Dalam situasi seperti ini, keputusan Presiden Prabowo untuk mengganti lima menteri sekaligus, termasuk posisi penting Menteri Keuangan, menyampaikan pesan yang lebih besar dari sekadar perombakan kabinet.
Publik memandangnya sebagai langkah korektif yang ditujukan pada dua sektor utama, yaitu ekonomi dan keamanan. Menariknya, reshuffle ini tidak berdiri sendiri.
Sehari kemudian, pemerintah mengumumkan serangkaian kebijakan ekonomi baru, mulai dari stimulus fiskal, bantuan sosial, hingga revitalisasi koperasi desa.
Kebijakan-kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya mengganti orang di posisi menteri, tetapi juga mencoba mengubah arah kebijakan: “ganti arah, bukan sekadar ganti wajah.”
Pesan Politik Ekonomi
Pada reshuffle September 2025 tersebut, lima posisi menteri diganti. Perhatian terbesar tertuju pada kursi Menteri Keuangan, yang dianggap sebagai sinyal kuat bagi arah ekonomi nasional karena posisi ini adalah kunci kebijakan fiskal.
Sri Mulyani, yang dikenal dengan disiplin anggarannya, digantikan oleh Purbaya Yudhi Sadewa, yang lebih pragmatis dan pro-pertumbuhan. Pergantian ini memunculkan spekulasi apakah pemerintah akan menggeser orientasi ekonomi dari kehati-hatian fiskal ke arah ekspansi dan stimulus.
Publik dan pasar melihat langkah ini sebagai upaya untuk mereset kebijakan. Di satu sisi, pemerintah berusaha meningkatkan daya beli rakyat melalui belanja negara. Namun di sisi lain, investor masih mempertimbangkan risiko defisit berkepanjangan akibat kebijakan fiskal yang lebih longgar.
Di balik semua itu, pesan politiknya cukup jelas: pemerintah ingin memulihkan legitimasi yang sempat terguncang akibat gelombang protes.
Fokus utamanya adalah mengendalikan gejolak sosial melalui pemulihan ekonomi, terutama dengan menciptakan lapangan kerja dan memberikan bantuan langsung kepada kelompok rentan yang membutuhkan.
Respons Pasar
Gejala awal pasca reshuffle langsung terlihat di pasar keuangan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat tergelincir, sementara nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS.
Reaksi negatif jangka pendek ini wajar, karena pasar selalu merespons ketidakpastian dengan hati-hati. Para ekonom menilai situasi ini bukan alarm permanen, melainkan fase transisi.
Hans Kwee, analis pasar modal, menyebut volatilitas ini lumrah karena investor menunggu sinyal lebih jelas tentang arah kebijakan fiskal.
Rijadh Djatu dari Universitas Gadjah Mada juga menegaskan bahwa pasar butuh waktu untuk mencerna perubahan besar di kursi Menteri Keuangan. Selama belum ada kepastian detail kebijakan, fluktuasi wajar terjadi.
Felix Darmawan dari Panin Sekuritas mengingatkan bahwa posisi Menteri Keuangan sangat menentukan kredibilitas ekonomi Indonesia di mata global.
Pergantian Sri Mulyani dianggap sebagai “kejutan besar” yang bisa memicu kekhawatiran di kalangan investor, namun sekaligus membuka ruang perbaikan jika komunikasi kebijakan dilakukan dengan konsisten.
Kebijakan Ekonomi Baru
Reshuffle kabinet September 2025 tidak hanya mengganti figur di jajaran menteri. Sehari setelah pengumuman, pemerintah merilis paket kebijakan ekonomi yang komprehensif. Langkah cepat ini menjadi sinyal bahwa arah baru pemerintahan ingin segera ditunjukkan kepada publik dan pasar.
Salah satu elemen utama paket ini adalah stimulus Rp 16 triliun, yang dialokasikan untuk berbagai program jangka pendek seperti bantuan pangan kepada keluarga miskin, program padat karya di desa-desa, serta subsidi energi terbatas. Targetnya adalah meredam keresahan sosial akibat lonjakan harga dan menjaga daya beli kelompok rentan.
Bantuan pangan diberikan dalam bentuk 10 kilogram beras untuk 18,3 juta keluarga penerima manfaat, sementara program padat karya berbasis cash-for-work diproyeksikan menyerap lebih dari 600 ribu orang melalui pembangunan infrastruktur lokal.
Kedua langkah ini menyasar kelompok bawah yang paling rentan terdampak kenaikan harga kebutuhan pokok.
Di sektor pariwisata dan UMKM, pemerintah memperpanjang tarif pajak final 0,5% hingga 2029, disertai relaksasi pajak khusus bagi pekerja sektor pariwisata dan subsidi premi asuransi untuk pengemudi ojek motor serta truk.
Dengan skema ini, pemerintah berupaya menenangkan keresahan kelas menengah-bawah sekaligus menjaga roda ekonomi informal tetap berputar.
Pemerintah juga meluncurkan program replanting perkebunan sawit dan karet seluas hampir 870 ribu hektare yang diperkirakan mampu menyerap sekitar 1,6 juta tenaga kerja baru pada 2026.
Selain membuka lapangan kerja tambahan, langkah ini ditujukan untuk menjaga daya saing ekspor komoditas strategis Indonesia di tengah gejolak pasar global.
Kebijakan lain yang diambil adalah penguatan koperasi desa dengan target revitalisasi dan pembentukan hingga 80 ribu koperasi baru di seluruh Indonesia.
Koperasi ini diarahkan menjadi pusat distribusi barang penting seperti pupuk dan tabung gas, serta membuka akses pembiayaan hingga Rp3 miliar dengan bunga maksimal 6%.
Revitalisasi koperasi dianggap strategis untuk menghidupkan kembali ekonomi desa agar produk lokal lebih cepat masuk pasar melalui rantai distribusi yang lebih kokoh.
Koperasi juga diposisikan sebagai kelembagaan ekonomi rakyat yang lebih kokoh, sekaligus mengurangi kesenjangan antara kota dan desa.
Sektor Perbankan
Dari sisi moneter, Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 4,75%, termasuk penyesuaian untuk fasilitas simpanan (deposit facility) dan pinjaman (lending facility).
Tujuannya adalah memperkuat konsumsi rumah tangga, mendorong pertumbuhan kredit, dan membantu sektor UMKM. Langkah ini dianggap sebagai upaya harmonisasi kebijakan fiskal dan moneter,
di mana pemerintah tidak hanya mengandalkan stimulus dari belanja negara, tetapi juga pelonggaran likuiditas untuk menciptakan efek ganda: meningkatkan daya beli dan aktivitas produksi.
Pemerintah juga akan menempatkan sekitar Rp 200 triliun dari APBN di bank-bank negara seperti Mandiri, BNI, BTN, dan Bank Syariah Indonesia, dengan aturan ketat bahwa dana ini hanya digunakan untuk penyaluran kredit ke sektor riil, bukan instrumen finansial.
Kebijakan ini mencerminkan perubahan paradigma agar likuiditas benar-benar mengalir ke sektor usaha dan masyarakat. Bank penerima dana diwajibkan melaporkan penggunaannya ke Kementerian Keuangan setiap bulan untuk memastikan transparansi dan mengurangi moral hazard.
Dari perspektif fiskal, ruang belanja pemerintah terbatas, dengan defisit APBN 2025 diproyeksikan melebar ke 2,7–2,8% PDB, lebih tinggi dari target awal. Ini menunjukkan keterbatasan stimulus besar tanpa meningkatkan tekanan utang.
Pertumbuhan ekonomi diperkirakan moderat, dengan proyeksi Bank Indonesia di kisaran 4,6–5,4% dan IMF sekitar 4,8%. Sementara ADB menempatkan Indonesia pada level yang serupa.
Seluruhnya menunjukkan perlunya dorongan kebijakan agar pertumbuhan tidak stagnan. Reshuffle kabinet September 2025 tidak berhenti pada sekadar pergantian figur di jajaran menteri.
Sehari setelah pengumuman, pemerintah langsung merilis paket kebijakan ekonomi yang cukup komprehensif. Hal ini menjadi penanda bahwa arah baru pemerintahan ingin ditunjukkan secepat mungkin kepada publik dan pasar.
Analisis Dampak Ekonomi
Dalam jangka pendek, dampak paling cepat dari reshuffle kabinet yang diikuti stimulus fiskal adalah bertambahnya daya beli masyarakat. BLT, bantuan pangan, dan distribusi beras murah secara langsung menyuntikkan likuiditas ke rumah tangga miskin dan rentan. Efek psikologisnya juga tidak kalah penting: masyarakat merasa pemerintah hadir di tengah kesulitan.
Bantuan pangan memiliki dua fungsi utama: meredam keresahan sosial dan menjaga stabilitas harga di pasar. Dengan tambahan pasokan beras, inflasi pangan dapat ditekan meskipun hanya sebagai solusi jangka pendek atau “obat penenang” daripada langkah struktural.
Di sisi lain, pasar keuangan masih dalam posisi menunggu, karena investor dan pelaku usaha belum sepenuhnya yakin akan efektivitas implementasi stimulus.
Seperti yang diingatkan para ekonom, volatilitas IHSG dan rupiah lebih banyak disebabkan oleh ketidakpastian kebijakan fiskal daripada sekadar pergantian menteri.
Dalam jangka menengah, jika program koperasi desa berjalan dengan baik, dampaknya bisa signifikan. Koperasi dapat menjadi wadah ekonomi rakyat, memperkuat akses modal, dan mengurangi ketergantungan petani serta pelaku UMKM pada tengkulak atau lembaga keuangan informal.
Namun, keberhasilannya bergantung pada pendampingan manajemen dan tata kelola yang baik. Replanting perkebunan sawit dan karet seluas 870 ribu hektare juga dapat meningkatkan produktivitas sektor perkebunan, menjaga daya saing ekspor, serta membantu neraca perdagangan, cadangan devisa, dan stabilitas nilai tukar rupiah.
Namun, program stimulus dan replanting skala besar membutuhkan dana besar. Dengan APBN yang sudah defisit, pemerintah harus berhati-hati agar belanja tambahan tidak memperburuk utang. Ini menjadi ujian bagi kredibilitas Menteri Keuangan yang baru.
Selain itu, efektivitas distribusi bantuan menjadi tantangan, karena sejarah menunjukkan kebijakan populis di Indonesia sering terhambat birokrasi, kebocoran anggaran, dan penyalahgunaan. Jika ini terjadi lagi, kepercayaan publik akan menurun dan dampak ekonomi yang diharapkan tidak akan jadi optimal.
Orientasi Pertumbuhan
Dalam jangka panjang, arah kebijakan fiskal pasca reshuffle tampak bergeser ke pola yang lebih ekspansif atau berorientasi pada pertumbuhan. Pemerintah lebih berani menggunakan instrumen belanja untuk mendorong ekonomi dibandingkan hanya menjaga angka defisit.
Langkah ini sejalan dengan kebutuhan jangka panjang, yaitu menumbuhkan ekonomi agar menciptakan lapangan kerja baru. Namun, ekspansi fiskal tanpa reformasi pajak yang adil bisa menjadi bumerang.
Keresahan masyarakat sebelumnya dipicu oleh kenaikan pajak yang dianggap membebani. Jika struktur pajak tidak dirombak agar lebih pro-rakyat, kebijakan ekspansif ini hanya akan menjadi “plester sementara” yang menutupi luka tanpa menyembuhkan.
Keberhasilan reshuffle dan kebijakan baru ini dalam jangka panjang akan diukur dari dua hal: apakah ekonomi tumbuh lebih inklusif dan apakah stabilitas sosial terjaga.
Jika keduanya tercapai, reshuffle September 2025 bisa dikenang sebagai titik balik. Jika gagal, reshuffle ini hanya akan tercatat sebagai episode politik yang lewat tanpa makna mendalam.
Reshuffle kabinet September 2025, yang disertai paket kebijakan ekonomi, menunjukkan bahwa pemerintah tidak hanya ingin mengganti orang, tetapi juga mengubah arah kebijakan.
Langkah ini dapat dilihat sebagai upaya meredam gejolak sosial sekaligus membangun fondasi baru untuk pemulihan ekonomi. Namun, gejala awal masih menunjukkan ambivalensi, dengan pasar keuangan tetap skeptis sementara rakyat menunggu realisasi bantuan langsung.
Stimulus, replanting perkebunan, hingga penguatan koperasi desa memang menjanjikan, tetapi efektivitasnya sangat bergantung pada implementasi di lapangan.
Inilah refleksi penting: apakah reshuffle dan kebijakan baru ini akan menjadi momentum pemulihan ekonomi nasional, atau hanya langkah darurat untuk meredam gejolak sesaat?
Jawaban itu tentu hanya bisa ditemukan dalam perjalanan beberapa bulan ke depan, saat janji pemerintah diuji oleh realitas ekonomi.















