Berbagai kontra-reaksi pun bermunculan dan menyebar luas. Tuntutan agar bertanggung jawab hingga desakan agar Kapolri mundur atau dicopot menjadi tema aksi berikutnya. Kantor-kantor polisi di berbagai tingkatan didemo, dikepung, bahkan ada yang dibakar oleh massa.
Polisi adalah institusi yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Mulai dari sudut jalan, pusat keramaian, hingga ruang digital, keberadaan aparat kepolisian terasa nyata.
Mereka mengatur lalu lintas, menjaga demonstrasi, menindak kejahatan, hingga mengurus administrasi perizinan. Kehidupan publik tanpa polisi sulit untuk dibayangkan.
Namun, kedekatan ini sering kali justru menciptakan jarak. Alih-alih menjadi pelindung dan pengayom, polisi sering menjadi pihak yang paling banyak dikritik. Dari pungli di jalanan hingga skandal besar seperti suap, narkoba, dan judi, semua mengguncang institusi.
Citra polisi di mata publik sering kali tidak sesuai harapan. Kepercayaan masyarakat mudah runtuh setiap kali muncul kasus yang mencoreng nama baik kepolisian.
Ironisnya, lembaga yang diberi mandat untuk menegakkan hukum dan menjaga rasa aman malah sering dipandang bermasalah. Apakah ini sekadar ulah oknum atau ada masalah yang lebih mendasar?
Akar Kritik
Konstitusi Indonesia menegaskan peran kepolisian dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Rumusan ini menjadikan polisi sebagai garda terdepan dalam memastikan hukum berjalan dan rasa aman terjaga. Tugas dan kewenangan Polri diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.
Pasal 13 undang-undang ini merumuskan tiga tugas pokok Polri, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta melindungi dan mengayomi masyarakat.
Batas kewenangan polisi ditegaskan melalui prinsip penghormatan hak asasi manusia, kode etik profesi, serta berbagai peraturan internal, termasuk Peraturan Kapolri tentang etika profesi Polri. Setiap tindakan polisi harus sah secara hukum sekaligus pantas secara moral dan etika.
Kritik terhadap polisi sering kali muncul akibat penyalahgunaan kewenangan, seperti pungutan liar di jalan, praktik suap dalam penanganan perkara, hingga penggunaan kekerasan berlebihan saat menghadapi demonstrasi.
Selain itu, kultur organisasi kepolisian yang hierarkis mempersulit transparansi. Mekanisme komando yang kaku sering membuat kritik dari dalam tidak terdengar, sementara kritik dari luar dianggap ancaman.
Akibatnya, penanganan pelanggaran internal cenderung tertutup, sehingga publik sulit percaya bahwa mekanisme pengawasan berjalan efektif.
Kesenjangan antara harapan dan kenyataan juga menjadi sumber kekecewaan. Masyarakat menginginkan aparat yang cepat, adil, dan humanis, tetapi penanganan kasus sering lambat, tidak merata, bahkan terkesan diskriminatif.
Media sosial memperkuat kritik ini, karena setiap tindakan aparat mudah direkam, diunggah, dan viral dalam hitungan menit. Kasus individu dapat dengan cepat menjadi isu nasional, membentuk opini publik yang sulit dibendung.
Satu video polisi melakukan pelanggaran dapat menutupi ratusan kinerja baik yang tidak terdokumentasi. Akhirnya, citra polisi di ruang publik kerap terdefinisi lebih oleh kesalahan daripada keberhasilan.
Beberapa Kasus
Sejumlah peristiwa dalam beberapa tahun terakhir semakin memperkuat alasan publik untuk mengkritik kepolisian. Salah satu yang paling mencolok adalah kasus Ferdy Sambo pada 2022.
Skandal pembunuhan Brigadir J (Nofriansyah Yosua Hutabarat) tidak hanya tentang kejahatan individu, tetapi juga menggambarkan intrik internal dan manipulasi hukum di lingkup Polri.
Di tahun yang sama, tragedi Kanjuruhan menambah daftar gelap. Gas air mata yang ditembakkan aparat ke tribun dalam laga sepak bola memicu kepanikan massal dan menewaskan 135 orang.
Kejadian ini mendapat sorotan internasional karena dianggap sebagai kelalaian dan tindakan represif dalam penanganan kerumunan.
Tahun 2024 juga tidak lepas dari sorotan. Skandal pemerasan turis asing di acara musik elektronik internasional melibatkan puluhan polisi. Peristiwa ini tidak hanya mempermalukan citra kepolisian di mata masyarakat, tetapi juga mencoreng reputasi Indonesia di kancah dunia.
Aparat yang seharusnya melindungi justru menjadi pelaku pemerasan, menunjukkan betapa rapuhnya kepercayaan publik jika kewenangan disalahgunakan.
Kasus Irjen Teddy Minahasa Putra juga mengejutkan publik. Mantan Kapolda Sumatera Barat ini terlibat kasus peredaran narkoba setelah ditangkap Propam Polri pada Oktober 2022.
Ia diduga menukar barang bukti narkoba jenis sabu dengan tawas untuk dijual kembali—praktik ilegal yang mencederai integritas kepolisian.
Pada Mei 2023, Pengadilan Negeri Jakarta Barat menjatuhkan vonis penjara seumur hidup kepada Teddy Minahasa berdasarkan pelanggaran Pasal 114 ayat 2 dan Pasal 112 ayat 2 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Keputusan ini menjadi peringatan keras bagi anggota kepolisian lainnya agar tidak menyalahgunakan wewenang dan narkoba tidak akan ditoleransi,
sekadar status maupun pangkat tinggi tidak menjamin kebebasan dari hukum.
Sementara itu, kasus Irjen Napoleon Bonaparte menunjukkan sisi lain persoalan integritas di tubuh Polri. Mantan Kadiv Hubinter Polri ini divonis empat tahun penjara dan denda Rp 100 juta pada Maret 2021 karena menerima suap dari Djoko Tjandra untuk menghapus namanya dari daftar pencarian orang.
Bersama kasus Teddy Minahasa, kedua peristiwa ini mencerminkan tantangan serius yang dihadapi Polri dalam menjaga kredibilitas dan kepercayaan publik
terhadap aparat penegak hukum.
Kasus paling mutakhir terjadi pada akhir Agustus 2025, ketika seorang pengemudi ojek online tewas dilindas kendaraan taktis Brimob dalam gelombang protes di Jakarta.
Dampak Sosial
Serangkaian kasus yang mencoreng nama baik kepolisian berdampak langsung pada hilangnya kepercayaan publik. Survei kepercayaan terhadap institusi negara menunjukkan Polri sering berada di posisi rendah, bahkan kerap menjadi lembaga yang paling banyak dikritik.
Bagi masyarakat, pengalaman buruk yang viral atau dialami langsung lebih cepat membentuk persepsi dibandingkan keberhasilan aparat yang jarang terekspos.
Akibatnya, citra negatif melekat pada institusi, meskipun banyak polisi di lapangan bekerja dengan sungguh-sungguh dan profesional. Anggota yang berdedikasi menjaga keamanan lingkungan, mengungkap tindak pidana, atau melayani administrasi tetap ada dalam jumlah besar.
Namun, satu kesalahan mencolok dari segelintir aparat bisa menutupi ribuan kerja baik yang tidak terlihat. Ironi inilah yang membuat polisi sulit lepas dari bayang-bayang kritik. Berbagai kasus juga memicu reaksi keras dari lembaga HAM, baik nasional maupun internasional.
Komnas HAM, Amnesty International, hingga Human Rights Watch berulang kali menyoroti pelanggaran prosedur dan penggunaan kekerasan berlebihan oleh aparat. Kritik ini menjadikan citra Polri bukan hanya masalah domestik, tetapi juga perhatian dunia internasional.
Tuntutan reformasi struktural terhadap Polri pun semakin menguat. Publik menilai persoalan yang terjadi bukan sekadar soal oknum, melainkan sistem yang membuka ruang penyalahgunaan.
Seruan untuk memperbaiki pola rekrutmen, memperkuat mekanisme pengawasan, hingga menegakkan akuntabilitas internal semakin keras disuarakan. Reformasi dianggap sebagai satu-satunya jalan untuk mengembalikan legitimasi polisi di mata rakyat.
Negara Lain
Di berbagai negara, kepolisian berhasil menjadi institusi yang sangat dipercaya oleh masyarakat. Finlandia sering dijadikan contoh utama, dengan transparansi, pendekatan humanis,
dan minimnya kasus korupsi yang menempatkan polisi di puncak survei kepercayaan publik. Di sana, polisi dipandang sebagai mitra untuk mencegah masalah, bukan sekadar menindak pelanggaran.
Norwegia mengutamakan filosofi kepolisian yang lebih fokus pada pencegahan daripada represi. Polisi di sana umumnya tidak membawa senjata api dalam tugas sehari-hari, kecuali dalam situasi tertentu.
Hal ini menciptakan citra polisi sebagai penjaga rasa aman, bukan ancaman. Minimnya kekerasan membuat masyarakat merasa dilindungi, bukan ditakuti.
Jepang memiliki model unik dengan koban, pos polisi kecil yang tersebar hampir di setiap lingkungan. Polisi Jepang dikenal ramah dan berperan aktif dalam kehidupan warga, seperti membantu orang tersesat atau mengatur anak sekolah menyeberang jalan.
Kedekatan ini membuat polisi dianggap sebagai bagian dari komunitas, bukan otoritas yang berjarak. Di Selandia Baru, pendekatan edukatif dan transparan menjadi ciri khas kepolisian.
Dalam situasi krisis seperti pandemi Covid-19, mereka lebih memilih komunikasi terbuka dan persuasif dibanding tindakan represif. Hal ini memperkuat pandangan bahwa polisi adalah pelayan publik yang penuh empati.
Kanada konsisten menjalankan konsep community policing, di mana polisi bekerja sama dengan komunitas lokal, termasuk kelompok adat dan imigran, untuk menciptakan rasa aman bersama. Royal Canadian Mounted Police bahkan menjadi simbol kepercayaan publik dan identitas nasional.
Reformasi Polri
Di tengah sorotan tajam publik, Polri tidak tinggal diam. Berbagai upaya reformasi terus dilaksanakan untuk menjawab tuntutan masyarakat sekaligus memperbaiki citra institusi.
Salah satu langkah penting adalah program Polri Presisi (Prediktif, Responsibilitas, Transparansi, Berkeadilan) yang diinisiasi oleh Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo. Program ini bertujuan menciptakan paradigma kepolisian yang modern, akuntabel, dan berorientasi pada pelayanan masyarakat.
Polri mulai mengadopsi digitalisasi layanan. Implementasi Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) berbasis kamera otomatis di beberapa daerah dianggap sebagai langkah maju untuk mengurangi praktik pungli di jalan.
Layanan SIM online dan berbagai aplikasi digital juga diperkenalkan untuk mempermudah masyarakat, sekaligus mengurangi risiko penyalahgunaan interaksi tatap muka.
Transparansi menjadi poin penting dalam agenda reformasi. Polri berupaya menegakkan kode etik dengan lebih tegas, termasuk memberikan sanksi disiplin bagi anggota yang melanggar.
Dalam beberapa kasus, pimpinan Polri bahkan tidak ragu mengumumkan nama-nama oknum yang diproses sebagai pesan bahwa tidak ada lagi toleransi terhadap pelanggaran hukum dari dalam.
Reformasi Polri adalah perjalanan panjang yang penuh tantangan. Meskipun jalan menuju kepercayaan rakyat masih jauh, berbagai langkah terus diambil meski terkadang terasa lebih lambat dibanding cepatnya kasus negatif mencuat ke permukaan.
Kepercayaan Publik
Mengembalikan kepercayaan publik bukanlah hal yang mudah. Institusi sebesar Polri membutuhkan konsistensi, keberanian, dan ketegasan dalam menegakkan integritas. Masyarakat telah terlalu sering dikecewakan oleh janji-janji reformasi yang hanya menjadi slogan.
Karena itu, ke depan Polri harus tampil lebih humanis, transparan, dan akuntabel dalam setiap tindakan. Polisi di lapangan bukan hanya penegak hukum, tetapi juga pelindung dan pengayom masyarakat yang memberikan rasa aman.
Salah satu kunci utama adalah penegakan hukum internal yang tegas dan konsisten. Selama ini, publik sering melihat kasus besar hanya berakhir dengan “kambing hitam” di level bawah, sementara pejabat tinggi tampaknya luput dari jerat hukum.
Jika pola ini terus berlanjut, kepercayaan masyarakat akan semakin pudar. Sebaliknya, jika Polri berani menindak tegas siapa pun yang melanggar kode etik dan hukum tanpa pandang bulu, ada harapan citra institusi ini bisa dipulihkan.
Kritik publik seharusnya dilihat bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai bentuk cinta masyarakat. Protes keras, sorotan media, atau viralitas di dunia maya sebenarnya lahir dari kepedulian bahwa Polri sebagai institusi strategis masih bisa diperbaiki.
Masyarakat tidak ingin melihat polisi runtuh, mereka ingin polisi menjadi lebih baik. Harapan publik sederhana: polisi yang bisa dipercaya. Polisi yang hadir saat dibutuhkan, yang menegakkan hukum tanpa pilih kasih, dan yang menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab.
Jalan menuju ke sana memang panjang, penuh tantangan, dan memerlukan perubahan budaya organisasi yang mendalam. Namun, sejarah menunjukkan bahwa institusi mana pun bisa berubah jika ada tekad dan keberanian ***











