PWI, organisasi wartawan terbesar dan tertua di Indonesia, menghadapi konflik internal selama dua tahun setelah munculnya skandal “cash back” yang melibatkan Hendry Chaerudin Bangun, ketua PWI hasil Kongres Bandung pada September 2023.
Skandal ini mendorong sejumlah provinsi anggota PWI untuk mengadakan Kongres Luar Biasa (KLB) di Jakarta pada Agustus 2024, yang menghasilkan Zulmansyah Sekedang sebagai ketua umum.
Sejak itu, PWI terpecah menjadi dua kubu. Dualisme ini membuat PWI terjebak dalam konflik internal dan kehilangan banyak momentum penting.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, PWI gagal menyelenggarakan peringatan Hari Pers Nasional (HPN) secara utuh, dengan Presiden RI tidak hadir karena masing-masing kubu mengadakan HPN di lokasi berbeda.
PWI juga mengalami kerugian besar, kehilangan mitra kerja, sponsor, dan kesempatan menempatkan perwakilan di Dewan Pers periode 2025-2029. Program uji kompetensi wartawan (UKW) pun terhenti akibat keputusan Dewan Pers.
Perseteruan kedua kubu terus menguras energi, merusak citra organisasi, dan melumpuhkan kegiatan, meninggalkan anggota di seluruh Indonesia dalam kebingungan.
Akhiri Konflik
Kedua pihak memahami bahwa konflik berkepanjangan hanya akan membawa organisasi ke titik terendah. Mereka akhirnya sepakat untuk menggelar kongres rekonsiliasi.
Zulmansyah Sekedang memutuskan mundur dan memberikan dukungan kepada Akhmad Munir, Direktur Utama kantor berita Antara. Hendry Bangun maju sebagai wakil dari kubu kongres Bandung. Munir berhasil menang dengan perolehan suara 52 melawan 35.
Akhmad Munir, atau yang akrab disapa Cak Munir, diharapkan menjadi figur pemersatu dua kubu yang terpecah. Pengalaman organisasi Cak Munir sangat mumpuni.
Ia pernah menjabat sebagai Ketua PWI Jawa Timur dari 2010 hingga 2015, sebelum kemudian dipindah ke Jakarta untuk menjadi Direktur Utama kantor berita Antara.
Cak Munir dikenal memiliki kemampuan lobi yang baik dan mudah diterima di berbagai kalangan. Pengalaman jurnalistiknya pun sangat luas, mulai dari menjadi Kepala Biro Antara Jawa Timur hingga Direktur Utama kantor berita Antara, dengan cakupan liputan yang mencakup dalam negeri hingga luar negeri.
Berbekal pengalaman tersebut, Cak Munir diharapkan mampu mengembalikan marwah PWI ke tempat yang semestinya. PWI adalah “big brother,” saudara tua bagi semua organisasi wartawan di Indonesia.
PWI merupakan konstituen terbesar Dewan Pers, dan tanpa PWI, Dewan Pers kehilangan salah satu elemen konstituennya yang sangat penting.
Posisi PWI
Seumpama ormas Islam, PWI sama dengan Muhammadiyah atau NU, yang punya anggota puluhan juta. Tanpa NU atau Muhammadiyah maka MUI (Majelis Ulama Indonesia) akan kehilangan konstituen yang paling penting, dan legitimasi MUI bisa menjadi pertanyaan.
PWI mempunyai anggota 15 ribu orang di seluruh Indonesia. Ibarat partai politik, PWI adalah partai massa, anggotanya besar tapi secara kualitas masih belum merata.
Hal itu berbeda dengan AJI (Aliansi Jurnalis Independen), saudara muda PWI, yang lebih mirip dengan partai kader, jumlah anggotanya kecil tetapi militan. Ini menjadi tugas dan tantangan PWI ke depan.
PWI seharusnya tidak hanya seperti NU, yang memiliki anggota besar dan sebagian besar tersebar di masyarakat tradisional pedesaan. PWI perlu meniru Muhammadiyah dengan organisasi yang profesional dan anggota yang lebih terdidik.
Masih banyak anggota PWI yang belum memenuhi standar kompetensi. Dalam berbagai UKW yang diadakan di daerah-daerah, banyak wartawan bahkan tidak mampu mengoperasikan laptop.
PWI di era Cak Munir menghadapi tantangan besar akibat disrupsi teknologi. Kemajuan AI (artificial intelligence) mengancam banyak profesi manusia, termasuk profesi jurnalis.
Publik kini dapat dengan mudah mengakses berita dan analisis melalui AI, yang menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan profesi jurnalis.
Media sosial juga menjadi ancaman besar bagi wartawan, karena survei menunjukkan bahwa publik lebih banyak mengakses informasi melalui media sosial daripada media konvensional.
Peran jurnalis kini kalah dengan influencer, youtuber, dan pelaku media sosial lainnya. Era ini disebut oleh Tom Nichols dalam bukunya “The Death of Expertise” (2017) sebagai matinya kepakaran. Publik tidak lagi membutuhkan pakar di berbagai bidang karena telah tergantikan oleh youtuber dan influencer.
Para pejabat publik pun lebih percaya kepada influencer daripada jurnalis, bahkan rela membayar untuk tampil di kanal media sosial mereka. Media sosial kini lebih dipercaya dibandingkan media konvensional.
Salah satu indikator matinya kepakaran terlihat dari perbandingan jumlah jurnalis yang menjadi menteri dengan influencer atau pelaku media sosial. Meskipun ini bukan parameter yang paling valid, setidaknya dapat menjadi salah satu tolok ukur.
Pelaku media sosial seperti Raffi Ahmad dan Deddy Corbuzier dapat menduduki jabatan penting di pemerintahan. Beruntung masih ada Meutya Hafid dan Nezar Patria yang mewakili unsur jurnalis di kabinet, meskipun keduanya masuk melalui jalur politik.
Kepercayaan Publik
Tantangan terbesar bagi PWI dan jurnalis Indonesia adalah mengembalikan kepercayaan publik serta elite politik terhadap media konvensional. Fenomena Gubernur Jawa Barat, Deddy Mulyadi—yang dijuluki sebagai “gubernur konten”—menjadi peringatan bagi jurnalis.
Deddy Mulyadi memangkas anggaran kerja sama media dari Rp 50 miliar menjadi hanya Rp 3 miliar, mengklaim langkah tersebut sebagai efisiensi. Dengan anggaran kurang dari 10 persen, ia merasa lebih efektif dalam menjalin komunikasi politik dengan publik.
Fenomena seperti Deddy Mulyadi adalah gambaran umum banyak pejabat publik saat ini yang lebih percaya kepada media sosial dibandingkan media konvensional.
Mereka seringkali tidak menyadari bahwa media sosial memiliki mekanisme berbeda, berupa komunikasi satu arah, sementara media konvensional menyediakan ruang publik untuk dialog dan adu argumen, yang merupakan wujud kebebasan berpendapat yang dilindungi undang-undang.
Media konvensional adalah pilar keempat demokrasi yang harus tetap dijaga keberadaannya. Tanpa media konvensional, demokrasi akan melemah, membuka jalan bagi pemimpin populis yang mengeksploitasi media untuk kepentingan pribadi.
Pemerintah dan elite politik, sebagai bagian dari ekosistem media, harus turut bertanggung jawab menjaga eksistensi media konvensional.
Sebagai organisasi jurnalis terbesar dan tertua, PWI menghadapi tantangan besar sekaligus harapan tinggi dari seluruh stakeholder media nasional. Selamat bertugas, Cak Munir!






