Seperti disampaikan 158 Guru Besar FKUI melalui pernyataan “Salemba Berseru”, yang menilai kebijakan Kementerian Kesehatan dapat mengancam standar pendidikan kedokteran dan keselamatan masyarakat. Kritik ini berakar pada kekhawatiran terhadap kebijakan yang berpotensi menurunkan mutu pendidikan dokter dan dokter spesialis. Para guru besar menekankan bahwa pendidikan kedokteran harus melalui proses akademik panjang mengikuti standar global untuk menghasilkan dokter yang kompeten.
“Pendidikan dokter tidak dapat disederhanakan,” tegas Wawan.
Mereka juga mengkritisi rencana penyelenggaraan pendidikan dokter spesialis di luar sistem universitas tanpa kerja sama erat dengan Fakultas Kedokteran, yang dikhawatirkan akan menciptakan ketimpangan kualitas antar dokter. Kritik juga diarahkan pada pemisahan fungsi akademik dari rumah sakit pendidikan karena dinilai merusak integrasi antara pelayanan, pengajaran, dan penelitian yang selama ini berjalan efektif.
Selain itu, kebijakan mutasi terhadap tenaga medis langka, terutama dokter subspesialis, juga mendapat sorotan tajam karena dilakukan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap pendidikan dan pelayanan kesehatan. Mutasi semacam ini berisiko mengganggu proses pengkaderan, serta mengurangi akses masyarakat terhadap layanan spesialistik dan subspesialistik. Terakhir, para guru besar mengkritisi erosi independensi kolegium kedokteran, lembaga yang selama ini menjaga standar kompetensi profesi.
Penjaga Mutu Terancam
Salah satu isu paling krusial adalah perubahan tata kelola kolegium kedokteran yang kini berada di bawah Kementerian Kesehatan. Meskipun pemerintah menyatakan kolegium menjadi lebih independen karena berada di bawah Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, Wawan justru melihat hal ini sebagai bentuk intervensi yang mengancam independensi kolegium sebagai penjaga mutu profesi.
Menurunya, kolegium idealnya menjadi badan profesional yang independen, serta berperan menjaga dan meningkatkan standar kompetensi dokter secara ilmiah, berdasarkan perkembangan ilmu kedokteran global dan kebutuhan masyarakat. Kolegium harus otonom, bebas dari campur tangan politik, agar dapat mengambil keputusan secara objektif. Otoritas penuh dalam menetapkan standar kompetensi, kurikulum, serta proses sertifikasi dan resertifikasi dokter spesialis sangat penting karena menyangkut keselamatan pasien.
Ia menilai, pemindahan kolegium ke dalam struktur KKI yang lebih dekat dengan kekuasaan politik justru meningkatkan risiko intervensi non-akademik dan melemahkan perannya. Kolegium harus menjadi penjaga gerbang (gatekeeper) profesi dan memastikan hanya dokter dengan kompetensi memadai yang boleh praktik di bidangnya. Karena itu, kerja sama erat dengan fakultas kedokteran, rumah sakit pendidikan, dan organisasi profesi perlu dijaga untuk menjaga relevansi pendidikan dengan perkembangan ilmu kedokteran.
Dalam menjalankan fungsinya, kolegium harus transparan dan akuntabel kepada profesi dan masyarakat, bukan hanya kepada pemerintah. Proses seleksi anggota kolegium harus berbasis merit, didasarkan pada keahlian dan integritas. Jika berada di bawah kendali pemerintah, ada kekhawatiran proses penunjukkan akan didasarkan pada faktor non-akademik.
Oleh karena itu, secara struktural, kolegium sebaiknya tetap menjadi bagian dari ekosistem organisasi profesi kedokteran, bukan berada di bawah pemerintah. Model seperti ini telah terbukti efektif di berbagai negara dengan sistem kesehatan yang kuat, di mana kolegium menjadi mitra strategis pemerintah tanpa kehilangan independensinya.
“Para guru besar khawatir kolegium hanya akan menjadi lembaga administratif pemerintah. Pemerintah memang berperan dalam regulasi, tetapi tidak seharusnya mengendalikan atau mengintervensi keputusan akademik dan profesional kolegium,” kata Wawan.
Dampak Jangka Panjang
Jika kolegium berada di bawah kendali pemerintah, muncul risiko penurunan standar kompetensi dokter akibat tekanan untuk memenuhi target kuantitas. Selain itu, kualitas lulusan kedokteran Indonesia bisa kehilangan pengakuan internasional karena standar yang melemah.
Kolegium yang tidak independen berisiko tertinggal karena tidak bebas memperbarui standar sesuai perkembangan ilmu kedokteran global. Hal ini dapat memunculkan konflik kepentingan yang menggeser fokus dari kebutuhan pasien dan standar ilmiah ke kepentingan administratif atau politis. Pengambilan keputusan profesional, seperti penentuan siapa yang layak menjadi spesialis, juga berpotensi terpolitisasi. Peran fakultas kedokteran pun bisa melemah karena terganggunya sinergi dengan kolegium.
Dalam jangka panjang, intervensi terus-menerus terhadap standar profesi bisa menurunkan minat generasi muda untuk menekuni profesi kedokteran. Meskipun dampaknya mungkin tidak langsung terasa, namun dalam satu generasi ke depan (10–20 tahun), kita mungkin akan menyaksikan penurunan signifikan dalam kualitas layanan kesehatan nasional.
“Saat itulah masyarakat akan merasakan dampak sebenarnya, dan akan sangat sulit untuk membangun kembali sistem yang telah rusak,” ujarnya.
Kebijakan Mutasi Dokter
Wawan menyoroti masalah distribusi tenaga kesehatan yang belum merata. Menurutnya, solusi pemerataan harus dilakukan secara terencana dengan mempertimbangkan ekosistem pendidikan kedokteran, bukan dengan mutasi yang bersifat sewenang-wenang.
Kebijakan Kementerian Kesehatan terkait mutasi dokter sebenarnya bertujuan untuk pemerataan layanan kesehatan. Namun, implementasinya bermasalah karena memindahkan tenaga medis langka tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap proses pendidikan dan pengkaderan yang memerlukan waktu panjang dan pembimbingan intensif.
“Untuk menghasilkan satu dokter subspesialis, dibutuhkan waktu 10–15 tahun sejak masuk program spesialis, dengan proses mentoring yang intensif. Ketika mentor dipindahkan, proses pengkaderan terhenti, dan justru mengurangi jumlah subspesialis di masa depan,” jelasnya.
Mutasi mendadak juga berisiko membahayakan pasien dengan kondisi kompleks yang sedang menjalani perawatan jangka panjang. Di sisi lain, mutasi ke fasilitas dengan infrastruktur yang tidak memadai justru menyia-nyiakan kompetensi dokter. Oleh karena itu, pemerataan layanan kesehatan perlu dilakukan secara komprehensif dengan perencanaan matang, pemberian insentif yang tepat, serta mempertimbangkan keberlangsungan pendidikan kedokteran, keselamatan pasien, dan pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang berkelanjutan.
Implementasi UU Kesehatan
UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023 sebenarnya memiliki banyak aspek positif, seperti penekanan pada upaya promotif-preventif dan perluasan akses layanan kesehatan. Namun, pelaksanaanya justru menuai kritik karena dinilai menimbulkan beberapa masalah serius.
Beberapa persoalan utamanya adalah interpretasi yang terlalu luas terhadap pasal-pasal tertentu secara sepihak, tanpa mempertimbangkan undang-undang lain yang terkait, seperti UU Pendidikan Tinggi. Regulasi turunannya pun dibuat secara tergesa tanpa kajian mendalam dan minim dialog dengan pemangku kepentingan, sehingga menghasilkan kebijakan yang tidak komprehensif.
Wawan juga menyoroti bahwa implementasi UU ini mengabaikan prinsip gradualitas dan transisi yang terencana, sehingga dapat mengganggu sistem pendidikan dan layanan kesehatan yang sedang berjalan. Selain itu, pendekatannya terlalu sentralistik dan kurang menghargai otonomi akademik perguruan tinggi, serta kecenderungan mengabaikan bukti ilmiah dan best practice global, semakin memperparah situasi.
Wawan menegaskan bahwa mereka tidak menolak UU Kesehatan secara keseluruhan, namun mengkritisi penerapannya yang dianggap tidak sejalan dengan upaya peningkatan mutu pendidikan dan pelayanan kesehatan.
“Reformasi memang diperlukan, tetapi harus dilakukan dengan hati-hati, mempertimbangkan dampak, dan mengutamakan keselamatan pasien dalam jangka panjang,” katanya.