Dirut PT. Teknologi Militer Indonesia – Wujudkan Mimpi Prabowo Hadirkan Mobil Nasional

Share

Ir. Harsusanto, MM telah berkarier lebih dari 34 tahun di lingkungan birokrasi dan BUMN. Ia pernah menjabat sebagai Kepala Biro Teknologi dan Rekayasa Rancang Bangun pada Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS), lembaga yang menjadi cikal bakal lahirnya berbagai BUMN strategis di Indonesia. Selain itu, juga pernah dipercaya menjabat sebagai Direktur Utama PT Barata Indonesia, Direktur Utama PT PAL Indonesia, serta Komisaris PT PAL Indonesia.

Pada tahun 2019, ia diminta membantu Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, yang saat itu mencari seseorang yang memahami teknologi dan memiliki pengalaman bekerja dengan Presiden B.J. Habibie.

Dari proses tersebut, lahirlah PT Teknologi Militer Indonesia (PT TMI), dengan Harsusanto dipercaya sebagai pemimpinnya. “Sebetulnya, Pak Prabowo sangat menghormati Pak Habibie, terutama dalam hal teknologi, sains, dan inovasi,” ujarnya.

Menurut Harsusanto, PT TMI adalah gagasan langsung dari Prabowo Subianto untuk memperkuat kemampuan teknologi pertahanan nasional. Lembaga ini berperan memberikan kajian teknis dan masukan strategis dalam desain, rekayasa, pengembangan teknologi, serta industri.

Harsusanto menjelaskan bahwa PT TMI berada di bawah Yayasan Kementerian Pertahanan, yaitu Yayasan Pengembangan Potensi Sumber Daya Pertahanan (YPPSDP).

Awalnya, PT TMI berfungsi sebagai penasihat bagi Menteri Pertahanan, khususnya dalam isu strategis seperti kapal selam dan pesawat tempur.

Seiring waktu, peran PT TMI berkembang, tidak hanya memberikan masukan teknis tetapi juga rekomendasi strategis terkait Offset dalam pengadaan alpalhankam (alat peralatan pertahanan dan keamanan).

Offset adalah kewajiban penyedia asing untuk memberikan imbal balik kepada Indonesia dalam bentuk kompensasi ekonomi dan transfer teknologi saat terjadi pembelian alpalhankam.

Misalnya, ketika Indonesia membeli pesawat tempur, sebagian komponennya harus diproduksi di dalam negeri sebagai bentuk Offset.

“Dulu, saat membeli pesawat F-16, beberapa bagian seperti flaperon dibuat di PT. IPTN (sekarang PT. DI) sebagai bagian dari Offset,” jelasnya.

Apabila offset tersebut tidak dapat diserap oleh industri pertahanan nasional, maka dapat dialihkan menjadi indirect Offset, yaitu bentuk imbal-balik yang tidak langsung terkait dengan alpalhankam. Contohnya, ketika Indonesia membeli pesawat tempur Rafale, sebagian Offset tidak dapat diserap oleh industri pertahanan nasional. Maka diubah menjadi indirect Offset, seperti penyediaan peralatan medis untuk rumah sakit-rumah sakit milik Kementerian Pertahanan serta pembangunan sarana/ prasarana perguruan tinggi.

Menurutnya, kebijakan Offset ini merupakan hasil perjuangan panjang yang akhirnya diakomodasi dalam undang-undang. Prinsip dasarnya, setiap pembelian peralatan alpalhankam dari luar negeri harus memberikan nilai tambah dan transfer manfaat bagi industri pertahanan dalam negeri.

Mobil Listrik Nasional
Selama menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto mencanangkan cita-cita agar Indonesia memiliki mobil buatan sendiri dan memerintahkan pengembangan konsepnya. Setelah dilantik sebagai Presiden, ia langsung memerintahkan pengembangan dan produksi mobil nasional. Saat ini ada dua jenis mobil yang sedang dikembangkan, yaitu mobil listrik nasional untuk kebutuhan publik dan komersial oleh PT TMI, serta kendaraan taktis Maung yang diproduksi oleh PT Pindad. Kedua model ini telah ditampilkan pada Konvensi Sains dan Teknologi di ITB pada 7 Agustus 2025, di mana Presiden menegaskan pentingnya Indonesia memiliki mobil produksi sendiri.

 

Harsusanto menjelaskan bahwa saat ini Kementerian Pertahanan memesan Maung dalam jumlah besar sehingga PT Pindad fokus memenuhi kontrak tersebut. Sementara itu, PT TMI telah membuat car clay model dengan melibatkan profesor dari ITS serta insinyur dari berbagai universitas seperti UI, ITB, dan Trisakti. Bahkan, mereka mengirimkan para insinyur untuk belajar di salah satu desainer otomotif ternama di Italia dalam bidang modeling dan styling design, menghasilkan car clay model tersebut. Produksi massal mobil listrik nasional direncanakan dimulai pada 2028 dengan target 10.000 unit, meningkat menjadi 20.000 unit pada 2029. Mobil ini unik karena hak kekayaan intelektualnya sepenuhnya dimiliki oleh PT TMI, sehingga tidak berada di bawah pengaruh negara lain. Beberapa perusahaan telah menawarkan diri untuk menyediakan fasilitas jalur perakitan sesuai kebutuhan PT TMI.

“Ada tiga perusahaan yang siap menyediakan assembly plant untuk kita. Karena kapasitas produksinya sedang rendah, peluang tersebut akan dimanfaatkan,” katanya.

Baterai Nikel
Menurut Harsusanto, membuat mobil itu sebenarnya cukup mudah, tetapi membangun industri mobil jauh lebih kompleks. Industri otomotif membutuhkan ekosistem yang lengkap, mulai dari sistem garansi hingga penyediaan suku cadang.

Oleh karena itu, diperlukan dukungan dari universitas, lembaga penelitian, dan kementerian terkait. Pemerintah juga harus hadir agar pengembangan mobil listrik nasional dapat berkelanjutan.

Ia juga menilai bahwa negara lain tidak selalu senang melihat Indonesia membangun pusat produksi sendiri. Hal ini terlihat dari banyaknya mobil listrik impor di pasar domestik yang seringkali tidak dilengkapi dengan ekosistem after-sales service yang memadai.

Jika terjadi kerusakan, seperti pada drive control, pengguna sering harus menunggu lama karena suku cadang harus diimpor. Selain itu, banyak produsen asing menggunakan baterai berteknologi Lithium Iron Phosphate (LFP), yang bertentangan dengan kebijakan hilirisasi nikel yang sedang digalakkan pemerintah.

Sebaliknya, mobil listrik nasional dirancang menggunakan baterai berbasis nikel agar sesuai dengan program hilirisasi tersebut. Upaya membangun industri otomotif dalam negeri sebenarnya bukanlah hal baru.

Harsusanto mengenang masa kerjanya di Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) di bawah kepemimpinan B.J. Habibie. Pada saat itu, Indonesia pernah mengembangkan mobil nasional bernama Maleo, yang seluruh prosesnya, mulai dari desain, pembuatan clay model, hingga show car, dilakukan secara mandiri.

Tim yang bekerja dengannya saat ini sebagian besar adalah lulusan proyek Maleo. Bedanya, jika dulu mobil menggunakan mesin pembakaran dalam (internal combustion engine), kini teknologi beralih ke tenaga listrik berbasis baterai.

Meskipun teknologinya berbeda, proses pengembangannya tetap sama, mulai dari styling, modeling, hingga prototyping dan produksi massal.

“Membuat mobil bukan sekadar merakit, melainkan membangun kemampuan rekayasa dan rancang bangun dari hulu ke hilir,” ujarnya.

Kemandirian Industri
Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga dalam pengembangan mobil nasional. Malaysia memiliki Proton, yang awalnya bekerja sama dengan Mitsubishi.

Meski sempat mengalami pasang surut hingga mayoritas sahamnya diambil alih oleh Geely dari Tiongkok, Malaysia tetap mempertahankan produk otomotifnya sendiri. Begitu juga Vietnam, yang kini memiliki VinFast.

“Indonesia sampai saat ini belum memiliki mobil nasional sendiri,” ujar Harsusanto.

Dalam buku Strategi Transformasi Bangsa Menuju 2045 karya Presiden Prabowo Subianto, ditegaskan bahwa Indonesia perlu memiliki mobil buatan sendiri sebagai bagian dari kemandirian industri nasional.

PT. TMI telah memulai pengembangan mobil nasional sejak 2024, dimulai dari tahap desain gaya dan pembuatan model tanah liat yang kini telah selesai. Saat ini, proyek tersebut memasuki tahap detail desain teknik yang akan berlangsung hingga 2026.

Setelah itu, pengembangan akan berlanjut ke tahap prototipe untuk memproduksi sekitar 40 unit mobil uji. Unit prototipe tersebut akan menjalani serangkaian pengujian, seperti uji keselamatan, kelayakan, dan benturan.

Dukungan fasilitas pengujian dari pemerintah menjadi sangat penting. Kementerian Perhubungan sedang menyiapkan lintasan pengujian yang saat ini dalam tahap pembangunan. Tanpa fasilitas ini, Indonesia tidak akan mampu memproduksi mobil nasional secara mandiri.

Proses produksi massal ditargetkan dimulai pada 2028. Tahap ini akan menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk memasuki era baru industri otomotif yang mandiri dan kompetitif.

Pemerintah Harus Hadir Adakan Mobil Nasional

Menurut Dirut PT Teknologi Militer Indonesia, Ir. Harsusanto, MM menilai penyebab utama kegagalan pengembangan mobil nasional terletak pada kurangnya konsistensi dan kehadiran pemerintah.

Menurutnya, proyek sebesar ini bukanlah pekerjaan ringan, sehingga pemerintah harus benar-benar hadir. Kehadiran tersebut tidak selalu berupa dana APBN, tetapi bisa melalui kemudahan perizinan, perpajakan, dan pemberian insentif.

“Pada masa lalu, kurangnya dukungan pemerintah menjadi salah satu alasan mengapa program mobil nasional tidak berhasil,” katanya.

Harsusanto juga percaya bahwa Indonesia memiliki pasar yang sangat besar. Oleh karena itu, Menteri Bappenas bahkan menyarankan agar proyek mobil nasional dimasukkan dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN).

Saat ini, PT TMI bersama Kementerian Perindustrian sedang berupaya merealisasikan hal tersebut. Ia berharap rencana ini dapat disetujui melalui penerbitan peraturan pemerintah, sehingga proyek ini mendapatkan dukungan yang lebih kuat.

Mobil listrik nasional yang dikembangkan ditargetkan memiliki harga maksimum Rp500 juta, dengan spesifikasi Sport Utility Vehicle (SUV) berkapasitas tujuh penumpang dan menggunakan baterai berbasis nikel. Sekali pengisian daya, kendaraan ini diproyeksikan mampu menempuh jarak hingga 600 kilometer.

“Dengan harga tersebut, produk ini cukup kompetitif dibandingkan mobil listrik sekelas dari negara mana pun,” tegasnya.

Keunggulan baterai nikel dibandingkan baterai lithium terletak pada kemampuan pengisian daya yang lebih cepat serta kapasitas penyimpanan energi yang lebih tinggi, sehingga jarak tempuhnya lebih jauh untuk kapasitas kilowatt yang sama.

Meski harganya sedikit lebih mahal dibandingkan baterai lithium, baterai nikel dianggap lebih efisien dan tahan lama. Saat ini, harga baterai masih menyumbang sekitar 35–40 persen dari total biaya mobil.

Namun, dalam dua hingga tiga tahun ke depan, seiring beroperasinya pabrik-pabrik baterai di Indonesia, biaya tersebut diperkirakan akan turun secara signifikan.

“Ini menjadi tantangan sekaligus peluang besar bagi pengembangan industri mobil nasional di masa mendatang,” ujarnya.

Mimpi yang Tertunda
Untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tertunda di bidang teknologi seperti mobil nasional dan pesawat terbang, menurut Harsusanto, Presiden Prabowo tidak bisa bekerja sendiri.

Meski seorang jenius, tanggung jawabnya sangat luas, mencakup penerbangan, kemaritiman, dan pertahanan. Oleh karena itu, diperlukan para penasihat, dan perguruan tinggi memiliki peran penting dalam hal ini.

Harsusanto menyebut bahwa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) saat ini belum menunjukkan hasil nyata yang dapat dirasakan. Universitas dan institut, seperti ITS dengan banyak ahli, riset, dan produk inovatif, harus lebih dikenal dan dekat dengan pemerintah. Harsusanto berkomitmen terus menyuarakan potensi ITS kepada Presiden.

Mengenai kelanjutan pengembangan teknologi Indonesia yang sempat terhenti setelah era B.J. Habibie, terdapat dua kendala utama, yaitu sumber daya manusia (SDM) dan pendanaan.

PT Dirgantara Indonesia saat ini belum tentu mampu mendesain pesawat seperti CN-235 karena SDM, perangkat lunak, perangkat keras, serta kemampuan pengembangannya tidak seperti dulu. Indonesia memerlukan sosok seperti B.J. Habibie untuk mendorong pemerintah lebih fokus pada teknologi.

Harsusanto mengatakan bahwa secara teknologi, Indonesia mundur sekitar 20 tahun dibanding sebelumnya. Dahulu kita bisa membuat CN-235 dan CN-250, tetapi sekarang justru mundur. Masalah lain adalah pendanaan, di mana fokus pemerintah saat ini ada pada sektor energi, air, dan lainnya.

Strategi yang diambil adalah kemitraan dengan pihak yang memiliki modal. Namun, jika pengelola dana hanya berlatar belakang finansial tanpa pemahaman teknologi dan industri, program tidak akan berjalan baik.

Menurutnya, ITS harus melibatkan orang-orang yang memahami teknologi, korporasi, industri proses, dan manufaktur agar pengelolaan dana lebih efektif.

“Inilah peran ITS, harus ada orang-orang yang mengerti teknologi, korporasi, industri proses, dan industri manufaktur. Dengan begitu, pengelolaan dana dan proyek teknologi bisa berjalan efektif,” jelasnya.

Sulit Terbuka
Sebagai alumni ITS, Harsusanto menjelaskan bahwa setiap pekerjaan besar selalu dimulai dengan desain filosofi. Setelah itu, disusun basic design, detail design, prototyping, testing, hingga akhirnya produksi massal. Pola berpikir seperti ini sudah ia pelajari sejak masa kuliah di ITS.

Namun, ia merasa pembelajaran di bidang keuangan masih kurang mendapatkan perhatian. Oleh karena itu, setelah lulus dari ITS, ia melanjutkan studi ke ITB untuk mendalami pengetahuan di bidang keuangan. Menurutnya, seorang insinyur juga perlu memahami aspek finansial agar dapat menilai kelayakan sebuah proyek.

Terkait sedikitnya alumni ITS yang berkarier di pusat pemerintahan maupun BUMN, ia menilai salah satu penyebabnya adalah lokasi kampus yang cukup jauh dari pusat pemerintahan, sehingga ITS kurang dikenal. Karena itu, ia menyarankan ITS memiliki kehadiran nyata di pusat pemerintahan dalam bentuk apa pun.

“Saya menyayangkan belum adanya alumni ITS yang menduduki posisi menteri. Saya tidak tahu kenapa, mungkin karena kampusnya jauh dari pusat,” katanya.

Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah keterbukaan dan jejaring. Ia membandingkan alumni ITB dan UI yang dinilainya lebih terbuka dan mudah berkolaborasi.

Alumni ITB, misalnya, cenderung terbuka saat membahas bisnis atau ide, sementara sesama alumni ITS kadang justru sulit terbuka satu sama lain.

Tonton Video Selengkapnya

Artikel Terkait