Hidup Kedua Ditemukan dari Negeri Tiongkok

Share

Ketika langkah medis di tanah air tak lagi memberi kepastian, dan waktu terus mengejar, ada orang memilih untuk tidak menyerah. Mereka pergi lebih jauh, melewati batas negara, mencari harapan yang tersisa sampai ke negri Cina.

Di Tiongkok—negeri yang dikenal dengan kedisiplinan, teknologi, dan kearifan pengobatan kunonya— beberapa pasien Indonesia justru menemukan hidup keduanya.

Inilah kisah tentang keberanian, kepercayaan, dan keajaiban medis yang mengubah takdir. Tiongkok kian mengukuhkan posisinya sebagai salah satu destinasi utama layanan kesehatan di Asia.

Dengan kombinasi teknologi medis canggih, integrasi pengobatan tradisional dan modern, serta efisiensi biaya yang bersaing, negeri ini menjadi rujukan utama bagi ribuan pasien dari kawasan Asia setiap tahunnya — termasuk dari Indonesia.

Dalam dua dekade terakhir, pemerintah Tiongkok berinvestasi besar-besaran dalam pengembangan sektor kesehatan. Rumah sakit di kota-kota seperti Beijing, Guangzhou, dan Shanghai kini dilengkapi dengan fasilitas mutakhir

untuk operasi kompleks seperti transplantasi organ, bedah otak, pengobatan kanker, dan terapi gen. Tak hanya itu, model pelayanan berbasis integrasi medis-modern dan Traditional Chinese Medicine (TCM) juga menjadi nilai tambah.

Pasien dapat menjalani kemoterapi dosis rendah bersamaan dengan herbal Tiongkok yang telah distandardisasi, serta akupunktur untuk mengurangi efek samping. Salah satu layanan unggulan yang membuat Tiongkok dilirik adalah kecepatan dan keandalan dalam transplantasi organ, terutama transplantasi hati.

Menurut data dari China Organ Transplant Response System (COTRS), waktu tunggu donor organ di beberapa rumah sakit utama di Tiongkok bisa lebih singkat dibanding negara-negara Barat atau Asia Tenggara.

Ganti Hati
Dua tokoh masing-masing Dahlan Iskan, tokoh media nasional, mantan Menteri BUMN sebagai contoh nyata bagaimana Tiongkok menjadi “penyelamat hidup”.

Pada tahun 2007, Dahlan divonis mengalami kerusakan hati parah akibat hepatitis B yang dideritanya sejak lama. Kondisinya terus menurun dan pengobatan
di Indonesia tidak lagi memberi harapan.

Ia akhirnya memutuskan untuk menjalani transplantasi hati di Tianjin First Central Hospital, salah satu rumah sakit terbesar di Tiongkok untuk operasi ini. Prosedur transplantasi dilakukan dalam waktu relatif cepat setelah ia mendaftar, tanpa harus menunggu donor hingga bertahuntahun.

Operasi berjalan sukses dan Dahlan pulih dalam beberapa bulan. Ia bahkan kembali aktif memimpin media dan menjabat di pemerintahan tak lama setelahnya.

“Saya seperti terlahir kembali,” ujar Dahlan dalam salah satu wawancara pasca operasi.

Ia juga membagikan pengalamannya dalam buku berjudul “Ganti Hati” yang banyak menginspirasi pembaca tentang keberanian, harapan, dan keajaiban ilmu kedokteran. Dahlan menerima donor hati dalam waktu relatif singkat.

Operasi dilakukan dengan cepat dan presisi. Ia pulih dan kembali ke aktivitas publik. Dalam bukunya “Ganti Hati”, ia menulis.

Pengobatan Jantung
Tokoh Muhammadiyah dan cendekiawan muslim, (Alm.) Buya Syafii Maarif, juga sempat menjalani pengobatan jantung di Tiongkok. Setelah mengalami gangguan

jantung kronis dan sempat dirawat di Indonesia, Buya menerima saran dari sahabatnya di komunitas akademik untuk menjalani terapi jantung non-invasif berbasis metode China–German Cardiology Alliance di Shanghai.

Buya menjalani perawatan berbasis low-energy shockwave therapy yang membantu melancarkan aliran darah dan regenerasi jaringan jantung. Setelah beberapa pekan perawatan dan rehabilitasi ringan, ia kembali bugar dan sempat melakukan kunjungan ke berbagai forum internasional.

Tak hanya tokoh publik, banyak pasien biasa dari Indonesia juga menjalani pengobatan di Tiongkok dan berhasil. Ririn (38), ibu dua anak asal Bandung, didiagnosis kanker nasofaring stadium 3 pada 2022. Setelah pengobatan lokal tak lagi memberi perkembangan, ia mencari alternatif lain.

Ririn menjalani terapi kombinasi di Fuda Cancer Hospital Guangzhou, yaitu imunoterapi, cryosurgery, dan herbal TCM. Efeknya signifikan, ukuran tumor menyusut hingga 85% dalam dua bulan. Efek samping yang dirasakan juga jauh lebih ringan dibanding kemoterapi konvensional.

“Saya sudah mempersiapkan mental untuk yang terburuk. Tapi yang saya temukan di Tiongkok adalah keajaiban,” katanya sambil menitikkan air mata.

Harapan Baru dari Timur
Kisah-kisah seperti Dahlan Iskan, Buya Syafii, hingga Ririn dari Bandung, menjadi bukti bahwa pengobatan di Tiongkok bukan hanya soal teknologi, tetapi juga tentang pendekatan holistik yang memanusiakan pasien.

Ketersediaan layanan cepat, pendekatan integratif, dan keberhasilan klinis menjadikan Tiongkok pilihan logis sekaligus emosional bagi banyak pasien yang merasa tidak punya banyak pilihan di negaranya sendiri.

Dalam era globalisasi medis, Tiongkok tampil bukan sekadar sebagai tempat berobat, tetapi tempat menemukan harapan baru untuk hidup. Banyak rumah sakit di Tiongkok kini memiliki pusat layanan pasien internasional yang didesain khusus untuk mengatasi kendala bahasa, perbedaan budaya, hingga kebutuhan logistik.

Layanan tersebut mencakup penerjemah medis, pengurusan visa medis, transportasi, akomodasi, hingga konsultasi lanjutan daring setelah pasien pulang. Pasien dari Indonesia biasanya mendapat rujukan melalui agen medis atau komunitas penyintas yang sudah pernah menjalani perawatan di sana.

Menariknya, biaya pengobatan di Tiongkok umumnya lebih kompetitif dibanding Singapura atau Jepang. Misalnya, transplantasi hati di Tiongkok bisa menghabiskan biaya sekitar US$ 70.000 – 100.000, sementara di Amerika bisa mencapai tiga kali lipat.

Namun yang paling penting, banyak pasien melaporkan peningkatan signifikan dalam kualitas hidup mereka pasca perawatan di Tiongkok. Ini menjadikan negara tersebut sebagai alternatif utama saat pilihan domestik tidak memadai.

Dengan ekosistem medis yang semakin maju, pelayanan yang ramah internasional, serta berbagai kisah inspiratif seperti yang dialami Dahlan Iskan, Tiongkok kini menjadi simbol harapan baru bagi pasien dari Asia, termasuk Indonesia.

Dalam era globalisasi medis, pilihan berobat ke luar negeri bukan hanya tentang fasilitas canggih, tetapi juga tentang peluang kedua untuk hidup yang lebih baik. Tiongkok membuktikan bahwa mereka siap memberikan peluang tersebut.

Artikel Terkait

Scroll to Top