Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D
Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D, Direktur Utama BPJS Kesehatan

Ali Ghufron Mukti: BPJS Kesehatan Seperti Miniatur Negara Urus 98 Persen Penduduk

Share

Direktur Utama BPJS Kesehatan, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D, dalam wawancaranya dengan pemimpin redaksi majalah Kesehatan Indonesia, 8 Januari 2025, mengatakan pada tahun 2024, BPJS Kesehatan mencatatkan pencapaian luar biasa dalam upaya mencapai Universal Health Coverage (UHC) di Indonesia.

Dalam waktu hanya 10 tahun, Indonesia berhasil mencakup lebih dari 98% penduduknya, atau sekitar 278 juta orang, menjadikannya sebagai salah satu negara tercepat di dunia dalam mencapai target ini. Penghargaan dari International Social Security Association (ISA) yang diberikan kepada pemerintah Indonesia pada Agustus 2024 menjadi bukti nyata dari keberhasilan ini.

Meskipun demikian, tantangan tetap ada, terutama dalam memastikan bahwa nilai-nilai kebangsaan seperti gotong royong dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat, tidak hanya melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS. Transformasi mutu layanan kesehatan juga terus dilakukan, dengan fokus pada kemudahan, kecepatan, dan kesetaraan, walau masih terdapat beberapa kendala yang perlu diatasi. Di tengah berbagai isu politik yang muncul, BPJS Kesehatan tetap berkomitmen untuk meningkatkan kualitas layanan demi kesejahteraan rakyat.

Menurut Ali Ghufron, peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap layanan kesehatan telah menyebabkan lonjakan signifikan dalam utilisasi. Dari hanya 252.000 kunjungan per hari saat didirikan menjadi minimal 1,7 juta kunjungan per hari saat ini.

Lonjakan ini, yang terjadi di tengah pemulihan pasca-pandemi COVID-19, memicu kebutuhan untuk menyesuaikan anggaran. Meskipun ada kekhawatiran terkait defisit, BPJS Kesehatan menegaskan bahwa aset netto telah mencapai Rp 52 triliun pada awal 2025.

“Maka dapat dipastikan tidak akan ada gagal bayar dalam program jaminan sosial ini untuk tahun 2025,” katanya.

Desfisit Anggaran
Menurut Ali Ghufron, wacana mengenai defisit anggaran BPJS Kesehatan sebesar Rp 20 triliun muncul akibat perhitungan yang mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk dampak ekonomi dari pemutusan hubungan kerja (PHK) di banyak perusahaan dan penurunan kelas menengah. Meskipun ada kekhawatiran tentang keseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran, pihak BPJS Kesehatan menegaskan bahwa telah melakukan penyesuaian iuran dan meningkatkan efisiensi operasional.

Peningkatan produktivitas pegawai yang kini bekerja hampir dua kali lipat dari sebelumnya, BPJS Kesehatan berhasil mencatatkan surplus. Meskipun proyeksi pengeluaran untuk tahun 2024 diperkirakan mencapai Rp 175 triliun, sementara pemasukan diperkirakan sekitar Rp. 160 triliun. Selisih sekitar 15 triliun, klaim defisit 20 triliun dianggap tidak akurat.

BPJS Kesehatan telah menyusun berbagai strategi dan skenario untuk menghadapi potensi masalah di masa depan. Salah satu isu yang baru-baru ini mengemuka adalah kebijakan pajak yang berpotensi mempengaruhi pengumpulan dana, ketidakpastian mengenai tarif pajak 12% dapat berdampak pada pendapatan yang diharapkan.

“Situasi terus berubah, BPJS Kesehatan menekankan pentingnya pengambilan keputusan yang tepat dan responsif untuk memastikan keberlangsungan layanan kesehatan bagi masyarakat,” katanya.

Universal Health Coverage (UHC)

BPJS Kesehatan memiliki struktur pembiayaan yang kompleks, terdiri dari berbagai sumber dana, termasuk iuran sukarela, subsidi pemerintah, dan kontribusi dari pemerintah daerah. Peserta BPJS dibagi menjadi beberapa kategori, salah satunya adalah Penerima Bantuan Iuran (PBI), yang jumlahnya mencapai 96,8 juta orang dan dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Selain itu, terdapat juga peserta Bukan Penerima Upah (PBPU), yang mencakup pekerja di sektor informal dan mereka yang dibiayai oleh pemerintah daerah untuk mencapai Universal Health Coverage (UHC). Dalam konteks ini, pemerintah daerah berperan penting dalam memastikan bahwa masyarakat yang belum terdaftar sebagai peserta, meskipun mampu, tetap mendapatkan akses layanan kesehatan.

Secara internasional, pembiayaan kesehatan dapat dibedakan menjadi berbasis pajak dan berbasis kontribusi. Indonesia menerapkan sistem berbasis kontribusi, di mana pekerja di sektor formal dan non-pegawai negeri membayar premi, dengan perusahaan menanggung 4 persen dan pekerja 1 persen. Keberlanjutan BPJS Kesehatan sangat bergantung pada kebijakan yang tepat dan dukungan dari berbagai pihak.

Salah satu potensi masalah yang dihadapi BPJS Kesehatan adalah peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) yang berasal dari sektor informal, seperti petani, yang memiliki ketidakpastian dalam pembayaran iuran. Menurutnya, untuk meningkatkan kepastian dalam pembiayaan, pemerintah sebaiknya mempertimbangkan untuk memberikan subsidi langsung kepada kelompok ini. Meskipun jumlah peserta PBI mencapai 96,8 juta orang, kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan masih perlu ditingkatkan.

Banyak orang masih menganggap kesehatan bukan sebagai prioritas utama, terlihat dari perilaku konsumsi yang lebih memilih untuk mengeluarkan uang untuk rokok, misalnya, yang bisa mencapai 500 ribu rupiah per bulan, dibandingkan dengan iuran BPJS yang hanya Rp 42 ribu rupiah. Hal ini menunjukkan perlunya upaya edukasi untuk mengubah pandangan masyarakat agar lebih menghargai kesehatan sebagai investasi jangka panjang.

Menurut Ali Ghofron, meskipun BPJS Kesehatan tidak secara langsung mendapatkan dana dari penjualan rokok, terdapat kontribusi melalui pajak daerah yang dikenakan pada produk tembakau, yaitu pajak cukai. Di beberapa daerah, pajak cukai ini dapat mencapai sekitar 37,5 persen, meskipun produksi rokok tidak merata di seluruh wilayah.

“Walaupun ada aliran dana dari pajak cukai rokok, jumlahnya tidak cukup signifikan untuk secara langsung mendukung pembiayaan BPJS Kesehatan, yang lebih bergantung pada iuran peserta dan subsidi pemerintah,” katanya.

Dana APBN
Dinamika bantuan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tidak dianggap sebagai masalah serius bagi BPJS Kesehatan. Menurut Ali Ghufron, masalah utama yang mungkin muncul adalah penyesuaian anggaran yang disebabkan oleh kesulitan keuangan, di tahun 2025.

Namun, jika tidak ada penyesuaian yang diperlukan, BPJS Kesehatan dipastikan akan tetap stabil dan tidak akan mengalami masalah serius terkait pembiayaan. BPJS menegaskan bahwa mampu memenuhi kewajiban pembayaran hingga tahun 2025, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir dalam program jaminan kesehatan.

Dalam upaya meningkatkan efektivitas program jaminan kesehatan, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 menggarisbawahi pentingnya penyesuaian tarif dan iuran BPJS Kesehatan. Penyesuaian ini akan dilakukan dengan evaluasi menyeluruh terhadap manfaat yang diterima peserta, besaran iuran yang dibayarkan oleh masyarakat, serta tarif yang dibayar oleh BPJS kepada fasilitas kesehatan. Kementerian Kesehatan akan memimpin proses ini untuk memastikan bahwa semua aspek tersebut saling mendukung dan memberikan manfaat optimal bagi masyarakat.

Menurut Ali Ghufron, BPJS Kesehatan menekankan pentingnya pendekatan preventif dalam program kesehatan, meskipun banyak masyarakat yang belum sepenuhnya memahami peran BPJS dalam hal ini. Sebagai lembaga yang fokus pada sisi permintaan, BPJS tidak terlibat dalam penyediaan fasilitas kesehatan atau penempatan dokter. Tugas BPJS adalah memastikan aksesibilitas layanan kesehatan bagi individu, bukan mengelola fasilitas kesehatan.

Dalam konteks upaya kesehatan masyarakat (UKM), BPJS berfokus pada Usaha Kesehatan Perorangan (UKP), yang mencakup promosi, pencegahan, kurasi, dan rehabilitasi. Melalui platform digital seperti Mobile JKN, BPJS menyediakan layanan screening yang cost-effective, di mana peserta dapat menjawab pertanyaan terkait kesehatan mereka. Dari 278 juta peserta, baru 39 juta yang berpartisipasi dalam screening ini.

“BPJS dapat mengidentifikasi potensi masalah kesehatan, seperti diabetes, dan merekomendasikan pemeriksaan lebih lanjut hanya jika diperlukan, sehingga mengoptimalkan penggunaan sumber daya dan meningkatkan kesadaran kesehatan masyarakat secara keseluruhan,” katanya. (*) Usman

BPJS Kesehatan

Terpaksa Memutus Kerjasama

Prof. dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D mengatakan ketegasan BPJS Kesehatan dalam memutus kerjasama dengan beberapa rumah sakit terpaksa diambil. Menurutnya, pemutusan kerjasama ini biasanya disebabkan oleh pelanggaran yang dilakukan oleh rumah sakit, meskipun hal ini tidak dapat digeneralisasi.

BPJS Kesehatan kini lebih tegas dalam menegakkan aturan. Kasus pemutusan kerjasama antara BPJS Kesehatan dan rumah sakit terjadi dengan frekuensi yang cukup signifikan, meskipun tidak dalam jumlah yang sangat besar. Pihak BPJS biasanya memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum memutuskan kerjasama, dan dalam beberapa kasus, rumah sakit yang bermasalah dapat tetap beroperasi tanpa kontrak kerjasama baru selama satu tahun atau lebih.

Selama periode ini, BPJS memastikan bahwa peserta yang terdaftar tetap mendapatkan akses ke layanan kesehatan yang diperlukan. Jika ada perubahan, seperti dalam kasus cuci darah, pasien akan diberitahu mengenai fasilitas kesehatan alternatif yang dapat digunakan. BPJS berupaya meminimalkan dampak negatif terhadap pasien yang mungkin terpengaruh oleh pemutusan kerjasama tersebut.

BPJS Kesehatan membuka peluang untuk memulihkan kerjasama dengan rumah sakit yang sebelumnya diputus, asalkan masalah yang dihadapi diselesaikan dengan baik. Meskipun banyak rumah sakit yang memberikan pelayanan berkualitas, masih ada oknum yang melakukan penipuan, seperti mengklaim pasien yang tidak terdaftar atau melakukan klaim fiktif, yang dapat merugikan hingga miliaran rupiah.

Koreksi dan Evaluasi
Keluhan dari rumah sakit mengenai lamanya proses koreksi atau evaluasi pendanaan oleh BPJS Kesehatan menjadi sorotan penting, terutama ketika kasus yang dievaluasi sudah berlangsung bertahun-tahun, bahkan hingga pasien meninggal. Menurut Ali Ghufron, ada dua jenis evaluasi yang dilakukan BPJS yaitu berada dalam kewenangan BPJS dan yang di luar wewenangnya.

Evaluasi yang tidak dalam kewenangan BPJS, misalnya audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dapat berlangsung tanpa batasan waktu dan sering kali dilakukan setelah kejadian, yang dikenal sebagai pos audit. Proses ini bisa memakan waktu hingga tiga tahun, sementara dana yang seharusnya digunakan untuk perawatan pasien sudah dibagi-bagi oleh rumah sakit.

BPJS Kesehatan menerapkan tiga jenis evaluasi yaitu prospective review, current review, dan retrospective review. Meskipun BPJS berusaha untuk tidak membiarkan evaluasi lebih dari satu tahun, tantangan tetap ada karena sifat pos audit yang harus dilakukan setelah perawatan. Hal ini menuntut rumah sakit untuk lebih bijak dalam mengelola dana yang diterima, dengan menyisihkan sebagian untuk menghadapi kemungkinan koreksi di masa depan.

Proses evaluasi dan koreksi pendanaan BPJS Kesehatan memberikan pembelajaran penting bagi rumah sakit mengenai tanggung jawab dalam pengelolaan dana publik. Meskipun ada beberapa rumah sakit yang tidak menerima perubahan ini, banyak yang mulai menyadari bahwa dana yang mereka kelola adalah uang publik yang harus dipertanggungjawabkan.

Dalam hal ini, BPJS Kesehatan mendorong kolaborasi antara rumah sakit dan dokter untuk menyelesaikan setiap sengketa yang muncul melalui tim kendali mutu dan biaya. Di tingkat pusat, terdapat juga upaya pencegahan kecurangan yang melibatkan berbagai lembaga seperti BPKP, KPK, dan Kementerian Kesehatan.

Meskipun rumah sakit sering kali berharap untuk mendapatkan pembayaran lebih, tetapi penting untuk memahami bahwa setiap klaim harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jika terjadi sengketa, penanganannya dilakukan oleh pihak di luar BPJS.

“Rumah sakit diharapkan dapat beradaptasi dan meningkatkan transparansi dalam pengelolaan dana untuk menjaga kepercayaan publik,” katanya.

 

Kembangkan Program Masyarakat Peduli

Selain mengandalkan iuran dan dukungan pemerintah, BPJS Kesehatan juga mengembangkan inovasi pendanaan melalui program Masyarakat Peduli Jaminan Kesehatan Masyarakat (JKM).

Program ini bertujuan untuk membantu individu yang mengalami kesulitan dalam membayar iuran atau yang menunggak, dengan melibatkan pihak-pihak yang memiliki jiwa altruistik, seperti individu kaya atau perusahaan.

Melalui kerjasama ini, mereka dapat memilih untuk membayar iuran bagi orang-orang yang membutuhkan di sekitar mereka, misalnya melalui program Corporate Social Responsibility (CSR). Selain itu, yayasan dan pengelola zakat nasional, seperti Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), juga berperan dalam mendukung pendanaan ini.

Menurut Ali Ghufron, walaupun program Masyarakat Peduli Jaminan Kesehatan Masyarakat (JKM) telah berhasil mengumpulkan miliaran rupiah, jumlah tersebut masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang membutuhkan bantuan. Banyak individu yang lebih memilih untuk tidak membayar iuran BPJS Kesehatan, meskipun mereka tidak ragu untuk mengeluarkan uang untuk kebiasaan yang merugikan kesehatan.

Hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam prioritas pengeluaran masyarakat, di mana mereka lebih memilih untuk menghabiskan uang untuk hal-hal yang merusak kesehatan daripada untuk menjaga kesehatan mereka sendiri.

Edukasi kesehatan menjadi kunci dalam meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan dan berpartisipasi dalam program BPJS Kesehatan. Banyak individu yang tidak memprioritaskan kesehatan hingga mengalami masalah serius. Contohnya, seorang pasien yang sebelumnya terdaftar di kelas 1 BPJS Kesehatan, tiba-tiba beralih ke kelas 3 setelah mengalami sakit, hal itu menunjukkan kurangnya perhatian terhadap kesehatan diri.

Hal ini diperparah dengan fenomena masyarakat baru menyadari pentingnya asuransi kesehatan setelah mereka sakit, sering kali terlambat untuk mendapatkan manfaat yang diperlukan.

Masyarakat cenderung mengabaikan pendaftaran BPJS hingga mereka benar-benar membutuhkan. Oleh karena itu, upaya edukasi yang lebih intensif diperlukan untuk mengubah pola pikir ini dan mendorong masyarakat untuk lebih proaktif dalam menjaga kesehatan mereka.

Lembaga Non Profit
BPJS Kesehatan beroperasi sebagai lembaga non profit yang berarti tidak mencari keuntungan, tetapi berupaya untuk mencapai surplus dalam pengelolaannya. Meskipun pernah mengalami defisit, saat ini BPJS Kesehatan berhasil mencatat surplus dan tetap dalam kondisi keuangan yang sehat. Namun, tantangan besar tetap ada, terutama dengan meningkatnya harapan hidup masyarakat Indonesia yang kini mencapai 73,7 tahun.

Seiring bertambahnya usia, menurut Ali Ghufron risiko penyakit kronis seperti kolesterol dan jantung meningkat, yang berpotensi menyebabkan biaya perawatan kesehatan yang lebih tinggi di masa depan. Dalam menghadapi transisi epidemiologis ini, BPJS Kesehatan berfokus pada promosi dan pencegahan kesehatan, termasuk melalui program screening yang kini telah diperluas menjadi 14 jenis, bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan.

Meskipun sering kali terdengar bahwa BPJS Kesehatan menghadapi banyak dispute dalam pelayanannya, kenyataannya hanya sekitar 5 persen dari total klaim yang mengalami sengketa. Menurutnya, sebelumnya angka dispute bahkan tidak mencapai 1 persen, menunjukkan bahwa mayoritas layanan berjalan lancar tanpa masalah.

Trasnparansi dan Komunikasi
Transparansi dan komunikasi yang efektif menjadi tantangan besar bagi BPJS Kesehatan dalam mengelola layanan kesehatan di seluruh Indonesia. Banyak staf dan kolega di rumah sakit yang belum sepenuhnya memahami prosedur dan kebijakan BPJS, hal ini penting untuk mengurangi kesalahpahaman. Contohnya, ada anggapan bahwa pasien harus pulang setelah tiga hari perawatan, padahal ini merupakan inovasi yang berkaitan dengan alokasi dana.

BPJS Kesehatan membayar sesuai dengan unit cost yang ditetapkan, namun sering kali tidak ada protes terkait biaya yang lebih tinggi, melainkan keluhan muncul ketika layanan dianggap kurang. Oleh karena itu, BPJS Kesehatan berkomitmen untuk mengelola peserta selama satu tahun dan memastikan rumah sakit tidak mengalami defisit. Jika ada indikasi defisit, BPJS akan melakukan evaluasi untuk mencari tahu penyebabnya.

Ali Ghufron mengatakan, BPJS Kesehatan dinilai telah berada di jalur yang tepat dalam memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat. Sistem ini sudah cukup baik, terutama jika dibandingkan dengan sistem kesehatan di Amerika Serikat, yang masih terdapat sekitar 30 juta penduduk yang belum tercover. Dalam waktu sepuluh tahun, Indonesia berhasil mencakup hampir seluruh warganya, dengan kurang dari 5 juta orang yang belum terdaftar. Keunggulan BPJS Kesehatan terletak pada sistem terintegrasi yang memungkinkan akses informasi kesehatan secara cepat dan efisien.

Misalnya, seorang pasien yang berobat di Semarang dapat dengan mudah diakses datanya oleh dokter di Jakarta, asalkan ada izin. Hal ini menunjukkan bahwa sistem kesehatan Indonesia, meskipun belum sepenuhnya menerapkan transformasi digital, sudah lebih canggih dalam hal integrasi data dibandingkan dengan negara lain, termasuk Malaysia.

Miniatur Negara
Ali Ghufron melukiskan, BPJS Kesehatan berfungsi seperti miniatur negara, mencerminkan kompleksitas dan interrelasi antara berbagai kementerian dalam pengelolaan layanan kesehatan di Indonesia. BPJS tidak hanya berkolaborasi dengan Kementerian Kesehatan, tetapi juga dengan Kementerian Sosial yang menentukan siapa yang berhak menerima bantuan iuran (PBI), serta Kementerian Dalam Negeri yang mengatur alokasi anggaran daerah.

Selain itu, Kementerian Keuangan berperan dalam pengaturan dana operasional yang dapat digunakan oleh BPJS. Kerjasama ini melibatkan hampir semua kementerian, termasuk Kementerian Agama yang berkoordinasi terkait peserta BPJS untuk program umrah dan haji. BPJS Kesehatan terus berkomitmen untuk mendukung pengembangan fasilitas kesehatan di Indonesia melalui kerja sama dengan bank dalam program Supply Infrastructure Financing (SIF). Program ini memungkinkan rumah sakit atau klinik yang membutuhkan dana untuk pembangunan atau pembelian alat medis untuk mendapatkan pinjaman dari bank, dengan BPJS sebagai penjamin.

Menariknya, dalam sejarah BPJS, ini adalah kali pertama rumah sakit dapat menerima dana sebelum proses verifikasi selesai, sebuah langkah inovatif yang belum pernah terjadi sebelumnya. Selain itu, pada tahun 2023, BPJS Kesehatan juga meningkatkan tarif kapitasi untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP), menandai kenaikan pertama dalam sejarah BPJS.

Gotong Royong
Ali Ghufron membandingkan bahwa di negara lain, seperti Australia dan Jepang, peserta asuransi kesehatan juga diharuskan membayar sebagian dari biaya perawatan. Oleh karena itu, penting bagi BPJS untuk terus mengedukasi masyarakat tentang nilai gotong royong dan pentingnya menjaga kesehatan. Ia juga mengingatkan bahwa perubahan mendasar dalam sistem seharusnya tidak dilakukan tanpa pemahaman yang jelas, agar nilai-nilai kebangsaan dan solidaritas tetap terjaga.

Ia berharap pentingnya masyarakat menjadi peserta BPJS dan aktif dalam program ini, karena tidak ada asuransi kesehatan yang lebih murah dan bermanfaat dibandingkan BPJS. Partisipasi aktif masyarakat dalam program ini akan memperkuat nilai gotong royong yang menjadi dasar sistem kesehatan nasional.

Sementara itu, kepada rumah sakit, Prof. Gufron mengingatkan bahwa ini adalah kesempatan untuk memberikan pelayanan yang profesional dan penuh empati, serta mengubah pola pikir dari sistem pembayaran berbasis layanan yang tidak efisien menjadi sistem pembayaran paket yang lebih terencana.

Ia meminta dukungan dari pemerintah pusat dan daerah untuk menjaga dan melanjutkan keberhasilan BPJS Kesehatan, yang telah menarik perhatian banyak negara lain. Dengan kolaborasi yang baik, BPJS Kesehatan dapat terus berkembang dan memberikan layanan yang lebih baik bagi masyarakat, tanpa merusak sistem yang telah dibangun. (*) Usman Wafa

Artikel Terkait

Scroll to Top