H. Lalu Hadrian Irfani, S.T. - Wakil Ketua Komisi X DPR RI

Wakil Ketua Komisi X DPR RI – MBG dan Sekolah Rakyat Sentuh Kebutuhan Nyata

Share

Setelah menuntaskan pengabdian sebagai Anggota DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), H. Lalu Hadrian Irfani, S.T. melanjutkan perjuangan ke tingkat pusat dengan terpilih sebagai Anggota DPR RI periode 2024–2029 dari daerah pemilihan NTB II, yang meliputi Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Lombok Utara, dan Kota Mataram.

Saat ini, ia menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi X DPR RI, yang membidangi pendidikan, olahraga, serta sains dan teknologi. Sebagai pimpinan, Lalu Hadrian sangat peduli pada pemerataan pendidikan di seluruh Indonesia.

Ia ingin memastikan program pemerintah menjangkau daerah terpencil sekaligus memperjuangkan kesejahteraan guru, termasuk guru honorer yang telah lama mengabdi.

Dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM), ia menyatakan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah fondasi penting menuju Indonesia Emas 2045, dengan memanfaatkan bonus demografi.

Di sektor olahraga, ia berkomitmen mendukung persiapan NTB menjadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON) 2028 bersama NTT.

“Pembangunan infrastruktur dan pembinaan atlet harus terus diperjuangkan untuk mencetak prestasi di tingkat nasional maupun internasional,” ujarnya.

Pembaruan UU Sisdiknas
Lalu Hadrian menilai UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional perlu diperbarui agar selaras dengan dinamika pendidikan terkini.

Banyak kebijakan pemerintah masih merujuk pada UU tersebut. Komisi X DPR RI telah merevisi UU Sisdiknas secara menyeluruh, mencakup isu, kebijakan, hingga persoalan di lapangan, dan akan menyerahkannya kepada Badan Legislasi (Baleg).

Salah satu fokus penting adalah pengelolaan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN. Menurutnya, anggaran ini sebaiknya dikelola sepenuhnya oleh kementerian terkait pendidikan, tanpa dibagi ke kementerian lain.

Ia menilai layanan dasar pendidikan masih jauh dari harapan dan kualitasnya belum merata karena regulasi yang lemah.

Ia juga mengusulkan perpanjangan masa wajib belajar dari 9 tahun menjadi 13 tahun, yang mencakup 1 tahun PAUD, 6 tahun SD, 3 tahun SMP, dan 3 tahun SMA/SMK. Langkah ini untuk menekan angka putus sekolah yang masih tinggi di Indonesia.

“Kalau betul 20 persen murni dipakai untuk pendidikan, maka wajib belajar 13 tahun, dari PAUD hingga SMA/SMK, bisa digratiskan,” tegasnya.

Kesetaraan Hak Guru
Selain soal anggaran, revisi UU Sisdiknas juga mencakup status dan pengakuan tenaga pendidik. Bagi Lalu Hadrian, siapa saja yang mengabdikan diri untuk mengajar dan berbagi ilmu layak diakui sebagai guru, tanpa memandang gelar atau latar belakang akademis.

Dalam proses revisi ini, Komisi X DPR RI sepakat menggunakan pendekatan kodifikasi, yaitu mengintegrasikan berbagai undang-undang terkait, termasuk UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, ke dalam satu sistem yang lebih menyeluruh.

Langkah ini dianggap penting untuk memperbaiki sistem pendidikan dari hulu ke hilir dengan melibatkan aspirasi, pendapat, dan saran dari semua pemangku kepentingan.

Lalu Hadrian juga mendorong pemerintah untuk tidak hanya menaikkan gaji guru dan dosen yang berstatus ASN, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan guru honorer yang selama ini menjadi tulang punggung pendidikan di berbagai daerah.

Menurutnya, meskipun guru honorer memiliki peran penting dalam mencerdaskan bangsa, kesejahteraan mereka masih jauh dari layak. Honor guru non-ASN yang berkisar Rp300.000 per bulan dinilai sebagai ketimpangan yang tidak manusiawi dan tidak sesuai dengan kebutuhan hidup saat ini.

Oleh karena itu, ia mendorong kenaikan gaji bagi semua guru di berbagai jenjang pendidikan, baik SD, SMP, SMA, maupun pendidik di pesantren.

“Guru, ustadz, atau kiai di pesantren memiliki status yang sama dengan guru di pendidikan umum, hak-haknya juga harus setara,” tegasnya.

Pengawasan MBG
Untuk meningkatkan kualitas gizi dan konsentrasi belajar anak-anak Indonesia, pemerintah Presiden Prabowo Subianto meluncurkan Program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Namun, program ini menghadapi masalah besar dalam pengelolaan dan pengawasannya, yang menyebabkan keracunan massal di sejumlah sekolah.

Menurut Lalu Hadrian, evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan MBG sangat penting karena keselamatan dan kesehatan siswa harus menjadi prioritas utama, bukan sekadar pencapaian target angka program.

Semua tahap pelaksanaan, mulai dari pengadaan bahan, penyimpanan, distribusi, hingga pengelolaan dapur, perlu diaudit secara ketat sesuai standar kebersihan.

Evaluasi harus mencakup seluruh aspek, dari awal hingga akhir, agar tidak ada celah yang membahayakan anak-anak. Lalu Hadrian menekankan pentingnya pengawasan ketat terhadap pengelola dapur MBG dan pihak sekolah, memastikan makanan yang disajikan memenuhi standar gizi dan kebersihan.

Sinergi antar sektor juga sangat diperlukan untuk menangani kasus ini secara terpadu dan berkelanjutan, mencegah kejadian serupa di masa depan.

Oleh karena itu, ia mendorong Mendikdasmen untuk menjalin koordinasi erat dengan Badan Gizi Nasional (BGN) dan instansi terkait guna mencari solusi yang cepat dan tepat.

Lalu Hadrian juga meminta pemerintah agar tidak memperluas cakupan program sebelum sistem di lapangan benar-benar siap. Program sebesar MBG harus dibangun di atas fondasi yang kuat, tidak hanya berorientasi pada target, tetapi juga kualitas dan dampak jangka panjang.

“Evaluasi harus membawa perbaikan nyata, seperti peningkatan kapasitas penyedia makanan, pengawasan kualitas yang lebih ketat, dan pelibatan tenaga ahli di bidang kesehatan masyarakat dan gizi,” katanya.

Krisis Kekerasan
Persoalan serius yang muncul dalam beberapa bulan terakhir di dunia pendidikan adalah kekerasan terhadap siswa dan guru. Ironisnya, kekerasan ini terjadi di tempat yang seharusnya paling aman, seperti sekolah, pesantren, dan komunitas pendidikan nonformal.

Salah satu solusi yang diusulkan adalah penyusunan kurikulum anti-pencabulan yang tidak hanya berlaku di sekolah umum, tetapi juga di pesantren dan madrasah.

Kurikulum ini bersifat lintas disiplin, berbasis nilai lokal dan agama yang ramah anak, serta mengajarkan kesadaran tentang tubuh, batasan, hak, dan keberanian menolak pelecehan.

Namun, perlindungan tidak cukup hanya dengan kurikulum. Guru juga harus mendapatkan perlindungan hukum dan sosial. Jika guru yang bertugas dengan integritas justru menjadi korban kekerasan, pemecatan, atau intimidasi, maka iklim pendidikan akan terganggu.

Contohnya, seorang guru di Prabumulih dicopot hanya karena menegur siswa yang melanggar aturan, atau seorang guru di Sinjai dipukul saat menegakkan disiplin.

Hadrian juga menyoroti pentingnya pelatihan bagi guru, pembina pesantren, dan tenaga pendidik lainnya agar memahami etika relasi kekuasaan dan memiliki sensitivitas dalam melindungi anak.

Selain itu, perlu dibangun sistem pelaporan yang aman, terpercaya, dan berpihak pada korban, termasuk di lembaga pendidikan yang selama ini kurang diawasi publik, seperti pesantren dan institusi sejenis.

“Pendidikan yang baik bukan hanya mengajarkan prestasi, tetapi juga melindungi martabat,” tegasnya.

 

Artikel Terkait