Tes Masuk Perguruan Tinggi (img: Kompas Edukasi)

Kampus Impian atau Sekadar Pilihan Terakhir – Oleh Muhammad Al

Share

Tifa tidak pernah membayangkan dirinya akan kuliah di jurusan yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Ketika itu, ia adalah siswa kelas XII SMA yang sedang bingung memilih jurusan untuk Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Dalam keterbatasan waktu dan informasi, ia datang ke ruang Bimbingan Konseling, berharap mendapat sedikit pencerahan.

Sebaiknya kamu ambil jurusan ini saja,” kata Bu Reni, guru BK-nya, sambil menunjuk sebuah nama jurusan di daftar.

“Peluangnya lebih besar, dan kamu bisa belajar nanti.”

Tifa tak banyak bertanya. Ia mengangguk saja. Pilihan itu diambil bukan karena keinginan, tapi karena pertimbangan ‘‘masuk kampus dulu yang penting.’’ Ia tidak tahu apa yang akan dipelajari, tidak juga membayangkan akan jadi apa setelah lulus. Yang ia tahu hanya satu: jangan sampai tidak kuliah.

Tiga tahun berlalu. Kini Tifa adalah mahasiswa tingkat akhir di jurusan yang dulu asing baginya, dan perasaannya masih sama: bingung, tak bersemangat, dan merasa seperti berada di tempat yang bukan miliknya.

“Aku kuliah bukan karena aku ingin, tapi karena aku harus,” ucapnya pelan, sambil menatap skripsi yang belum disentuh.

 

Status Sosial

Setiap tahunnya, ribuan lulusan SMA di Indonesia berjuang memasuki dunia perguruan tinggi. Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT), Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP), hingga jalur mandiri menjadi medan laga menuju apa yang sering disebut “kampus impian.” Namun, seberapa banyak dari mereka yang benar-benar paham dengan pilihan yang mereka ambil? Apakah kampus impian itu hasil dari pencarian panjang yang penuh refleksi, atau sekadar pelarian dari ketakutan tak kuliah?

“Kalau boleh jujur, kampus tempat aku kuliah sekarang itu bukan yang aku idam-idamkan,” ujar Andri, mahasiswa semester empat. “Tapi daripada nggak kuliah sama sekali, ya udah… diambil aja yang keterima.”

Pola ini bukanlah hal baru. Banyak mahasiswa —terutama dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah— menghadapi tekanan besar untuk kuliah di mana saja asal kuliah. Keputusan diambil terburu-buru, tanpa sempat merenungi apakah pilihan itu selaras dengan minat dan potensi diri.

Dalam banyak keluarga Indonesia, kuliah bukan hanya perkara pendidikan, tapi juga status sosial. Anak kuliah dianggap bukti keberhasilan orang tua. Tak heran, sebagian orang tua memaksakan jurusan atau kampus tertentu kepada anaknya. “Orang tuaku pengin aku masuk kedokteran, padahal aku pengin ke desain komunikasi visual,” keluh Rani, mahasiswi tahun pertama di sebuah fakultas kedokteran ternama.

“Akhirnya aku nurut, tapi aku capek banget setiap hari.”

Tekanan ekspektasi ini bisa membuat mahasiswa kehilangan motivasi. Mereka merasa seperti hidup dalam bayang-bayang harapan orang lain. Pada titik tertentu, ini bisa berdampak pada kesehatan mental dan performa akademik.

Tak sedikit pula siswa yang memilih kampus atau jurusan karena ikut-ikutan teman, termakan promosi media sosial, atau terpesona oleh nama besar tanpa menggali lebih jauh tentang isi di dalamnya. Kampus-kampus berlomba menampilkan citra yang menggoda: gedung modern, internet cepat, kafe estetik, dan dosen berprestasi.

Tapi apa gunanya pemandangan indah jika materi kuliah tak kunjung dipahami dan semangat menipis?

“Pas lihat brosurnya keren banget, ada lab canggih, ada student exchange ke luar negeri,” kata Jodi.

“Tapi ternyata kuliahnya nggak sesuai harapan. Banyak teori, jarang praktik.”

Ini bukan semata-mata salah kampus. Ini juga persoalan minimnya informasi dan edukasi karier sejak bangku sekolah. Siswa sering kali hanya dibekali daftar jurusan dan passing grade, tanpa pendampingan serius untuk menggali potensi dan minat pribadi.

Realitas lain yang tak bisa diabaikan adalah ketimpangan akses informasi. Siswa di kota besar mungkin punya banyak sumber: internet cepat, seminar kampus, guru BK aktif, hingga bimbingan belajar. Tapi di pelosok daerah, banyak siswa bahkan tidak tahu cara mendaftar SNBT secara daring.

Bayangkan seorang siswa di desa terpencil yang belum pernah mendengar istilah double degree, mata kuliah wajib, atau akreditasi jurusan. Ia hanya tahu: “Kalau bisa kuliah, ya syukur.”

Sementara itu, algoritma internet lebih banyak menyuguhkan konten viral tentang “kampus keren” daripada edukasi seputar memilih jurusan secara tepat. Akibatnya, orientasi siswa pun mudah teralihkan dari proses menuju hasil akhir yang terlihat mewah.

Meski banyak yang awalnya “tersesat”, bukan berarti semua berakhir buruk. Banyak mahasiswa yang akhirnya jatuh cinta pada jurusan yang dulu tak mereka kenal. Proses belajar, pengalaman organisasi, hingga bertemu teman-teman baru bisa membentuk rasa memiliki yang perlahan tumbuh.

“Awalnya aku benci banget kuliah di teknik lingkungan,” kata Vira, alumni kampus negeri di Surabaya.

“Tapi lama-lama aku sadar, ini bidang yang penting buat masa depan. Sekarang aku kerja di proyek pengolahan limbah industri, dan aku bangga.”

Ini bukti bahwa kampus bukan akhir dari segalanya, melainkan awal dari perjalanan.

Tapi tetap saja, tak semua orang beruntung bisa berdamai dengan pilihan yang diambil secara terburu-buru. 

 

Memilih dengan Sadar

Untuk memutus siklus “asal kuliah”, kita perlu membangun budaya memilih dengan sadar. Ini tugas bersama: sekolah, keluarga, pemerintah, dan media.

  1. Sekolah perlu memperkuat peran bimbingan karier —bukan sekadar membagi brosur pendaftaran, tapi mendampingi siswa mengenal potensi, minat, dan dunia kerja.
  2. Orang tua perlu membuka ruang dialog, bukan memaksakan pilihan. Anak-anak bukan cerminan kebanggaan semata, tapi pribadi yang harus tumbuh sesuai kodrat dan kemampuannya. 
  3. Kampus perlu lebih jujur dalam promosi, dengan menampilkan wajah yang utuh, bukan sekadar gemerlap fasilitas.
  4. Pemerintah perlu memperluas akses informasi dan platform edukasi karier, agar siswa di daerah terpencil pun punya kesempatan mengenal dunia kampus dengan baik.

Kepada para pejuang kursi kuliah yang kini sedang memilih jurusan dan kampus: berhentilah sejenak. Tutup brosur, matikan sejenak media sosial, dan tanya diri sendiri:

“Apa yang sebenarnya aku mau?”

“Apakah aku memilih karena ingin, atau karena takut?”

Tak ada pilihan yang benar-benar sempurna. Tapi pilihan yang diambil dengan kesadaran akan selalu lebih kuat menopang perjalanan, ketimbang pilihan yang lahir dari keterpaksaan. 

Jika kamu memilih dengan jujur, walau berat di awal, kelak kamu akan tahu bahwa perjalananmu bukan sekadar soal lulus dan kerja. Tapi soal menemukan dirimu sendiri—dan mungkin, menemukan dunia yang tak pernah kamu duga sebelumnya.

Kampus bukan tujuan akhir, dan bukan pula penentu mutlak masa depan. Ia hanya satu dari sekian banyak jalan menuju kehidupan yang kamu inginkan. Maka, pilihlah dengan bijak. Jangan hanya karena “yang penting kuliah,” lalu kamu lupa bertanya: apa arti kuliah buatmu?

Dan jika memang kamu kini terlanjur berada di jurusan yang tak kamu impikan dulu, jangan putus asa. Tak ada yang sia-sia jika kamu bersedia belajar, tumbuh, dan terus mencari arti dalam setiap langkahmu.

Karena kadang, jalan yang tak direncanakan justru membawa kita ke tempat yang paling tepat.

Artikel Terkait