasien, per hari,” katanya.
Selain itu, IDI mencatat bahwa meskipun pemerintah menyatakan kekurangan dokter, hanya 18% lulusan dokter yang diserap oleh pemerintah. IDI menilai yang sebenarnya dibutuhkan adalah dokter spesialis, bukan dokter umum. Penyebaran dokter spesialis di daerah terpencil masih menjadi tantangan besar karena kurangnya insentif dan jaminan kesejahteraan.
Pendidikan Kedokteran
Terkait pendidikan kedokteran, IDI mengusulkan agar sistem pendidikan dokter spesialis lebih efisien. Daripada memulai program baru dari nol, lebih baik meningkatkan kuota di Fakultas Kedokteran yang sudah ada.
Kalau pemerintah memang betul-betul mau memenuhi kebutuhan dokter cukup Rp. 1 Triliun setahun, itu selesai 1.000 dokter spesialias. Karena tidak semua Kabupaten kurang dokter speasialisnya.
Namun kalau dokter itu kalau tidak diberikan hak-haknya, perlindungan, keamanan, kesejahteraan, pasti tidak ada minat “Kecuali mereka yang dibiayai oleh negara melalui tugas belajar beasiswa,‘’ katanya.
IDI juga menekankan pentingnya perlindungan hak dokter residen. Saat ini, dokter residen bekerja hingga 80 jam per minggu tanpa kompensasi yang layak, berbeda dengan standar di Eropa yang membatasi kerja maksimal 50 jam per minggu. IDI akan mengadvokasi hal ini hingga ke Komnas HAM.
Kemudian honorarium residen harus ada, selayaknya mendapatkan jasa medik insentif. Demikian juga soal dokter koas, karena mahasiswa kalau hari libur juga harusnya libur, dia bukan pemberi pelayanan, beda dengan residen yang pemberi pelayanan.