Penggantinya adalah Purbaya Yudi Sadewa, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Dewan Komisioner LPS dan lebih berfokus pada ‘‘kebijakan moneter’’ daripada ‘‘kebijakan fiskal’’.
Hal ini membuat berbagai pihak meragukan kemampuannya dalam mengelola keuangan negara. Bahkan, di awal masa jabatannya, beberapa pernyataannya kepada media dianggap blunder hingga ia harus mengklarifikasi dan meminta maaf kepada publik.
Namun, tak lama setelah itu, Purbaya langsung membuat gebrakan yang mungkin belum pernah dilakukan sebelumnya. Kemenkeu menginjeksi dana sebesar Rp 200 triliun ke bank-bank pelat merah yang tergabung dalam Himbara.
Dana tersebut berasal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) tahun 2024 yang tidak terserap dan mengendap di Bank Indonesia, dengan total mencapai Rp 400 triliun.
Efek Purbaya pun mulai terlihat, saham bank-bank Himbara menguat dan IHSG berubah menjadi hijau. Tujuan dari injeksi ini adalah untuk meningkatkan likuiditas bank, memperluas suplai kredit kepada masyarakat, dan memutar roda perekonomian.
Harapannya, langkah ini dapat meningkatkan minat investasi, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Gaya koboi Purbaya sangat berbeda dengan pendekatan hati-hati Sri Mulyani dalam kebijakan fiskal. Namun, kebijakan injeksi ini juga memiliki potensi risiko, seperti kemampuan bank dalam menyalurkan kredit dan ancaman kredit macet.
Empat Masalah
Publik yang sebelumnya skeptis terhadap Purbaya kini justru antusias menunggu gebrakan selanjutnya. Dengan segudang pekerjaan rumah di sektor fiskal,
Purbaya diharapkan mampu menyelesaikan berbagai masalah, seperti utang luar negeri, penarikan pajak, transfer dana ke daerah (TKD), serta efisiensi dan efektivitas belanja pemerintah.
Pertama terkait utang, berdasarkan data Bank Indonesia (BI) triwulan II 2025, posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia mencapai US$433,3 miliar atau sekitar Rp7.117 triliun. Dalam rapat kerja dengan DPR,
Purbaya optimis dapat menyelesaikan persoalan utang ini, termasuk kewajiban membayar utang luar negeri sebesar Rp800 triliun yang jatuh tempo tahun ini.
Dalam pandangan Keynesian, utang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi jika disalurkan ke sektor-sektor produktif. Hal inilah yang perlu dilakukan pemerintah agar Indonesia ke depan terhindar dari jebakan utang.
Kedua, mengenai pemungutan pajak. Publik berharap pemerintah tidak memberlakukan pajak baru yang dapat memberatkan masyarakat. Masih banyak praktik penghindaran dan pengelakan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak, sehingga diperlukan ketegasan dan keberanian untuk mengatasinya.
Bahkan Purbaya menolak rencana tax amnesty jilid III, menunjukkan sinyal kuat bahwa tidak ada toleransi bagi wajib pajak yang nakal. Selain itu, perlu dilakukan perbaikan tidak hanya dari sisi internal, tetapi juga eksternal, seperti penyelesaian kasus gratifikasi atau korupsi yang melibatkan pegawai pajak.
Ketiga, terkait dana transfer ke daerah (TKD). Kasus di Pati dan beberapa daerah lainnya harus menjadi perhatian pemerintah pusat. Banyak Pemda yang menaikkan tarif Pajak Bumi Bangunan (PBB) secara signifikan akibat pemotongan dana TKD oleh pemerintah pusat tahun ini.
Situasi ini diperparah dengan minimnya inovasi dan kreativitas Pemda dalam memaksimalkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga ketergantungan pada dana transfer masih tinggi.
Tahun depan, diharapkan dana TKD tidak lagi dipotong dan, jika memungkinkan, ditingkatkan untuk mendukung pelayanan masyarakat.
Pemda juga perlu didorong meningkatkan kewenangan dalam penggunaan dana tersebut, namun pengawasan, pendampingan, dan evaluasi tetap harus diperkuat untuk mencapai target pembangunan nasional dan daerah.
Keempat, dalam RAPN 2026, belanja pemerintah diproyeksikan meningkat menjadi Rp 3.842,7 triliun dengan defisit melebar menjadi 2,68% dari PDB. Dengan ekspansi fiskal ini, efisiensi dan efektivitas belanja pemerintah harus dioptimalkan.
Belanja yang tidak memberikan output dan outcome yang signifikan bagi masyarakat sebaiknya dialihkan ke sektor-sektor yang lebih produktif.
Kementerian/Lembaga yang kurang optimal dalam menyerap anggaran, mungkin dapat dialokasikan kepada instansi lain yang memiliki tanggungjawab berat, namun alokasinya masih sedikit.
Tentunya Purbaya tidak bisa sendiri atau single fighter dalam mengawal tugas berat ini, perlu dioptimalkan sinergitas dengan berbagai pihak, seperti Bank Indonesia, kementerian teknis lain, pemerintah daerah, pihak swasta dan para pelaku pasar serta dukungan masyarakat.
Selamat bekerja, Pak Purbaya.















