(image : VOI)

Abolisi dan Amnesti Prabowo Dilema Politik dengan Hukum

Share

Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti terhadap Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong. Sebuah keputusan yang dilematis. Di satu sisi, kebijakan tersebut bisa menjadi pintu menuju rekonsiliasi nasional. Di sisi lain ada yang menilai aroma politik proses hukum sangat kuat. Prabowo mendapat banyak pujian, tetapi para pegiat antikorupsi melihat sebagai langkah mundur.

Hasto, mantan Sekjen PDIP, menjadi terdakwa dalam kasus suap pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 Harun Masiku. Ia ditetapkan sebagai tersangka suap dan perintangan penyidikan, kemudian divonis 3,5 tahun penjara.

Hakim menyatakan Hasto bersalah memberi suap kepada mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan, namun tidak terbukti melakukan perintangan penyidikan.

Tom Lembong divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan dalam kasus impor gula. Hakim menyatakan Tom bersalah karena memperkaya diri dan orang lain, menyebabkan kerugian negara hingga Rp 515 miliar.

Kewenangan Presiden
Dengan abolisi dan amnesti tersebut, enteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, mengungkapkan bahwa Tom Lembong dan Hasto tak perlu mengajukan banding.

Yusril menegaskan, pemberian amnesti dan abolisi terhadap Hasto Kristiyanto Tom Lembong sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi.

Ia menjelaskan bahwa Pasal 14 UUD 1945 secara tegas menyatakan Presiden memberikan amnesti dan abolisi dengan mempertimbangkan pendapat DPR.

Menurut Yusril, amnesti ini secara otomatis menghapus seluruh proses hukum terhadap Hasto, sehingga Hasto tidak perlu mengajukan banding atas putusan pengadilan tingkat pertama.

Hal yang sama berlaku untuk kasus Tom Lembong yang sedang dalam proses banding setelah diputus oleh pengadilan tingkat pertama. Dengan pemberian abolisi, seluruh proses penuntutan dihapuskan, dianggap tidak ada penuntutan, jelasnya.

Fenomena hukum sering kali terkait erat dengan politik, menjadi alat kepentingan pihak tertentu. Pada akhirnya, banyak persoalan hukum diselesaikan melalui cara politik.

Peradilan Politik
Ahli hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, menyebut kasus Tom Lembong dan Hasto sebagai bentuk peradilan politik, diperkuat dengan pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Tom Lembong oleh Presiden Prabowo Subianto.

Feri menjelaskan, peradilan politik dirancang untuk membungkam atau menjatuhkan lawan politik. Amnesti adalah pengampunan hukuman yang diberikan kepala negara kepada individu atau kelompok tertentu.

Pemberian abolisi dan amnesti merupakan hak prerogatif presiden di ranah yudikatif yang diatur dalam Pasal 14 Ayat 2 UUD 1945, di mana presiden hanya dapat memberikan amnesti atau abolisi dengan mempertimbangkan pendapat DPR.

Berdasarkan Pasal 14 Ayat 2 UUD 1945, Feri menilai pemberian abolisi dan amnesti oleh presiden erat kaitannya dengan politik. Pernyataannya tersebut dikuatkan Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi.

Ia menyebut kasus yang melibatkan Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong bernuansa politis. Prasetyo menjelaskan bahwa dalam kasus ini, Presiden Prabowo menggunakan hak politiknya melalui pemberian amnesti dan abolisi.

Ia juga menekankan pentingnya persatuan nasional untuk menghadapi berbagai tantangan, mengingat masih banyak persoalan bangsa yang membutuhkan kerja sama semua elemen masyarakat. “Lebih baik kita berkonsentrasi, kita amankan pangan kita,” ujarnya.

Etika Kekuasaan
Jenderal TNI (Purn) AM Hendropriyono menyatakan bahwa keputusan Presiden Prabowo membuka ruang refleksi publik terkait etika kekuasaan, transparansi politik, dan kemanusiaan dalam hukum.

Dalam kasus Thomas Lembong, abolisi dinilai sebagai langkah untuk menghindari polarisasi politik berbasis kriminalisasi opini atau tindakan ekonomi pasca jabatan.

Sedangkan dalam kasus Hasto Kristiyanto, amnesti mencerminkan pendekatan restoratif terhadap friksi politik serta menjaga stabilitas pada masa transisi pemerintahan.

Hendropriyono tidak melihat langkah Prabowo ini sebagai intervensi kekuasaan terhadap hukum. Sebaliknya, ia memandangnya sebagai pelajaran akademik bahwa dalam negara hukum demokratis, kekuasaan presiden untuk memberikan pengampunan adalah bagian dari sistem check and balances.

“Ini bukan pelanggaran hukum, tetapi koridor konstitusional yang dapat digunakan secara bijak untuk kepentingan umum yang lebih besar,” katanya.

Kasus Korupsi
Sebetulnya, presiden-presiden sebelum Prabowo juga pernah memberikan amnesti hingga abolisi. Biasanya, amnesti dan abolisi dilakukan menjelang bulan kemerdekaan.

Namun, kali ini menjadi kontroversi dan sorotan publik karena amnesti dan abolisi terhadap Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto menandai pertama kalinya langkah tersebut diambil dalam perkara tindak pidana korupsi.

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyebut bahwa secara konstitusional, presiden memang memiliki kewenangan untuk memberikan amnesti dan abolisi, dan tidak ada pembatasan jenis tindak pidana tertentu.

“Tetapi amnesti dan abolis untuk kasus tipikor ini baru pertama kali,” ujar Fickar.

Menurutnya, Presiden Prabowo dan DPR memang melihat bahwa kasus yang menjerat keduanya merupakan perkara tipikor, namun motif dan latar belakangnya sangat politis. Oleh karena itu, pertimbangan politik menjadi bagian dari dasar pemberian abolisi dan amnesti tersebut.

Menyatukan Tiga Poros
Ada yang berpendapat bahwa abolisi dan amnesti ini menyatukan tiga poros utama politik dalam satu meja, yaitu Prabowo, Megawati, dan Jokowi. Prabowo tetap dipandang sebagai sosok yang menghormati hukum sekaligus berjiwa besar.

Ketua Harian Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, mengunggah tiga foto di Instagram tentang pertemuannya dengan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, serta dua anaknya, Puan Maharani dan Prananda Prabowo.

“Merajut tali kebangsaan dan persaudaraan,” tulis Wakil Ketua DPR RI tersebut.

Dosen Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, menyatakan bahwa pemberian amnesti dan abolisi ini dianggap sebagai upaya Presiden Prabowo menjaga kondusivitas dan kerja sama semua elemen.

Ia menyoroti kasus Tom Lembong dan Hasto, yang dinilai lebih kental unsur politik dibanding unsur hukum. Tom merupakan pendukung Anies Baswedan, sedangkan Hasto mendukung Ganjar Pranowo—keduanya pesaing Prabowo dalam Pilpres 2024.

Hendri Satrio, dosen komunikasi politik Universitas Paramadina, melihat tindakan Prabowo ini sebagai pesan politik untuk merangkul semua pihak, termasuk lawan politiknya, demi membangun Indonesia yang lebih baik.

Preseden Buruk
Namun, Reza Indragiri, ahli psikologi forensik, menegaskan pentingnya langkah serius pemerintah agar abolisi dan amnesti ini tidak dianggap merusak upaya pemberantasan korupsi

“Jaksa sudah bekerja keras menunjukkan tindak pidana dengan menganalisis bukti-bukti dan saksi. Hasil kerja keras itu akan diapakan?” ungkapnya.

Sementara itu, Bivitri Susanti, dosen di STIH Jentera, menilai pemberian amnesti dan abolisi terhadap pelaku kejahatan luar biasa seperti korupsi merupakan
Preseden buruk bagi penegakan hukum terjadi ketika masyarakat menganggap bahwa jika seseorang sudah atau diduga melakukan tindak pidana, mereka bisa diampuni hanya karena memiliki kedekatan dengan penguasa.

Tom Lembong diberi abolisi, yang seharusnya tidak memerlukan penuntutan, karena abolisi itu sepenuhnya menghapus semua tindakan hukum. Sementara itu, dalam kasus amnesti, tindakannya tetap tercatat sehingga yang bersangkutan memiliki catatan melakukan tindak pidana,

seperti kasus korupsi Hasto Kristiyanto, meskipun ia tidak dihukum secara pidana. Jadi, dengan amnesti, tindakannya tetap ada dan ia dianggap telah melakukann tindak pidana tetapi diampuni sehingga tidak harus dihukum.

“Kalau pertanyaannya benar nggak sih secara hukum? Benar, karena terserah presiden. Tapi enggak bagusnya karena tergantung kedekatan-kedekatan, sandera-sandera politik ataupun tawar menawar politik,” katanya.

Risiko Presiden
Pengamat Hendri Satrio menilai pemberian abolisi dan amnesti menimbulkan risiko bagi Prabowo. Langkah ini, khususnya kepada dua tokoh yang terjerat kasus korupsi, dapat memicu persepsi bahwa Prabowo mengorbankan komitmen pemberantasan korupsi demi kepentingan politik.

“Meski abolisi dan amnesti adalah hak prerogatif presiden, kelompok anti-korupsi dan kritis bisa melihat ini sebagai langkah yang melemahkan keadilan,” katanya.

Hendri juga menekankan pentingnya komunikasi publik yang jelas untuk mencegah persepsi negatif. Jika masyarakat melihat langkah ini sebagai upaya tulus untuk persatuan, Prabowo akan mendapatkan legitimasi lebih kuat. Sebaliknya, jika dianggap sebagai manuver politik, kepercayaan terhadap pemerintahannya bisa menurun.

“Prabowo sedang bermain di level tinggi. Dia menggunakan simbol-simbol politik untuk bicara soal persatuan. Namun jika publik curiga ini hanya akal-akalan, narasi kepemimpinannya bisa runtuh,” tambahnya.

Feri Amsari memberikan pandangan berbeda. Ia melihat preseden ini dapat menciptakan tradisi buruk dalam politik dan tata negara.

“Tinggal mengkriminalisasi lawan politik atau menghidupkan kasus lama, lalu kemudian dia akan berbalik mendukung pemerintah. Cara ini sangat buruk dalam demokrasi konstitusional kita,” jelasnya.

Bergabungnya PDIP ke pemerintah setelah amnesti Hasto, menurut Feri, dapat memberikan kesan bahwa amnesti hanya untuk kepentingan politik dan agenda buruk yang merusak demokrasi, terutama menekan oposisi.

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menegaskan posisi politik partainya sebagai kekuatan penyeimbang dalam pemerintahan. PDIP tidak mengambil jalur oposisi keras, melainkan menjadi mitra strategis pemerintah, mirip dengan sikap politik pada era pemerintahan Jokowi

Artikel Terkait