Etika Lingkungan Megawati – Oleh Yogen Sogen

Share

Realitas krisis ekologis, mulai dari perubahan iklim yang tak terhindarkan hingga lenyapnya berbagai keanekaragaman hayati, telah menjadi momok menakutkan yang menuntut perhatian serius, bukan sekadar retorika semu. Di tengah kegalauan global ini, sebuah suara keprihatinan yang konsisten dan menyala-nyala dilontarkan oleh tokoh sentral perpolitikan nasional, Presiden ke-5 RI sekaligus Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri.

Seruan ini melampaui kegelisahan pribadi, menjadi manifestasi tegas dari Etika Lingkungan dan Etika Kepemimpinan. Megawati secara ideologis mendobrak pola pikir yang terjebak di menara gading,

menegaskan bahwa kesadaran ekologis harus diwujudkan sebagai pilar utama dalam Teori Good Governance dan ideologi PDI Perjuangan. Kesadaran ini ia terapkan melalui tiga pilar fundamental yang menjadi panduan sikap partai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kecintaan Megawati pada alam tidak hanya sebatas nilai, tetapi juga diwujudkan sebagai tindakan nyata. Ia mengecam keras penebangan liar dan eksploitasi alam demi keuntungan ekonomi

. Penebangan pohon tua tanpa perawatan (nurseri) baginya adalah pengabaian nilai kehidupan. Sikap ini memperkuat ideologi PDI Perjuangan dalam tiga hal utama. Pertama, menolak antroposentrisme radikal dengan menegaskan nilai intrinsik pohon melebihi nilai ekonominya.

Kedua, menuntut Good Governance sebagai kompas moral dan akuntabilitas ekologis, menjadikan konservasi sebagai seruan politik.

Ketiga, mengukuhkan ideologi sebagai warisan nilai dan tindakan konkret, menghubungkan perlindungan lingkungan dengan warisan founding fathers, serta mewujudkannya dalam tindakan nyata.

Kecaman Megawati terhadap keserakahan ekonomi yang merusak ekosistem adalah kristalisasi ideologi yang menjadikan Etika Lingkungan sebagai fondasi Good Governance. menuntut bahwa Berdikari secara ekonomi harus didahului oleh Berdikari secara ekologis.

Merawat Pertiwi
Sikap Megawati harus dipertegas sebagai mandat moral bagi seluruh kader dan birokrasi negara, mentransformasi nilai abstrak menjadi mandat politik. Penegasan bahwa kecintaan pada alam adalah “warisan nilai” Bung Karno sekaligus “sikap” (tindakan) mengokohkan ideologi PDI Perjuangan dalam dua dimensi.

Pertama, legitimasi ideologis: Ia menghubungkan pelestarian lingkungan dengan founding fathers, membumikan gerakan Merawat Pertiwi sebagai bagian tak terpisahkan dari nasionalisme dan Tri Sakti. Hal ini mempertegas nilai spiritual, budaya, dan ekologis yang kuat bagi ideologi partai.

Kedua, tindakan nyata: Kritik tajam terhadap penebangan liar memaksa ideologi untuk turun ke lapangan. Ideologi tidak lagi hanya sekadar teks, tetapi diwujudkan dalam aksi nyata, seperti Gerakan Merawat Pertiwi, di mana kegiatan membersihkan dan menanam menjadi tolok ukur konkret loyalitas kader terhadap partai dan negara.

Di masa akhir kepemimpinannya, gaya hidup Megawati yang akrab dengan tanaman dan peduli lingkungan menjadi teladan sejati. Ini menjadi paradoks tajam terhadap banyaknya pemimpin yang hanya pandai beretorika tanpa tindakan nyata.

Dalam dokumenter Merawat Pertiwi berjudul “Bung Karno Ajarkan Cinta Lingkungan” oleh KompasTV (Selasa, 19 Agustus 2025), Megawati tampil sebagai penerus yang menjaga warisan spiritual, budaya, dan ekologis Bung Karno.

Kemarahannya terhadap eksploitasi alam dan pengabaian nilai kehidupan mencerminkan ketajaman pandangannya. Ia mengecam dan mengutuk penebangan pohon tanpa perencanaan nurseri, menekankan bahwa masalahnya bukan hanya soal kerugian materi, tetapi juga pengabaian nilai esensial kehidupan.

Perlakuan merusak alam tanpa rencana keberlanjutan dianggapnya sebagai dosa ideologis atau pengkhianatan terhadap Pertiwi, yang ia buktikan dalam tindakan konkret sehari-hari.

Dengan menuntut disiplin kepemimpinan untuk mengutamakan konservasi, Megawati menegaskan bahwa kegagalan merawat alam berarti mengkhianati Keadilan Sosial bagi kaum Marhaen, yang berdampak besar pada kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ia mengubah slogan partai menjadi seruan moral melawan kerusakan lingkungan dan panggilan praktis untuk menerapkan tata kelola sumber daya yang adil.

Antara Vatikan dan Tiongkok
Kegelisahan terhadap krisis ekologis yang disuarakan Megawati tidak hanya terbatas di ruang domestik, tetapi meluas menjadi kegelisahan universal yang dibawa ke panggung internasional.

Pertemuannya dengan mendiang Paus Fransiskus di Vatikan pada Februari 2025 melampaui diplomasi kenegaraan biasa, dengan disk hangat tentang pemanasan global dan Pancasila.

Upaya ini menyelaraskan tiga pilar filosofis: Laudato Si’ (persaudaraan dengan alam), Pancasila (dasar negara), dan Tri Sakti (mandat perjuangan), sebagai respons fundamental Indonesia terhadap krisis ekologi global.

Paus Fransiskus, melalui doktrin “Pertobatan Ekologis” dalam Ensiklik “Laudato Si’” tahun 2015, menekankan bahwa krisis lingkungan tidak terpisahkan dari krisis sosial dan kemiskinan.

Sementara itu, Megawati dengan cerdas memperkenalkan Pancasila dalam diskusi, di mana Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (Sila ke-2) dan Keadilan Sosial (Sila ke-5) mencerminkan konsep ekologi integral.

Prinsip Keadilan Sosial Ekologis menyoroti dampak kerusakan lingkungan yang paling parah dirasakan oleh kaum miskin (Marhaen), sehingga menjaga alam menjadi bentuk konkret pembelaan terhadap kemanusiaan.

Kunjungan Megawati ke Tiongkok pada Juli 2025, terutama ke Kunming Botanical Garden di Yunnan, menandai babak penting dalam diplomasi ideologis. Agenda ini melampaui geopolitik, menjadikan Flora Nusantara sebagai alat diplomasi dan penerjemahan praktis dari Tri Sakti.

Ia juga menyampaikan keprihatinan universal terkait kecanduan gawai pada anak-anak dan menyerukan penolakan terhadap gaya hidup konsumtif-digital yang menjauhkan manusia dari alam.

Kunjungan ini menggarisbawahi Berdaulat di bidang politik sebagai Etika Kepemimpinan yang berpihak pada lingkungan, Berdikari di bidang ekonomi melalui penguasaan teknologi dan industri flora, serta Berkepribadian budaya melalui ritual ideologis, yakni Gerakan Menanam Pohon.

Secara substansial, pemikiran dan gerakan ekologis Megawati yang diperkuat oleh resonansi global di Vatikan dan Tiongkok adalah upaya strategis untuk membumikan ideologi: mengubah konsep abstrak partai menjadi etos nyata dalam interaksi manusia dengan alam.

Pertobatan Ekologis
Inti dari solusi yang diusulkan oleh Megawati dan menarik perhatian Paus Fransiskus adalah nilai Gotong Royong. Pertobatan ekologis menjadi panggilan moral untuk mengubah gaya hidup dan model pembangunan yang eksploitatif terhadap alam, yang juga bisa dimaknai sebagai perubahan hati untuk menyadari dosa manusia terhadap bumi sebagai “Rumah Kita Bersama.”

Paus Fransiskus tertarik pada Gotong Royong karena mencerminkan praktik nyata persaudaraan universal dan menjadi dasar partisipasi dalam Good Governance. Gotong Royong menegaskan bahwa solusi ekologis, seperti Gerakan Menanam Pohon oleh PDI Perjuangan, adalah tanggung jawab bersama, bukan semata-mata pemerintah atau korporasi.

Megawati terus melanjutkan ajaran Bung Karno, terutama konsep Tri Sakti, ke dalam politik ekologis. Berdaulat di Bidang Politik diwujudkan melalui etika kepemimpinan yang melampaui kepentingan elektoral, dengan menginstruksikan “Tiga Pilar Partai” (Eksekutif, Legislatif, Struktural Partai) PDI Perjuangan untuk fokus pada program lingkungan.

Berdikari di Bidang Ekonomi terlihat dalam gerakan menanam pohon dan komoditas pendamping beras, mengintegrasikan konservasi dengan ketahanan pangan dan ekonomi rakyat. Berkepribadian dalam Kebudayaan diperkuat dengan menghormati dan memuliakan alam, menjadikan budaya menanam dan merawat bumi sebagai wujud gotong royong untuk mencapai harmoni antara manusia dan alam.

Secara keseluruhan, seruan Megawati untuk “menghitung ulang kapasitas sumber air” dan penghormatannya kepada masyarakat adat sebagai penjaga hutan merupakan bukti nyata yang menghubungkan kearifan lokal dengan perlindungan alam. Ini adalah ajakan untuk menjadikan Gotong Royong sebagai praktik nyata Good Governance yang menjamin transparansi, akuntabilitas dan perencanaan jangka panjang dalam pengelolaan SDA

Panggilan Aksi Nyata
Etos ekologis Megawati Soekarnoputri merupakan perpaduan penting antara Etika Lingkungan yang mendasar, Etika Kepemimpinan yang autentik, dan prasyarat Good Governance yang sejati.

Dalam ideologi PDI Perjuangan, konsep ini telah berkembang menjadi Marhaenisme Ekologis. Pohon Sukun sebagai simbol refleksi lahirnya Butir-butir Pancasila menjadi lambang keterkaitan erat antara rakyat, ideologi, dan Ibu Pertiwi. Oleh karena itu, merawat alam sama dengan merawat Pancasila.

Selain itu, ajakan Megawati kepada anak-anak untuk sejenak meninggalkan gawai dan mulai menanam serta merawat tanaman adalah bentuk ekosentrisme sederhana.

Ini merupakan langkah penting untuk memutus keterasingan digital dan membangun hubungan harmonis dengan Ibu Pertiwi. Gerakan ini menjawab tantangan global seperti krisis iklim dan domestik seperti kerusakan lingkungan, menegaskan bahwa kemerdekaan adalah pintu menuju kehidupan bangsa yang berkelanjutan.

Bagi PDI Perjuangan, saatnya membuktikan bahwa ajaran Bung Karno dan Pancasila benar-benar berorientasi pada kerakyatan dengan perlindungan ekologis. Etos ekologis Megawati adalah seruan moral dan politik bagi bangsa untuk menerapkan Good Governance yang peduli lingkungan, sekaligus memperkuat Ideologi Kerakyatan yang Berdimensi Ekologis.

Megawati menekankan bahwa perubahan sejati dimulai dari akar rumput, melalui bibit dan tekad generasi bangsa, hingga kebijakan Good Governance yang menjamin masa depan hijau dan berkelanjutan.

Gerakan ekologis ini bukan sekadar keprihatinan dangkal, melainkan visi jangka panjang yang menempatkan isu lingkungan sejajar dengan isu krusial lain, menjadikanny komitmen moral, politik, dan ekonomi tertinggi.

Saatnya, ideologi Megawati perlu menjadi spirit gerakan bersama, untuk membumikannya dalam tindakan konkret, karena masa depan Ibu Pertiwi bukan untuk satu generasi tetapi warisan masa depan yang perlu dilestarikan oleh setiap anak bangsa.

Artikel Terkait

Scroll to Top