Dr. dr. Budi Laksono, M.HSc. - Pakar dan Relawan Bencana (image: Radar Semarang)

Dokter Jamban Jadi Tukang Banyak Membangun Huntara – Oleh Dr. dr. Budi Laksono, M.HSc.

Share

Awal ketertarikan menjadi relawan bencana berakar dari passion yang mendalam. Sejak muda, ia telah menjadi anggota Palang Merah dan aktif dalam kegiatan donor darah. Ia selalu merasa bahwa menjadi orang yang berguna bagi orang lain adalah bagian dari ajaran agama yang sangat fundamental.

Sebagai seorang dokter, merasa bahwa profesinya memberikan kesempatan lebih untuk mengekspresikan passion-nya dalam membantu sesama. Ketika terjadi bencana, banyak orang yang memerlukan bantuan, baik dari segi medis maupun dukungan moral.

Dalam situasi seperti itu, kehadiran tenaga medis sangat dibutuhkan untuk memberikan pertolongan yang tepat. Ia menyadari bahwa tidak semua orang memahami tentang kebencanaan dan bagaimana cara menghadapinya.

Banyak pemangku kebijakan yang tidak berada di tengah-tengah masyarakat saat bencana terjadi. Mereka biasanya berada di tempat yang aman, sehingga tidak merasakan langsung kebutuhan fundamental masyarakat.

Dengan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki, ia berusaha untuk memberikan edukasi dan informasi yang diperlukan agar masyarakat lebih siap menghadapi bencana.

“Ilmu kebencanaan itu sebenarnya sangat mudah, tetapi tidak semua orang tahu. Di sinilah kami berkesempatan untuk berbagi,” tambahnya.

Keluarga Relawan
Jauh sebelum pandemi Covid-19 menyita perhatian dunia, Dr. Budi Laksono telah bertahuntahun mengabdikan diri sebagai relawan bencana, sejak awal tahun 2000-an. Berpengalaman mulai dari tsunami Aceh, gempa Yogyakarta, gempa dan tsunami Palu, badai NTT, gempa Lombok, letusan Semeru, dan lain lain.

Jejak langkahnya terpatri dalam upaya penyelamatan dan pemulihan korban bencana. Tak hanya di dalam negeri, kiprahnya bahkan melampaui batas, menjangkau negara-negara seperti Thailand, Filipina, dan Mesir.

Kini, meski telah memasuki masa pensiun dini, semangatnya tak pernah padam, bahkan ia masih menyimpan harapan untuk suatu hari dapat berkontribusi di Palestina. Bukan hanya bencana alam, juga aktif menangani bencana Kesehatan, yang disebabkan karena ketiadaan jamban yang memadai.

Saking getolnya promosi dan membangun ribuan jamban di seluruh Indonesia, ia bahkan dikenal sebagai Dokter Jamban. Semangat kemanusiaan ternyata juga menular kepada keluarganya.

“Istri dan anak-anak saya turutserta dalam tim relawan,” tuturnya.

Jenis Bantuan
Menurut Budi, penentuan daerah yang membutuhkan bantuan tidaklah sembarangan. Ada pertimbangan pribadi setiap kali bencana terjadi dan berusaha untuk berbagi ilmu yang dimiliki.

Meskipun tidak memiliki dana yang melimpah atau dukungan organisasi yang kuat, ia merasa terpanggil untuk membantu ketikamelihat banyaknya korban dan
masyarakat yang terdampak.

Contoh konkret. kasus di Sukabumi meskipun jumlah korbannya lebih sedikit, tetapi luasannya cukup besar dan banyak masyarakat yang terdampak. Penilaian terhadap kebutuhan bantuan tidak hanya berdasarkan jumlah korban, tetapi juga luasnya dampak yang dirasakan oleh masyarakat.

Ia menekankan pentingnya teknologi tepat guna yang telah mereka kembangkan selama bertahun-tahun untuk membantu. Dr. Budi memiliki lebih dari 25 teknologi tepat guna yang diciptakan berdasarkan pengalaman di lapangan.

“Sekarang, kami implementasikan sebagai pilot project di daerah yang membutuhkan,” katanya.

Huntara
Menurut Budi, hunian sementara (huntara) bukan hanya sekadar tempat tinggal, tetapi juga merupakan fondasi bagi kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang terdampak bencana. Banyak orang sering kali mengabaikan kebutuhan dasar hunian setelah bencana.

Ketika rumah hancur, huntara menjadi awal dari kehidupan keluarga untuk memulai kembali kehidupannya. Huntara harus segera disediakan, bukan hanya sebagai fase darurat, tetapi sebagai langkah penting untuk memulihkan kehidupan masyarakat.

Pengalamannya selama bertahun-tahun di lapangan, termasuk di Aceh, Lombok, dan Palu, menunjukkan bahwa tinggal di tenda dalam waktu lama adalah kondisi yang tidak manusiawi. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa hunian sementara harus menjadi prioritas.

Salah satu tantangan utama dalam penyediaan hunian sementara adalah biaya yang tinggi. Banyak proyek hunian sementara yang memerlukan anggaran besar, sering kali mencapai ratusan juta rupiah.

“Dengan pendekatan yang tepat, hunian sementara dapat dibangun dengan biaya yang jauh lebih rendah,” katanya.

Enam Jam Siap
Di Aceh, ia mengembangkan konsep hunian sementara yang dapat dibangun dalam waktu enam jam dengan biaya tidak lebih dari Rp. 6 juta. Beberapa hunian yang dibangun di Aceh dan Lombok masih berdiri kokoh hingga saat ini, meskipun telah beberapa tahun berlalu.

Ini menunjukkan bahwa hunian sementara bisa cepat, murah, dan dibangun oleh masyarakat sendiri. Di negara lain, seperti China, hunian sementara sudah bisa dipasang dengan cepat setelah bencana.

“Kita perlu belajar dari pengalaman tersebut dan menerapkan teknologi yang tepat guna di sini,” katanya.

Walau banyak tantangan yang dihadapi, respon masyarakat terhadap upaya penanganan bencana cukup positif. Budi menceritakan pengalamannya saat berangkat ke Pekalongan di lokasi tanah longsor Petungkriyono, akhir Januari 2025, dengan modal terbatas.

Bermodalkan beberapa juta untuk membuat satu pilot huntara. Namun, ketika berangkat, banyak teman yang menawarkan bantuan, sehingga bisa membuat lebih dari yang direncanakan. Keterlibatan masyarakat dalam penanganan bencana sangat penting, terutama dalam hal pengetahuan dan waktu.

Ia mengakui bahwa saat ini, semakin langka orang-orang yang memiliki pengetahuan dan mau meluangkan waktu untuk membantu di lokasi bencana

“Meskipun menghadapi keterbatasan, kami tetap berkomitmen untuk memberikan yang terbaik,” katanya.

Kesiapan Relawan
Menurut Dokter Budi, banyak relawan yang perlu di-upgrade pengetahuannya agar lebih efektif dan efisien dalam membantu masyarakat. Dengan pengetahuan yang lebih baik, lembaga-lembaga yang mengirim relawan dapat menggunakan dana mereka dengan lebih bijak dan memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat yang membutuhkan.

Saat menghadapi situasi darurat, misalnya ketika longsor terjadi relawan terpaksa tidur di mobil meskipun menyewa penginapan. Penginapan dimanfaatkan hanya untuk keperluan toilet. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya situasi yang dihadapi oleh para relawan dan masyarakat di daerah tersebut.

Yayasan Wahana Bakti yang dipimpin Budi, memiliki pendekatan yang terstruktur dalam penanganan bencana. Setiap kali turun ke lapangan, yayasan ini memiliki konsep yang jelas tentang apa yang akan dilakukan. Yayasan berkomitmen untuk transparan dalam penggunaan dana bantuan, dengan prinsip “berangkat Zero pulang Zero”.

Dalam menghadapi tantangan tersebut, ia dan timnya menerapkan konsep yang disebut Simes, atau Small Independent Mobile Emergency Health Service. Konsep ini bertujuan untuk menjangkau daerah-daerah yang terkena bencana dengan cara yang lebih efisien.

Meskipun saat ini terdapat banyak tim seperti Tim SAR, BPBD, dan tim sosial, seringkali mereka tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk menangani berbagai aspek dalam penanggulangan bencana.

“Kita perlu membentuk tim yang lebih terintegrasi, yang mampu menyediakan air bersih, sanitasi, makanan, dan rehabilitasi,” tambahnya.

Dr. dr. Budi Laksono, M.HSc. sendiri adalah seorang dosen aparatur sipil negara (ASN) yang sudah pension dini, lahir di Semarang 6 Maret 1963.  Menyelesaikan S1 dan program S3 di FK Universitas Diponegoro (Undip). Program master kesehatan reproduksi di Queensland University Australia.

Sering menjadi relawan bencana, juga mengajar di Ilmu Kebencanaan Universitas Diponegoro (Undip). Selain praktik sebagai wujud keprofesiannya, kesibukan lainnya yaitu membina Yayasan Wahana Bakti.

Tonton Video Selengkapnya

Artikel Terkait

Scroll to Top