Pro dan Kontra Posisi Kolegium Kedokteran – Oleh Prof. Dr. dr. Anies, M.Kes, PKK

Share

Akhir-akhir ini banyak dipertanyakan publik, tentang apa itu kolegium, khususnya kolegium kedokteran. Hal ini muncul setelah adanya Seruan Keprihatinan atas Situasi Pendidikan Kedokteran dan Layanan Kesehatan di Indonesia yang datang dari para akademisi senior. Seperti diketahui, ratusan guru besar fakultas kedokteran telah mengkritisi kebijakan kesehatan nasional yang berisiko menurunkan mutu pendidikan kedokteran.

Kolegium adalah badan yang dibentuk oleh organisasi profesi untuk masing-masing cabang disiplin ilmu, yang bertugas mengampu cabang disiplin ilmu tersebut. Ada perbedaan soal pembentukan kolegium di beberapa negara dan Indonesia.

Di beberapa negara lain, kolegium lebih dulu terbentuk sebelum terbentuknya asosiasi profesi. Jadi, kolegium terpisah dari asosiasi profesi kedokteran.

Sedangkan di Indonesia, kolegium justru dibentuk oleh asosiasi dokter spesialis di lingkungan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Karena itu pentingnya uji kompetensi bagi dokter Indonesia.

Kolegium merupakan kumpulan organisasi yang bertanggung jawab dalam mengawal pendidikan kedokteran. Sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,

bahwa setiap dokter harus melampirkan sertifikat kompetensi sebagai salah satu syarat untuk mengurus registrasi di Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Kewajiban itu juga harus dipenuhi oleh dokter yang baru lulus dari Fakultas Kedokteran maupun PSPD atau Program Studi Pendidikan Dokter.

Ini merupakan tahap pendidikan kedokteran yang fokus pada pembelajaran klinik dan komunitas di berbagai tingkat layanan kesehatan, bertujuan untuk mempersiapkan mahasiswa menjadi dokter yang kompeten. yang juga harus melakukan registrasi di KKI.

Sertifikat kompetensi diperoleh melalui uji kompetensi yang diatur oleh Kolegium ilmu masing-masing. Setiap peserta harus bisa mendapat standar kompetensi yang telah ditetapkan. Kalau tidak lulus ya harus mengulang lagi sampai lulus.

Ukurannya ada dua, yaitu ukuran keilmuan dan ukuran keterampilan. Setelah lulus Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) akan mendapat sertifikat kompetensi dari KDI (Kolegium Dokter Indonesia).

Sertifikat inilah yang kemudian digunakan untuk mendapatkan surat registrasi dokter yang dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).

Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) digunakan sebagai tolok ukur dan barometer kerja bagi seorang dokter, dan sertifikat kompetensi merupakan dokumen yang menandai bahwa pemiliknya sudah kompeten untuk melaksanakan praktik dokter umum.

Peran Pemerintah
Kolegium Kedokteran Indonesia adalah badan yang dibentuk oleh organisasi profesi untuk masing-masing cabang disiplin ilmu kedokteran. Kolegium ini bertugas mengampu cabang ilmu tersebut, menetapkan standar pendidikan profesi, dan menyusun standar kompetensi dokter dan dokter gigi spesialis.

Kolegium kedokteran yang selama ini dikenal sebagai lembaga ilmiah independen kini menuai sorotan tajam dari kalangan profesi medis. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengkritik keras perubahan status kolegium yang kini berada di bawah kendali Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024. Perubahan ini dinilai menghapus kolegium dan berpotensi mengancam profesionalisme serta objektivitas pendidikan kedokteran di Indonesia.

Lalu, apa sebenarnya Kolegium Kedokteran dan bagaimana fungsinya di dunia kedokteran? Secara definisi, kolegium kedokteran adalah badan ilmiah yang dibentuk oleh organisasi profesi untuk setiap cabang disiplin ilmu kedokteran.

Lembaga ini bertugas mengampu cabang ilmu tersebut, menetapkan standar pendidikan profesi, serta menyusun standar kompetensi dokter dan dokter gigi spesialis.

Kolegium dan organisasi profesi sangat berhubungan erat dan tidak dapat dipisahkan, karena dokter-dokter spesialis dalam bidang ilmu yang sama akan bergabung dalam organisasi tersebut demi memajukan ilmu kedokteran.

Di dalamnya terdapat dokter-dokter yang berkecimpung dalam dunia pendidikan yang akan menjadi tumpuan untuk kemajuan ilmu yang dapat dipilih menjadi ketua dan anggota kolegium.

Oleh karenanya, keberadaan kolegium perlu dipertahankan sebagai badan otonom yang mempunyai tugas untuk menjaga baku mutu pendidikan profesi kedokteran di Indonesia serta mengelola pendidikan profesi kedokteran, termasuk pendidikan dokter, dokter spesialis, dan dokter subspesialis.

Dalam UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, kolegium disebut sebagai lembaga otonom yang berperan penting dalam menjaga mutu dan integritas pendidikan kedokteran.

Selama lebih dari 40 tahun, kolegium telah menjadi pilar penting dalam dunia medis Indonesia. Meskipun demikian, UU No. 17 Tahun 2023 kemudian dinilai mengubah peran kolegium secara fundamental.

Pasal 272 ayat (1) mendefinisikan kolegium sebagai alat kelengkapan Konsil, yang kini pengangkatan dan pemberhentiannya diatur langsung oleh Menteri Kesehatan. Pasal 707, 708, dan 710 dalam PP 28/2024 memperkuat posisi pemerintah sebagai pengendali kolegium, yang berarti lembaga ini tidak lagi independen.

Perubahan ini memicu kekhawatiran besar dari kalangan profesi medis karena mengubah kolegium dari lembaga akademik menjadi bagian dari birokrasi pemerintahan. Dengan pergeseran ini, kolegium tidak lagi menjalankan fungsi ilmiah yang independen, tetapi menjadi perpanjangan tangan pemerintah.

Tentu saja hal ini menyimpang dari semangat konstitusi dan mengancam profesionalisme medis. Perubahan ini berisiko menghilangkan objektivitas dalam penetapan standar pendidikan kedokteran serta membuka peluang intervensi terhadap Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), yang sebelumnya merupakan badan independen di bawah Presiden, bukan kementerian.

Menolak Perubahan
Kabar terkini terkait Kolegium Kedokteran Indonesia (KKI) menunjukkan adanya perdebatan dan perubahan terkait status dan peran mereka. Beberapa pihak, seperti IDI dan beberapa kolegium spesialis,

menolak perubahan dalam Undang-Undang Kesehatan yang mengurangi independensi kolegium dan menyerahkan kontrol kepada Kementerian Kesehatan.

Tentu saja ini menimbulkan dampak pada profesi dokter. Dampak tentu tidak main-main. Jika KKI tidak lagi dianggap independen oleh lembaga internasional seperti International Association of Medical Regulatory Authorities (IAMRA), maka Indonesia terancam kehilangan pengakuan global dalam standar profesi kedokteran.

Hal ini dapat berimbas pada penurunan kualitas dan kepercayaan terhadap sistem pendidikan serta praktik kedokteran nasional. Karena itulah, kritikan dari IDI dan IDAI pun menekankan bahwa arah kebijakan ini tidak hanya merugikan dokter,

tapi juga masyarakat luas yang bergantung pada layanan kesehatan yang profesional dan bermutu. Pelayanan kedokteran yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang diberikan sesuai standar dan kebutuhan pasien, serta dapat memuaskan setiap pemakai jasa.

Pelayanan ini juga harus dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang kompeten dan sesuai dengan kode etik yang berlaku. Pertanyaannya, akankah kita masih mengharapkan layanan kesehatan yang profesional dan bermutu?
***

Artikel Terkait

Scroll to Top